IDE dan GAGASAN DASAR yang melatari penulis dalam merajut artikel sederhana ini adalah pertama, fakta bahwa bahasa sangat penting karena menjadi alat untuk berkomunikasi, dan kedua fakta bahwa filsafat adalah ilmu yang penulis tekuni sejak tahun dua ribu, di mana ilmu ini fokus kepada kegiatan berpikir.
Kedua bidang ini bahkan akhirnya bisa disandingkan, bukan hanya karena sifat keduanya yang mutualisme, tapi keduanya memang secara konstruktif memiliki pijakan yang kokoh.
Bahasa adalah kunci dalam berkomunikasi, filsafat adalah kunci dalam berpikir.
Kita bisa mengetahui bahwa berbagai riset telah dilakukan oleh para ilmuan, termasuk ilmuan filsafat, terutama riset dalam hubungannya dengan filsafat bahasa.
Para ilmuan pernah menyatakan bahwa filsafat bahasa diyakini muncul pada saat para filsuf mulai sadar bahwa terdapat banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat baru, yang memang harus dijelaskan melalui analisis bahasa.
Pada titik ini, bahasa diyakini merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis, 1976).
Kendati bidang filsafat bahasa baru dikenal dan berkembang pada abad XX, namun sebetulnya berdasarkan fakta, sejarah hubungan filsafat dengan bahasa telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani.
Bandingkan kaum Sofis dan Sokrates yang menggunakan bahasa sebagai instrumen dalam retorika.
Konon retorika adalah kunci utama kaum Sofis dalam menyebarkan kebenaran.
Bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan bunyi-bunyi empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya non empiris.
Dengan demikian bahasa adalah merupakan sistem simbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya.
Lihatlah dalam salah satu kata Bahasa Tombulu ‘matuari’ (bersaudara).
Ini memang hanyalah kata, namun makna dan fakta adanya kata ini, menyimbolkan sebuah persaudaraan dalam masyarakat Minahasa.
Sejalan dengan itu, Bertrand Russell pernah berkata bahwa bahasa memiliki kesesuaian dengan struktur realitas dan fakta.
Sedangkan Wittgenstein bahwa bahasa merupakan gambaran realitas.
Oleh karena itu untuk dapat mengungkapkan struktur realitas diperlukan suatu sistem simbol bahasa yang mempunyai syarat logis sehingga satuan-satuan dalam ungkapan bahasa itu terwujud dalam proposisi-proposisi.
Akhirnya, ketika filsafat secara jelas bersanding dengan bahasa menjadi filsafat bahasa, sebuah kata akan terungkap maknanya dan tentu saja pemahaman akan ditemukan atau mengemuka.
Catatan Ambrosius M Loho MFil,
Dosen Fakultas Pariwisata, Unika De La Salle Manado
(***)