Manado — Kabar menggemparkan kini menimpa warga Sulawesi Utara dengan terjadinya peristiwa naas yang dialami seorang guru Agama SMK di kota Manado, yang ditusuk siswanya sendiri sehingga meninggal dunia, di Rumah Sakit Prof Kandouw Malalayang, Manado, Senin (21/10/2109) malam.
Hal tersebut mendapat tanggapan dan kecaman dari sejumlah pihak, salah satunya datang dari guru SMK yang juga anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI) Minahasa Selatan, Viani Yunita Tambingon, S.Pd.
Menurut Viani Tambingon, apa jadinya jika dunia pendidikan ketika dicemari oleh karakter dan perilaku biadab siswa yang tidak manusiawi membunuh seorang guru yang hanya menegur ketika melakukan salah.
“Dibalik teguran guru yang mungkin dianggap ocehan oleh sebagian siswa, ada harapan yang sangat besar untuk siswa menjadi orang yang baik dan sukses di masa depan nanti. Tapi sayangnya terkadang siswa tak mampu mencerna dan menanggapi dengan baik setiap teguran yang diberikan guru,” kata Viani Tambingon, Rabu (23/10/2019).
Ditambahkan Tambingon, selain mengajar tugas guru juga mendidik, melatih, membimbing dan mengarahkan, memberikan dorongan dan motivasi.
“Bukankah menegur masuk dalam unsur mendidik, membimbing dan mengarahkan?,” tegas Viani Tambingon.
Menurutnya, apa jadinya jika seorang guru hanya mengajar saja?.
Itu berarti guru akan punya utang bagi masa depan siswa yang tidak bisa memiliki karakter yang baik.
“Semoga kedepan nanti akan ada inovasi yang dapat mengubah karakter siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 terlebih nilai kemanusiaan,” ujar Viani Tambingon.
Senada dengan itu, Dr. Florensia Rembet, M.Pd selaku Ketua IGI Wilayah Sulut mengatakan, perlunya pembenahan sekolah sebagai lingkungan belajar dan pembentukkan karakter.
Kedisiplinan di sekolah adalah yg pertama-tama ditegakkan oleh kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, staf dan semua pihak.
“Segenap pengurus IGI Wilayah Sulut turut berdukacita dan prihatin atas peristiwa yang dialami Bapak guru Alexander Werupangkey, M.Th. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan keteguhan iman,” tutur Florensia Rembet.
Bagi Rembet, apapun motifnya, tindakan siswa tersebut adalah tindakan kriminal dan diserahkan ke pihak berwajib.
“Semoga peristiwa ini akan menjadi peristiwa terakhir. Ini akibat perubahan dan terdegradasinya nilai-nilai karakter sekalipun kurikulum 13 banyak menekankan karakter dalam proses pembelajaran,” ungkap Florensreia Rembet.
Namun menurut Rembet ada hal substansial yang terlupakan yang merupakan impact dari sebuah regulasi UU perlindungan anak memberikan efek yang luar biasa bagi anak-anak, sampai semena-mena disekolah bahkan kepada guru karena baik anak atau siswa maupun orang tua mengetahui persis bahwa guru tidak bisa lagi bertindak keras secara fisik kepada mereka.
Karena bertindak keras secara fisik konsekwensi hukum bagi guru.
“Guru tidak lagi dilindungi untuk bertindak keras kepada siswa maka dari itu siswa semakin kebablasan disekolah,” tambah Florensia Rembet.
Dengan adanya ungkapan itu, Rembet juga berharap dan memberikan beberapa rekomendasi.
Antara lain perlu adanya undang-undang bukan lagi Permendikbud atau sejenisnya untuk memberikan payung hukum kepada guru agar tindakan guru yang masih pada batasan-batasan yang wajar dilindungi.
.”Atau revisi undang undang perlindungan anak dengan memasukan kalimat ‘kecuali’ di lingkungan sekolah pada bagian isi undang-undang,” pungkas Florensia Rembet.
(***/BennyManoppo)