Jakarta, BeritaManado.com – Jelang kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, nama para calon petahana menjadikan masyarakat tidak memiliki pilihan alternatif calon yang mumpuni.
Hal itu menjadi salah satu poin yang digarisbawahi Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, kala menganalisis kondisi politik jelang Pilkada serentak 2024.
Munculnya nama-nama lama atau petahana ini, kata dia, menunjukkan bahwa parpol tidak memberi ruang terbuka yang luas bagi calon alternatif yang berkapasitas untuk ikut kontestasi.
“Saat ini, nampaknya, parpol-parpol terjebak dengan popularitas petahana maupun Pj Kepala Daerah sehingga sulit memunculkan calon alternatif,” katanya seperti dilansir dari Suara.com jaringan BeritaManado.com, Jumat (2/8/2024).
Bahkan, dirinya menyebut bahwa kans bagi petahana maupun pj kepala daerah melawan kotak kosong atau hanya menjadi calon tunggal cukup terbuka.
“Apabila parpol-parpol yang menggabungkan diri dalam koalisi besar dan akan mencalonkan para petahana maupun pj kepala daerah dikhawatirkan hanya akan memunculkan calon tunggal.”
Masyarakat yang ada saat ini, kata dia, dihadapkan pada minimnya alternatif calon pemimpin untuk dipilih.
Masyarakat juga akan dirugikan karena tidak bisa mendapat pemimpin yang terbaik.
“Tidak adanya calon-calon alternatif yang didukung oleh parpol menjadi persoalan serius dari kelembagaan internal parpol, terutama yang terkait dengan masalah rekrutmen politik,” ujarnya.
Parahnya lagi, kata Arfianto, masyarakat saat ini malah dipertontonkan politik yang ‘tidak sehat’ karena hanya didominasi kelompok elite.
Bahkan, rekrutmen politik yang ditonjolkan cenderung hanya berdasarkan popularitas dan kemampuan finansial calon.
“Saat ini, rekrutmen partai politik tidak berdasarkan pada sistem merit dan cenderung didominasi oleh beberapa elite. Selain itu, rekrutmen politik juga sangat determinan pada faktor popularitas dan kemampuan finansial calon,” ungkapnya.
Apalagi, permasalahan finansial ini terjadi karena tingginya biaya politik dalam kontestasi politik di Indonesia.
Sementara di sisi lain, pendanaan partai juga masih diliputi persoalan.
Parahnya, partai politik hanya mengandalkan pendanaan yang bersumber dari bantuan keuangan negara (APBN/ APBD).
Selain itu, juga ada sumbangan dari anggota partai yang berada di parlemen dan menjadi pejabat publik.
Adapun itu belum diikuti dengan transparansi pengelolaan keuangan partai politik.
Salah satu solusi yang harus dibenahi partai politik saat ini, yakni sistem rekrutmen politiknya.
Rekrutmen politik, menurutnya, harus mengedepankan sistem meritokrasi, kesetaraan gender, inklusi, dan keterwakilan
Ini lebih baik ketimbang memenuhi kepentingan kekerabatan atau kelompok atau golongan serta pertimbangan favoritisme yang selama ini sering diterapkan untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis semata.
Melalui proses yang dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel, diharapkan rekrutmen politik dapat benar- benar berjalan secara demokratis dengan dukungan kader yang berintegritas, berkomitmen, dan memiliki kompetensi.
(jenlywenur)