Jakarta — Salah satu pemicu kepala daera berlaku korup adalah karena biaya mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) memiliki biaya relatif mahal.
Hal ini ditegaskan oleh Peneliti Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara, Ferry Daud Liando pada waktu menjadi pembicara dalam Bimbingan Teknis Antikorupsi bagi Kader Partai Politik di Provinsi DKI Jakarta yang disiarkan secara virtual zoom meeting, Kamis (22/7/2021) siang.
Menurut Ferry, beberapa ditangani penegak hukum, korupsi oleh kepala daerah selalu berkait fee proyek, pembahasan tata ruang, imbalan pihak ketiga terhadap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, pengalokasian dana transfer di daerah, pemberian Izin usaha serta penempatan pejabat pada posisi tertentu.
“Lantas apa yang menyebabkan kepala daerah rentan masuk dalam pusaran korupsi?” kata Ferry bertanya.
Menurutnya, pertama adalah faktor motif. Banyak oknum berusaha merebut jabatan kepala daerah dengan maksud untuk memperkaya diri.
Katanya, segala cara mereka lakukan untuk menang dalam kontesatsi pilkada, karena ada keyakinan bahwa jabatan itu bisa membuatnya jadi kaya raya.
Faktor kedua, tambahnya, perekrutan calon oleh partai politik. Selama ini, mekanisme seleksi calon oleh partai politik masih terkesan pragmatis murni.
Kepentingan parpol hanya satu yakni harus menang dalam pilkada.
Untuk alasan ini, katanya, partai politik kerap lebih mengutamakan calon yang kuat dari aspek keuangan.
Parpol, katanya, seakan melupakan bahwa kapasitas dan moralitas seorang calon masih jauh lebih penting daripada kriteria lainnya.
Faktor ketiga, ujarnya, faktor sistem pemilihan kepala daerah cenderung mahal. Mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Irjen Pol (Purn.) Basaria Panjaitan pernah berkata bahwa untuk menjadi bupati/wali kota bisa menghabiskan uang Rp20 sampai Rp30 miliar.
Sedangkan untuk menjadi gubernur, katanya, bisa menghabiskan uang sampai ratusan miliar. Sebuah angka yang tidak sedikit.
“Lalu mengapa pembiayaan pilkada itu mahal?” kata Ferry bertanya.
Menurutnya, karena ada beberapa tahapan yang harus dibiayai oleh seeorang bakal calon.
Tahap pertama, katanya, membentuk lembaga survei musiman atau bersekongkol dengan lembaga survei yang sudah eksis sebelumnya.
Modus ini, kataya, dilakukan agar hasil-hasil survei memosisikan sang bakal calon pada posisi tertatas dalam hal popularitas.
Hasil survei itu, kataya, biasanya sepaket dengan “kerja sama” media yang bersedia mempublikasikan hasil survei itu.
Baik hasil survei maupun kliping-kliping media, katanya, menjadi modal bagi calon itu mengajukan proposal pembiayaan pilkada kepada pihak yang bersedia mensposnsori pencalonannya.
Biasanya, ujarnya, yang menjadi sasaran proposal itu adalah pemilik modal besar. Mereka terlibat dalam persekongkolan ini, karena berkepentingan menguasai pengelolaan sumber daya alam di daerah bersangkutan.
Setelah pihak sponsor bersedia untuk bekerja sama, katanya, langkah selanjutnya adalah menjajaki partai politik atau untuk pencaloan.
Partai politik yang bersedia itu, katanya, biasanya mewajibkan persyaratan khusus bagi pencalonan itu.
Sebagian partai politik, katanya, mewajibkan calon untuk memberi mahar atau biaya sewa perahu.
Masa kampanye yang panjang, katanya, mengharuskan calon kepala daerah harus bersedia mengeluarkan uang banyak. Dengan begitu tidak sedikit calon terpaksa menggadaikan kekuasaan politiknya kepada pihak lain dengan sistem ijon.
Reputasi dan kontribusi yang minimal dari sang calon, tambahnya, menyebabkan pemilih menuntut kompensasi.
Karena dedikasi dan prestasi yang terbatas maka pemilih memiliki keyakinan bahwa calon itu pasti tidak akan mampu menjadi pemimpin dan tidak mungkin akan menyelamatkan mereka.
“Maka pemilihpun kerap mengajukan ‘tuntutan’ sebelum relasi politik terbangun. Tuntutan itu bersifat imbalan atas suara yang mereka berikan,” katanya.
(rds)