Manado, BeritaManado.com — Di tengah tantangan yang dihadapi oleh sistem peradilan, sekelompok hakim menggelar aksi protes untuk menuntut perhatian terhadap kesejahteraan mereka.
Dilansir dari Suara.com jaringan BeritaManado.com juru bicara Solidaritas Hakim Indonesia, Fauzan Arrasyid, mengatakan akan ada sejumlah hakim yang berangkat ke Jakarta untuk melakukan aksi protes, audiensi, dan silaturahmi dengan lembaga terkait dan tokoh nasional yang peduli pada isu peradilan.
“Gerakan ini bertujuan untuk menyuarakan aspirasi para hakim yang telah lama terabaikan, serta mengingatkan pemerintah bahwa tanpa jaminan kesejahteraan yang layak, penegakan hukum akan kehilangan wibawa dan keadilan yang hakiki,” kata Fauzan dalam pernyataannya, Kamis (26/9/2024).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa gerakan itu didorong dari gaji dan tunjangan yang tidak memadai.
Dia menyebut bahwa hakim masih mendapatkan gaji yang sama dengan PNS biasa, padahal dia mengatakan hakim memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Dia bahkan mengungkapkan bahwa tunjangan jabatan yang terima hakim tidak mengalami perubahan selama 12 tahun.
“Ketidakseimbangan ini menyebabkan ketika seorang hakim pensiun, penghasilannya menurun drastis. Selain itu, tunjangan jabatan yang diberikan kepada hakim juga tidak mengalami perubahan dan penyesuaian selama 12 tahun terakhir, sejak diberlakukannya PP 94/2012,” tutur Fauzan.
Selanjutnya, dia juga menyebut bahwa gerakan ini dilatarbelakangi oleh inflasi yang terus meningkat dan dinilai telah menggerus nilai tunjangan yang diterima hakim.
“Berdasarkan data Bank Indonesia, inflasi aktual mencapai puncaknya pada beberapa tahun terakhir, sementara gaji dan tunjangan hakim tetap stagnan. Contonya, harga emas yang menjadi salah satu indikator kesejahteraan telah naik dari Rp584.200 per gram pada 2012 menjadi Rp1.443.000 per gram pada September 2024,” ungkap Fauzan.
Lebih lanjut, dia juga mengeluhkan bahwa hakim tidak mendapatkan tunjangan kinerja sejak 2012.
Dia menjelaskan hakim hanya mengandalkan tunjangan jabatan yang sudah tidak mengalami kenaikan selama 12 tahun.
Fauzan juga menyebut adanya tunjangan yang kemahalan dan tidak merata.
Menurut dia, pengaturan tunjangan kemahalan saat ini tidak mencerminkan kondisi geografis dan aksesibilitas wilayah pengadilan di seluruh Indonesia.
“Beberapa pengadilan yang berada di wilayah terpencil atau perbatasan tidak menerima tunjangan kemahalan yang layak, sehingga tidak memberikan insentif bagi hakim untuk bertugas di daerah tersebut,” sebut Fauzan.
Tak hanya itu, Fauzan juga mengatakan beban kerja dan jumlah hakim tidak proporsional.
Dia mengungkapkan bahwa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2023 menunjukkan jumlah hakim pada tingkat pertama sebanyak 6069 orang dengan beban sejumlah 2.845.784 perkara.
Fauzan menyebut penanganan perkara itu dilakukan dengan porsi yang berbeda-beda antara satu hakim dengan hakim lainnya.
Selain tugas pokok menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, lanjut Fauzan, hakim juga memiliki tugas tambahan lain seperti pengawasan bidang dan manajemen peradilan.
“Beban kerja yang tidak proporsional dirasa sangat membebani, mengingat di setiap satuan kerja jumlah hakim tidak sama bahkan beberapa satuan kerja di Indonesia Timur saat ini hanya disi oleh dua sampai tiga orang hakim, krisis hakim nampak nyata di depan mata,” kata Fauzan.
Masalah lainnya ialah masalah kesehatan mental yang dialami para hakim lantaran beban kerja dan tanggung jawab berat dengan kondisi hidup jauh dari keluarga.
Hal itu disebut menyebabkan banyak hakim yang memerlukan penanganan tenaga kesehatan mental.
Menurut Fauzan, harapan hidup hakim juga makin menurun karena banyaknya beban kerja dan tuntutan tanggung jawab membuat para hakim tidak memiliki waktu untuk memperhatikan kesehatannya.
Aktifitas keseharian duduk, berfikir, dan memecahkan masalah-masalah pelik disebut sering menyita waktu untuk sekadar makan, istirahat, dan olahraga.
“Tercatat pertahun 2024 lebih dari 17 hakim yang mash aktif bekerja meninggal dunia,” ungkap Fauzan.
Tak hanya itu, Fauzan juga mengungkapkan para hakim kerap mendapatkan rumah dinas dan fasilitas transportasi yang tidak memadai.
Dia mengungkapkan banyak hakim yang terpaksa tinggal di kos-kosan atau harus menggunakan kendaraan pribadi untuk menjalankan tugasnya.
Permasalahan para hakim disebut juga berdampak pada kesejahteraan keluarga hakim.
Akibat tunjangan yang tidak mengalami penyesuaian selama 12 tahun, Fauzan menambahkan, kini banyak hakim yang tidak mampu membawa keluarganya ke daerah penempatan kerja.
“Banyak hakim yang terpaksa hidup terpisah dari keluarga mereka dan tidak jarang banyak pasangan hakim memutuskan untuk keluar dari pekerjaan untuk serta mendampingi pasangan ke pelosok daerah, hal demikian tidak hanya berdampak pada kesejahteraan finansial tetapi juga pada kesejahteraan psikologis dan emosional hakim beserta keluarganya,” tutur Fauzan.
Selain itu, Fauzan juga mengatakan banyak hakim di daerah tidak mendapatkan jaminan keamanan yang memadai saat menjalankan tugas.
Dia mengungkapkan ada banyak kasus di mana hakim mengalami ancaman fisik seperti ditusuk, diintimidasi, bahkan dilempar kursi saat menjalankan tugas di pengadilan.
“Beberapa hakim bahkan pernah terjebak dalam amukan massa karena ketidakpuasan atas putusan yang dijatuhkan. Kondisi ini menegaskan betapa rentannya posisi hakim dan perlunya jaminan,” tegas Fauzan.
Adapun masalah terakhir yang disampaikan Fauzan ialah kurangnya keberpihakan terhadap hakim perempuan.
Dia menjelaskan beban ganda dalam mengemban fungsi sosial juga menjadi tantangan tersendiri bagi hakim perempuan.
Namun, lanjut Fauzan, kurangnya perhatian khusus terhadap hakim perempuan kerap terjadi seperti penempatan jauh dari pasangan, hidup sendirian dengan anak-anaknya, beban kerja yang sama rata dengan yang lain meski hakim perempuan sedang dalam kondisi butuh perhatian khusus misal sedang hamil dan menyusui.
“Karenanya, hakim perempuan harus didukung agar dapat menjalankan peran sebagai hakim ataupun peran lain yang ada padanya,” tandas Fauzan.
(Erdysep Dirangga)