Manado – Berbicara budaya suatu daerah sama halnya dengan menelusuri lorong waktu untuk kembali ke zaman kehidupan nenek moyang. Ketika sejarah membuka tabir bagaimana kehidupan kala itu, maka kekaguman tak bisa disembunyikan meski tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itulah yang dialami Juliana Debbie Pinontoan SE.Par.
Juli sapaan akrabnya akhir tahun 2015 lalu bertandang ke Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghadiri prosesi pemakaman kerabat yang juga merupakan neneknya. Tradisi dan ritual pemakaman orang yang sudah meninggal dunia di daerah tersebut tergolong unik dari daerah lain.
Kurang lebih dua pekan berada di Toraja, Juli pun tak menyia-nyiakan setiap momen yang ada di depan matanya. Mulai dari ritual penyembelihan kerbau hingga jenazah kerabatnya itu yang sudah diawetkan diusung ke tempat peristirahatan terakhir, tak luput dari budikan kamera smartphone miliknya.
Juli mengakui tak sempat menggali lebih banyak tentang apa dan bagaimana budaya Toraja bisa tetap eksis hingga saat ini. Akan tetapi, pengusaha travel agent ini menuturkan bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan dengan adat dan tradisi secara umum dengan Tanah Minahasa.
“Budaya Minahasa memang masih ada sampai saat ini. Akan tetapi ada tradisi leluhur yang seharusnya menjadi kearifan lokal, kini sudah tidak terlihat lagi. Seperti makan di atas daun pisang ketika acara kedukaan, perkawinan, panen padi, menempati rumah baru, prosesi lamaran dan sebagainya, itu tak bisa dilihat lagi,” katanya.
Juli menambahkan bahwa yang bisa disimpulkan dari perjalanannya ke Tana Toraja lepas dari kepentingannya menghadiri acara tersebut sebagai bagian dari keluarga yang berduka, ada satu hal yang paturut dicatat dan menginspirasi, yaitu orang Toraja sangat mencintai budayanya sendiri.
Sebagai orang Minahasa, tentu saya sangat mendukung upaya pemerintah dan budayawan daerah untuk mencoba menggali kembali nilai-nilai kehidupan masyarakat lokal, untuk kemudian dihidupkan kembali. Harapan ini membutuhkan kepedulian dari semua kalangan untuk bisa menjadi kearifan lokal yang hidup dan lestari. (frangkiwullur)