Oleh: Jusuf Kalengkongan
Manado – Kemana semua keterampilan dan keahlian pendahulu-pendahulu kita? Budaya Mapalus akan mengarah kemana di era sekarang ini? Setidaknya kedua pertanyaan awal yang mengantar perbincangan dalam diskusi Pemuda dan Pemudi pemerhati kelangsungan masyarakat Sulut/Manado di salah satu ruang bacarita dimana diskusi ringan yang di prakarsai oleh LSM Helping Hands dibawah arahan Jusuf Kalengkongan mendapat response yang sangat positif dari kawula muda.
Kenapa tidak, untuk saat ini angkatan kerja yang dari daerah luar Sulut yang memasuki daerah kita di perkirakan lebih dari 50 persen lowongan pekerjaan yang tersedia. Walaupun data ini belum di cross cek dengan Dinas Tenaga Kerja yang seharusnya mempunyai data lewat pengurusan Kartu Pencari Kerja.
Banyak faktor yang menyebabkan investor/perusahan/toko/bidang usaha lainnya mengimport tenaga kerja dari luar yang mana menjadi trend di Manado saat ini. Salah satunya adalah keahlian serta keterampilan yang dipunyai oleh pencari kerja di Manado dan sekitarnya hampir semuanya sama, tidak ada differensiasi ketrampilan, alias kebanyakan yang kuliah hanya iko-iko rame.
Di tahun-tahun 1990an semua masuk Jurusan Akuntansi dan Management. Tahun 2000an awal di Komputerisasi, dan akhir tahun 2000an di Informatika. Ada apa dengan generasi muda kita saat ini? Apakah kuliah itu harus ikut-ikutan? Sekolah itu hanya mejeng saja yang penting kuliah? Setelah kuliah tidak tahu harus berbuat apa. Dimana intervensi para senior yang berkiprah di Nasional maupun International untuk mengarahkan Angkatan Muda Sulut yang produktif, tepat guna dan berdaya saing? Bagaimana peran Universitas-Universitas di Sulut untuk generasi muda ini? Kurikulum yang di siapkan seperti apa? Yang akhirnya harus memproduksi keterampilan yang sama.
Faktor yang lain juga yang tidak kalah adalah faktor Gengsi, kebanyakan anak muda saat ini tidak mau bekerja mulai dari bawah. Langsung ada kursi? Apa?!!!? Tapi itulah yang menjadi kenyataan, banyak sarjana yang menganggur karena juga di support oleh pengetahuan orang tua di Manado ini yang masih gengsi, biar joh kita pe anak di rumah, so sarjana masa kong mo kerja ndak sesuai dengan dia pe skolah? Hal ini sangat memiriskan hati, karena mendidik pola pikir yang salah kepada generasi muda kita.
Menurut Kalengkongan, ‘Comfortable zone’nya orang tua yang di nikmati oleh generasi muda saat ini yang membawah kepada unproductivity angkatan muda di Sulut ini. Sampai kapan orang tua akan memberikan zona nyaman ini kepada anak-anaknya? Pada saat orang tua sudah tidak ada lagi, anak-anak yang seperti inilah yang akan menjual segala asset dan kepunyaan orang tua ini dan hanya bisa menghabiskan uang tapi tidak bisa memproduksi untuk kehidupannya sendiri dan bahkan harus pulang kampung. Untuk itu diharapkan semua elemen masyarakat dan pemangku kepentingan masyarakat Sulut pada umumnya dan Manado pada khususnya untuk berbenah diri menyongsong era pembangunan menuju globalisasi. (Jk/edit jerry)
Oleh: Jusuf Kalengkongan
Manado – Kemana semua keterampilan dan keahlian pendahulu-pendahulu kita? Budaya Mapalus akan mengarah kemana di era sekarang ini? Setidaknya kedua pertanyaan awal yang mengantar perbincangan dalam diskusi Pemuda dan Pemudi pemerhati kelangsungan masyarakat Sulut/Manado di salah satu ruang bacarita dimana diskusi ringan yang di prakarsai oleh LSM Helping Hands dibawah arahan Jusuf Kalengkongan mendapat response yang sangat positif dari kawula muda.
Kenapa tidak, untuk saat ini angkatan kerja yang dari daerah luar Sulut yang memasuki daerah kita di perkirakan lebih dari 50 persen lowongan pekerjaan yang tersedia. Walaupun data ini belum di cross cek dengan Dinas Tenaga Kerja yang seharusnya mempunyai data lewat pengurusan Kartu Pencari Kerja.
Banyak faktor yang menyebabkan investor/perusahan/toko/bidang usaha lainnya mengimport tenaga kerja dari luar yang mana menjadi trend di Manado saat ini. Salah satunya adalah keahlian serta keterampilan yang dipunyai oleh pencari kerja di Manado dan sekitarnya hampir semuanya sama, tidak ada differensiasi ketrampilan, alias kebanyakan yang kuliah hanya iko-iko rame.
Di tahun-tahun 1990an semua masuk Jurusan Akuntansi dan Management. Tahun 2000an awal di Komputerisasi, dan akhir tahun 2000an di Informatika. Ada apa dengan generasi muda kita saat ini? Apakah kuliah itu harus ikut-ikutan? Sekolah itu hanya mejeng saja yang penting kuliah? Setelah kuliah tidak tahu harus berbuat apa. Dimana intervensi para senior yang berkiprah di Nasional maupun International untuk mengarahkan Angkatan Muda Sulut yang produktif, tepat guna dan berdaya saing? Bagaimana peran Universitas-Universitas di Sulut untuk generasi muda ini? Kurikulum yang di siapkan seperti apa? Yang akhirnya harus memproduksi keterampilan yang sama.
Faktor yang lain juga yang tidak kalah adalah faktor Gengsi, kebanyakan anak muda saat ini tidak mau bekerja mulai dari bawah. Langsung ada kursi? Apa?!!!? Tapi itulah yang menjadi kenyataan, banyak sarjana yang menganggur karena juga di support oleh pengetahuan orang tua di Manado ini yang masih gengsi, biar joh kita pe anak di rumah, so sarjana masa kong mo kerja ndak sesuai dengan dia pe skolah? Hal ini sangat memiriskan hati, karena mendidik pola pikir yang salah kepada generasi muda kita.
Menurut Kalengkongan, ‘Comfortable zone’nya orang tua yang di nikmati oleh generasi muda saat ini yang membawah kepada unproductivity angkatan muda di Sulut ini. Sampai kapan orang tua akan memberikan zona nyaman ini kepada anak-anaknya? Pada saat orang tua sudah tidak ada lagi, anak-anak yang seperti inilah yang akan menjual segala asset dan kepunyaan orang tua ini dan hanya bisa menghabiskan uang tapi tidak bisa memproduksi untuk kehidupannya sendiri dan bahkan harus pulang kampung. Untuk itu diharapkan semua elemen masyarakat dan pemangku kepentingan masyarakat Sulut pada umumnya dan Manado pada khususnya untuk berbenah diri menyongsong era pembangunan menuju globalisasi. (Jk/edit jerry)