Manado, BeritaManado.com – Senator Stefanus BAN Liow (SBANL) bersama ahli politik dan hukum yaitu kelompok DPD RI di MPR RI menggelar diskusi publik dengan mengusung topik Presiden Perseorangan, Presidential Threshold dan Penataan Kewenangan DPD RI.
Dalam diskusi publik yang berlangsung di Tangerang, Banten, Selasa (8/9/2021), Senator SBANL alias Stefa sapaan Anggota DPD RI/MPR RI tampil bersama sejumlah analis politik dan hukum di tanah air, yakni Prof Dr Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof Dr Hafid Abbas (Guru Besar Universitas Negeri Jakarta dan Mantan Ketua Komnas HAM, Dr Margarito Kamis, SH MHum (Hukum Tata Negara/Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI), Dr Ubedilah Badrun (Akademisi UNJ dan Direktur Eksekutif Center for Social Political Ekonomic & Law Studies/CESPELS) dan Drs Wahidin (Mantan Anggota MPR RI/Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI).
Selain Senator SBANL tampil juga sebagai narasumber dari DPD RI/MPR RI yakni Tansil Linrung dari Sulawesi Selatan dan Aji Mirza Wardana, dari Kalimantan Timur.
Dalam diskusi terbatas tersebut, senator SBANL mengatakan prinsip dalam penataan kewenangan DPD RI adalah mempertegas atau memperluas kedudukan DPD RI sebagai lembaga negara yang merepresentasi daerah atau dalam artian DPD RI adalah kanal aspirasi dan kepentingan daerah.
“Terkait dorongan adanya calon presiden perseorangan adalah merupakan konfigurasi politik publik yang menginginkan adanya capres perseorangan sebagai jalur alternatif selain jalur partai politik,” urainya.
Sementara itu, mengenai presidential treshold (ambang batas), semangat dan motivasinya kata SBANL untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensil.
Di sisi lain, Prof Siti Zuhro memberikan catatan penting dan kritis bahwa DPD RI dipilih langsung oleh rakyat sejak pertama harus bertanggung jawab kepada rakyat, harus melakukan fungsinya sesuai amanat konstitusi pasal 22D.
“Perlu dan penting dilakukan penataan kewenangan DPD RI. MPR harus hadir mengawal sistem bicameral dan amandemen konstitusi harusnya secara keseluruhan dan tidak hanya parsial seperti PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) saja. Pola relasi DPR dan DPD perlu diperhatikan agar DPR dan DPD sama-sama kuat,” ujarnya.
Lanjut Zuhri, jangan sampai legislasi hanya didominasi oleh DPR dan DPD diabaikan, legislasi harus dijalankan secara seimbang.
“Calon perseorangan hendaknya menjadi instrumen untuk memperbaiki demokrasi yang dapat memberikan akses politik bagi warga negara sehingga dapat memangkas rongrongan penguasa modal. Peluang bagi calon perseorangan bisa saja meraih dukungan besar dari masyarakat, karena merosotnya dukungan rakyat untuk partai politik,” kata dia menegaskan.
Prof Hafid Abbas mengatakan negara yang kuat bertahan ialah yang fungsi-fungsi integrasinya diperkuat.
Kajian komparatif bisa dilakukan untuk memperkuat gagasan dalam penataan kelembagaan di Indonesia, Indonesia perlu bergandengan tangan seperti yang dilakukan oleh beberapa negara lain dalam menata kerja-kerja parlemen seperti di Afrika Selatan dan Swiss.
Kelembagaan parlemen Indonesia perlu ditata ulang dengan prinsip realistik, efektif, reflektif dan futuristik.
Kendala jalur calon independen:
1) Sistem trias politika,
2) Dampaknya jika terpilih,
3) Pemerintahan tidak stabil,
4) Bertentangan dengan UUD 1945,
5) Larangan calon independen telah diujimaterikan.
Namun ada sejumlah dukungan konstitusi pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Pendapat tegas juga disampaikan Dr Margarito Kamis, dengan menyatakan DPD RI harus hadir untuk ambil keputusan dan itu minimum yang harus dilakukan untuk menunjukkan kehadirannya.
“Harus mempromosikan berbagai yang relevan ke ruang publik, DPD RI perlu berbicara ke publik,” kata Margarito.
Terkait legal standing DPD RI dalam pengajuan judicial review, dapat bersinergi dengan pihak lain seperti partai-partai kecil dan mencarikan formulanya.
“Risalah perdebatan DPR MPR tidak ada bahas angka-angka, semua partai politik boleh mencalonkan diri sebagai presiden (original intent). Perdebatan yang melahirkan Pasal 6A itu yang harus dituliskan semuanya sehingga dapat memahami secara baik original intentnya,” tambahnya.
Sementara Dr Ubedillah Badrun, mengungkapkan, eksekutif disandera oligarki predator, regulasi tidak pro rakyat, pemilu legislatif berbiaya mahal dan disandera pemilik modal, pilpres berbiaya mahal dan disandera oligarki karna PT 20%.
Menurutnya, Indonesia sangatlah luas dan hanya dua Capres, sepertinya tidaklah pas sehingga calon perseorangan menjadi relevan.
Jika menggunakan sistem bikameral maka kewenangan DPD perlu untuk diperluas seperti Senator di AS.
PPHN bertentangan dengan sistem bikameral dan presidensial.
Serupa disampaikan Drs Wahidin.
Ia mengingatkan otonomi daerah sebagai semangat DPD RI harus terus dijaga karena itu agenda reformasi.
“Kalau seperti sekarang ini maka kualitas demokrasi kita tidak akan maksimal. Tidak perlu mensakralkan konstitusi kita sehingga perubahan dapat saja dilakukan,” katanya.
Senator dari Kaltim Aji Mirza Wardana, menyampaikan beberapa isu dan permasalah didaerah yang perlu untuk didampingi masyarakatnya dalam bentuk-bentuk advokasi sehingga DPD RI dirasakan kehadiran dan manfaatnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI, Tamsil Linrung menyimpulkan masukan dari para pakar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk diambil keputusan politik bagi DPD RI.
Diskusi kali ini lebih berfokus pada isu yang berkembang saat ini terkait amandemen kelima yang memunculkan PPHN.
Banyak pandangan lain baik perlunya amandemen maupun tidak, DPD RI sudah menyuarakan juga amandemen terkait penguatan/penataan DPD RI.
Menurut Tansil Linrung yang juga mantan Anggota DPR RI, kalau harus lewat amandemen (PPHN), maka perlu juga agenda penguatan kewenangan DPD RI, Presidential Threshold (ambang batas), dari DPD RI yang dominan menginginkan tidak adanya PT atau 0 persen.
(***/Finda Muhtar)