Manado, Beritamanado.com – Perhelatan hajatan demokrasi lima tahunan telah berlalu.
Ada banyak pelajaran berharga terkait pemilihan presiden tahun ini.
Drama panjang dan kontroversi politik, yaitu tentang Pelanggaran Etik di Mahkamah Konstitusi, Anak Haram Konstitusi, isu dan statement para elit parpol termasuk kontestan capres cawapres yang telah membuat kegaduhan publik.
Juga, dugaan pelanggaran kontestan seperti pembagian uang, pembagian susu, pembagian voucher internet, sampai pada dugaan kecurangan-kecurangan pemilu oleh pihak yang kalah sehingga mendorong untuk dilakukan hak angket.
Pengamat politik Sulawesi Utara, Josef Kairupan, kepada Beritamanado.com, pada Kamis (14/3/2024) mengatakan bahwa dalam pertarungan tidak ada orang yang suka kalah.
“Orang akan bertarung untuk menang, sehingga mental pemenang yang akan tertanam dalam karakternya,” tutur Josef.
“Jika kenyataannya justru kalah, maka segala cara akan dilakukan untuk melakukan pembenaran dalam bentuk berbagai gugatan, pembentukan opini, sampai mengorbankan rakyat para pendukungnya berdemontrasi,” ucap Dosen di Fisip Unsrat Manado ini.
Hal ini jelas, kata dia, menunjukkan sikap seorang pecundang yang tidak siap kalah, karena telah ‘dininabobokan’ dengan kenyataan semu dari Tim Pemenangan masing-masing capres.
“Realitanya kekalahan paslon capres no urut satu dan tiga bukan karena partai pengusung yang tidak mumpuni, bukan karena tim kampanye yang tidak bekerja maksimal,” terang Josef.
“Tetapi secara subyektif terfokus pada figur capres itu sendiri terkait apa yang telah dilakukan, apa yang telah dikatakan, dan bagaimana perilakunya,” kata dia.
Menurutnya, jika tidak mempunyai elektabilitas yang baik tentunya PDIP tidak akan mengusung Ganjar, begitu pula Nasdem tidak akan mengusung Anies.
“Tetapi dalam perjalanannya apa yang ditunjukkan kepada Publik, kedua Capres ini justru lebih memilih menyerang sekuat tenaga kepada paslon nomor dua,” ucap dia.
“Berbagai isu dan diksi-diksi digunakan untuk melempar opini agar publik juga ikut terseret dalam arus opini tersebut,” ujar dia.
Namun, lanjut Josef Kairupan, kenyataan tidak sesuai harapan, publik justru menunjukkan rasa empati kepada paslon nomor urut dua yang diserang habis-habisan.
“Publik justru menilai bahwa paslon nomor urut satu dan paslon nomor urut tiga terlalu angkuh dan sombong, menganggap dirinya paling bersih dan lebih layak untuk menghakimi paslon nomor urut dua,” ungkapnya.
Lanjut dia, mereka (paslon no satu dan tiga) terlalu over confidence, merasa memiliki banyak pendukung, diusung oleh Parpol berkuasa dengan infrastruktur partai yang lengkap sampai kepelosok-pelosok
“Tetapi mereka lupa bahwa tidak selamanya partai besar dan yang sedang berkuasa saat ini akan berkorelasi posiitif menghentarkan calon yang diusungnya menjadi pemenang,” kata dia.
PDIP sebagai partai penguasa dan koalisinya tidak berhasil menghentarkan capresnya menjadi capres.
“PDIP juga harus siap menerima konsekuensi bahwa publik tidak lagi sejalan dengan Ganjar capres yang diusungnya dengan perolehan suara terbanyak ke tiga dari tiga paslon,” ujar dia.
Begitu pula dengan Nasdem, katanya, yang harus gigit jari menerima kenyataan bahwa paslonnya menduduki peringkat ke dua pada kontestasi Pilpres.
“Keangkuhan, kesombongan, sikap jumawa justru membawa kekalahan,” terangnya.
Publik di Indonesia, kata Josef lagi, sangat terpengaruh dan menaruh simpati kepada orang yang di zolimi, dihina, didiskriminasi.
“Pilpres tahun ini memberikan pelajaran berharga bahwa untuk meraih kemenangan bukan dengan jalan saling menjatuhkan, menghina, dan merendahkan, tetapi dengan menunjukkan sikap saling menghormati dan menghargai itu yang paling berharga karena itulah kepribadian Bangsa Indonesia,” ungkap Josef.
“Oleh karena itu politik santun dan beretika lebih bermakna untuk meraih kemenangan secara elegant,” pungkasnya.
TamuraWatung