Bitung – Warga Batuputih menyatakan akan mengambil kembali lahan Taman Wisata Alam (TWA) Tangkoko jika proyek pembangunan jalan oleh BKSDA Sulut tidak dihentikan. Pasalnya, lahan seluas 616 meter persegi yang kini dijadikan TWA adalah lahan milik warga Batuputih yang diserahkan ke pemerintah untuk dijadikan wilayah TWA Tangkoko.
“Tahun 1963 sampai 1971 orang tua-tua Batuputih membuka lahan perkebunan di wilayah yang dijadikan TWA. Namun tahun 1971 mereka diusir paksa dengan alasan lokasi tersebut akan dijadikan wilayah TWA,” kata salah satu tokoh masyarakat Batu Putih, Yosep Pontoh, Senin (9/12/13).
Tahun 1972 kata Pontoh, warga sepakat untuk menyerahkan lahan tersebut sebagai wilayah TWA karena tujuan pemerintah adalah untuk melestarikan hutan. “Orang tua kami setuju lahan perkebunan mereka dijadikan TWA karena tujuannya positif yakni untuk menjaga kelestarian hutan. Dan itu kami dukung secara turuntemurun ikut menjaga kelestarian hutan,” katanya.
Namun kepercayaan warga kepada pemerintah terusik karena adanya proyek pembangunan akses jalan diwilayah TWA Tangkoko yang mengorbankan ratusan pohon. Dan hal inilah yang memicu kemarahan warga sehingga nekat melakukan aksi penghadangan dan menutup akses jalan masuk ke wilayah TWA.
“Kalau memang pemerintah sudah tidak bisa menjaga hutan, baiknya lahan tersebut kami ambil kembali karena awalnya memang lahan tersebut adalah milik orang tua kami yang diberikan dengan sepenuh hati untuk kepentingan bersama,” katanya.
Hal senada juga dikatakan warga lain, Alfons Wodi. Wodi menilai, pemerintah hanya tahu merusak hutan dan hanya menjadikan masyarakat sebagai kambing hitam sebagai pengrusak hutan.
“Proyek pembangunan jalan TWA tidak pernah disosialisasikan kepada kami dan aktivitas pekerjaanya dilakukan malam hari. Ini yang membuat kami sangat kecewa karena hutan yang selama ini kami jaga begitu gampang diutak-atik pemerintah dengan alasan tidak jelas,” kata Wodi.
Wodi menyatakan, jika sampai proyek pembangunan jalan di kawasan TWA tidak dihentikan maka masyarakat akan mulai masuk dan mengkapling sesuai dengan warisan yang ditinggalkan tua-tua kampong. “Kenapa pemerintah tidak pernah berpihak kepada kami yang jelas-jelas tujuannya hanya untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Kenapa pemerintah lebih memprioritaskan proyek yang tujuannya hanya merusak hutan daripada masyarakat yang sudah bertahun-tahun menjaga hutan turuntemurun,” katanya.(abinenobm)
Bitung – Warga Batuputih menyatakan akan mengambil kembali lahan Taman Wisata Alam (TWA) Tangkoko jika proyek pembangunan jalan oleh BKSDA Sulut tidak dihentikan. Pasalnya, lahan seluas 616 meter persegi yang kini dijadikan TWA adalah lahan milik warga Batuputih yang diserahkan ke pemerintah untuk dijadikan wilayah TWA Tangkoko.
“Tahun 1963 sampai 1971 orang tua-tua Batuputih membuka lahan perkebunan di wilayah yang dijadikan TWA. Namun tahun 1971 mereka diusir paksa dengan alasan lokasi tersebut akan dijadikan wilayah TWA,” kata salah satu tokoh masyarakat Batu Putih, Yosep Pontoh, Senin (9/12/13).
Tahun 1972 kata Pontoh, warga sepakat untuk menyerahkan lahan tersebut sebagai wilayah TWA karena tujuan pemerintah adalah untuk melestarikan hutan. “Orang tua kami setuju lahan perkebunan mereka dijadikan TWA karena tujuannya positif yakni untuk menjaga kelestarian hutan. Dan itu kami dukung secara turuntemurun ikut menjaga kelestarian hutan,” katanya.
Namun kepercayaan warga kepada pemerintah terusik karena adanya proyek pembangunan akses jalan diwilayah TWA Tangkoko yang mengorbankan ratusan pohon. Dan hal inilah yang memicu kemarahan warga sehingga nekat melakukan aksi penghadangan dan menutup akses jalan masuk ke wilayah TWA.
“Kalau memang pemerintah sudah tidak bisa menjaga hutan, baiknya lahan tersebut kami ambil kembali karena awalnya memang lahan tersebut adalah milik orang tua kami yang diberikan dengan sepenuh hati untuk kepentingan bersama,” katanya.
Hal senada juga dikatakan warga lain, Alfons Wodi. Wodi menilai, pemerintah hanya tahu merusak hutan dan hanya menjadikan masyarakat sebagai kambing hitam sebagai pengrusak hutan.
“Proyek pembangunan jalan TWA tidak pernah disosialisasikan kepada kami dan aktivitas pekerjaanya dilakukan malam hari. Ini yang membuat kami sangat kecewa karena hutan yang selama ini kami jaga begitu gampang diutak-atik pemerintah dengan alasan tidak jelas,” kata Wodi.
Wodi menyatakan, jika sampai proyek pembangunan jalan di kawasan TWA tidak dihentikan maka masyarakat akan mulai masuk dan mengkapling sesuai dengan warisan yang ditinggalkan tua-tua kampong. “Kenapa pemerintah tidak pernah berpihak kepada kami yang jelas-jelas tujuannya hanya untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Kenapa pemerintah lebih memprioritaskan proyek yang tujuannya hanya merusak hutan daripada masyarakat yang sudah bertahun-tahun menjaga hutan turuntemurun,” katanya.(abinenobm)