Sangihe — Sejak Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh World Health Organazition (WHO) pada Maret 2020, Indonesia mengalami begitu banyak perubahan sosial di segala lini. Virus corona seakan menjadi tantangan baru, tak saja di bidang kesehatan, politik dan ekonomi. Kehidupan antar manusia pun terpukul tak karuan. Apalagi mereka yang terpapar, cenderung mendapatkan stigma atau sebentuk klise sosial yang tak berterima di tengah masyarakat.
Padahal Covid-19 di Indonesia belum menemukan titik puncaknya. Pergelutan para pakar masih terus berlajut dengan prediksi-prediksi yang gagal mencari peperangan terakhir dari pandemi global tersebut. Soal stigma sosial ini pun tak terhindarkan, acap kali mereka yang terpapar pun terkucilkan dari lingkungannya, bahkan penolakan jenazah mereka yang terpapar pun menghiasi media-media pemberitaan di bangsa ini.
Di kepulauan Sangihe sendiri, bahkan daerah yang kental dengan kehidupan sosial budayanya pun tak terhindarkan dari peristiwa ini. Ketika mewawancarai Nicky Lombote, soorang perempuan asal kampung Kauhis, Kecamatan Manganitu.
Dimana ayahnya yang meninggal 17 April 2020 lalu akibat infeksi saluran pernafasan sempat mendapat stigma demikian dari masyarakat. Walau akhirnya dinyatakan negatif atau bebas dari Covid-19, Ayah Nicky, tetap menjalani prosesi pemakaman layaknya pasien Corona karena meninggal sebelum hasil swab keluar.
“Ini yang membuat saya kecewa bayangkan pihak pemerintah kampung sebelumnya tidak ada yang memberikan penguatan kepada keluarga kami. Ayah saya adalah pelaku perjalanan waktu itu, kemudian karena ketidak pahaman masyarakat isu-isu negatif berkembang. Hal ini kemudian yang kami inginkan adalah bagaimana kemudian kalau di kampung ada Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), seharusnya kriteria ini harus tersosialisasi supaya masyarakat tahu,” ungkapnya pekan lalu.
Stigma itu menjadi sangat nyata bagi keluarganya. Dirinya menyesalkan saat itu ibunya yang menjadi kontak erat dari ayahnya sebelum dinyatakan negatif harus menjalani karantina tanpa penguatan dan uluran tangan dari aparat kampung setempat.
“Ibu saya yang merupakan kontak erat dari ayah saya, 1 minggu menunggu hasil swab ayah, dikarantina di SKB Tahuna terasa diabaikan. Bayangkan waktu membuat ibadah malam di rumah, tidak ada pemerintah kampung yang datang beribadah. Kami seperti dijauhi di kampung dari persoalan ini,” jelasnya lagi.
Ayah Nicky meninggal di usia 50 tahun pada Jumat 17 April 2020 dengan hasil swab negatif atau dinyatakan tidak terinfeksi virus yang kini menjadi pandemi ini. Sementara itu, Nicky, meminta kepada yang berwenang kedepannya sekiranya dapat mengedukasi masyarakat terkait pemahaman tentang Covid-19, agar stigma negatif yang mereka alami selama ini dapat terhindarkan. “Pemerintah Kampung harus kuat memberikan edukasi kepada masyarakat. Terkait bagaimama kira-kira kalau misalkan ada ODP, PDP, bagaimana masyarakat saling membantu untuk meringankan beban akibat pandemi ini,” harap dia.
Tak hanya masyarakat biasa, stigma ini juga menimpa tenaga medis di RSD Liun Kendage Tahuna, yang satu-satunya rumah sakit andalan daerah perbatasan. Beberapa kali mereka menghadapi situasi yang tak mengenakan.
Tak jarang beberapa sopir angkot tidak menerima penumpang yang berbaju medis. Hal ini dibenarkan ketua tim dokter penanganan Covid-19 dr. Aprikonus Loris, Sppd bahwa sudah ada informasi yang didapat terkait penolakan tersebut.
“Sudah ada informasi dari beberapa tenaga medis bahwa sudah ada penolakan terhadap mereka. Dimana sebelum masuk kedalam kendaraan mereka terlebih dahulu ditanya, apakah bertugas di ruangan khusus Covid-19. Jika bekerja di ruangan tersebut, maka mereka pun mendapatkan penolakan alias tidak dimuat,” ungkap Loris kepada awak media.
Sementara itu juru bicara satuan tugas penanganan Covid-19 Kabupaten Kepulauan Sangihe, dr. Jopy Thugari, berharap masyarakat tidak terlarut melakukan hal-hal demikian. Thungari meminta setiap masyarakat harus saling memberikan penguatan kepada kepada mereka yang saat ini terpapar Covid-19.
“Dari pemerintah dan satuan tugas tentu terus menyosialisasikan hal demikian. Yang mana tidak perlu takut berlebihan. Selama kita menerapkan prinsip jaga jarak, mencuci tangan dan selalu memakai masker, saya kira kemungkinan terpapar itu sangatlah jauh. Sehingga kami mendorong pemerintah dari tingkat desa dan keluarahan dapat berpartisipasi aktif menyosialisasikan hal ini. Yang mana di situasi seperti ini kita harus saling menguatkan” ucap Thungari.
Dalam tinjauan budaya Sangihe, Budayawan Sangihe, Jupiter Makasangkil menyikapi hal demikian dengan kearifan lokal suku bangsa Sangihe. Menurutnya budaya orang Sangihe tidak sekali-sekali mengajarkan perilaku demikian, hal itu juga kata dia dikarenakan Kemajuan sistem informasi dengan mengedepankan dahsyatnya covid-19 tentu memberi pengaruh perubahan perilaku budaya pada komuni tas masyarakat tertentu. Setidaknya ada dua hal yang harus menjadi pegangan dalam menghadapi pandemi ini, yakni budaya Medalahintau dan Metatulung.
“Tentu tidak semua masyarakat berperilaku demikian, dan barangkali perlu kajian. Budaya Sangihe sesungguhnya mengajarkan perilaku sesama manusia saling menjaga hubungan baik satu dengan yang lain dan melindungi, menolong orang yang kena musibah, itulah yang disebut Medalahintau dan Metatulung,” ungkap mantan birokrat yang pernah bertugas di dua kabupaten ini akhir pekan lalu.
Makasangkil menegaskan persoalan stigma ini tentu masih jauh dari soal pergeseran budaya saling peduli, menghormati, dan menghargai sesama (Medalahintau) atau tolong menolong sesama warga (Metatulung).
Menurutnya terbentuknya stigma ini karena persoalan kebijakan semata. Oleh karena itu dirinya terus mendorong, memintak peran pemuka masyarakat untuk dapat terus mengingatkan nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur orang Sangihe.
“Saya kira peran pemuka masyarakat untuk mengingatkan komunitas tetap medalahintau dan metatulung terhadap warga yang terkonfirmasi positif covid-19. Ini asas budaya yang harusnya kita terus tanamkan dan lakukan di situasi seperti sekarang,” jelas Makasangkil.
(Rendy Saselah)