Bitung – Terik matahari siang itu tak dipedulikan ratusan warga Batuputih. Mereka berjalan kaki puluhan kilo meter dari Perempatan Girian menuju Pusat Kota sebagai bentuk protes terhadap penahanan 17 orang warga Batuputih atas dugaan perambahan kawasan TWA Batuputih.
Dengan menggunakan baju hitam, ratusan warga Batuputih terus meneriakkan ketidakadilan sepanjang jalan. Mereka menilai, Polres Kota Bitung diskriminatif karena tak berani menangkap aparat BKSDA Sulut yang dilaporkan ikut melakukan perambahan TWA Batuputih oleh warga.
“Laporan warga soal oknum BKSDA Sulut yang terlibat penebangan dan penjualan kayu dari hutan lindung, hingga hari ini hanya menghasilkan tumpukan kayu didepan ruangan Kasat Reskrim Polres sebagai barang bukti tapi tak ada pelakunya,” kata salah satu tim advokasi masyarakat Batuputih, Michael Yakobus, Senin (3/3/2014).
Tapi begitu BKSDA Sulut melaporkan 17 orang warga Batuputih, Polres begitu cepat bergerak dan melakukan penangkapan dengan cara-cara menangkap pembunuh dan teroris. “Masyarakat ditangkap dengan cara menggunakan kekerasan dan ditodong dengan senjata seperti pelaku pembunuhan dan teroris,” katanya.
Padahal kata Yakobus, aksi warga menduduki lahan TWA Batuputih hanyalah sebagi bentuk protes atas proyek pembangunan jalan wisata di TWA Batuputih yang harus mengorbankan puluhan pohon. “Masyarakat menolak karena proyek itu tak pernah disosialisasikan dan merusak hutan serta mengancam habitat satwa. Tapi sayang, protes warga tak mendapat respon,” katanya.
Upaya Pemkot, DPRD Kota Bitung untuk bernegoisasi dengan Polres dan BKSDA Sulut agar membebaskan 17 orang warga Batuputih tak membuahkan hasil. Pasalnya, Kepala BKSDA Sulut, Sudiyono menghianati hasil keputusan bersama yang telah disepakati untuk mecabut dan membebaskan 17 orang warga tak dilakukan.
“Kami percaya keadilan itu masih ada dan itu sementara kami perjuangkan,” katanya.(abinenobm)
Bitung – Terik matahari siang itu tak dipedulikan ratusan warga Batuputih. Mereka berjalan kaki puluhan kilo meter dari Perempatan Girian menuju Pusat Kota sebagai bentuk protes terhadap penahanan 17 orang warga Batuputih atas dugaan perambahan kawasan TWA Batuputih.
Dengan menggunakan baju hitam, ratusan warga Batuputih terus meneriakkan ketidakadilan sepanjang jalan. Mereka menilai, Polres Kota Bitung diskriminatif karena tak berani menangkap aparat BKSDA Sulut yang dilaporkan ikut melakukan perambahan TWA Batuputih oleh warga.
“Laporan warga soal oknum BKSDA Sulut yang terlibat penebangan dan penjualan kayu dari hutan lindung, hingga hari ini hanya menghasilkan tumpukan kayu didepan ruangan Kasat Reskrim Polres sebagai barang bukti tapi tak ada pelakunya,” kata salah satu tim advokasi masyarakat Batuputih, Michael Yakobus, Senin (3/3/2014).
Tapi begitu BKSDA Sulut melaporkan 17 orang warga Batuputih, Polres begitu cepat bergerak dan melakukan penangkapan dengan cara-cara menangkap pembunuh dan teroris. “Masyarakat ditangkap dengan cara menggunakan kekerasan dan ditodong dengan senjata seperti pelaku pembunuhan dan teroris,” katanya.
Padahal kata Yakobus, aksi warga menduduki lahan TWA Batuputih hanyalah sebagi bentuk protes atas proyek pembangunan jalan wisata di TWA Batuputih yang harus mengorbankan puluhan pohon. “Masyarakat menolak karena proyek itu tak pernah disosialisasikan dan merusak hutan serta mengancam habitat satwa. Tapi sayang, protes warga tak mendapat respon,” katanya.
Upaya Pemkot, DPRD Kota Bitung untuk bernegoisasi dengan Polres dan BKSDA Sulut agar membebaskan 17 orang warga Batuputih tak membuahkan hasil. Pasalnya, Kepala BKSDA Sulut, Sudiyono menghianati hasil keputusan bersama yang telah disepakati untuk mecabut dan membebaskan 17 orang warga tak dilakukan.
“Kami percaya keadilan itu masih ada dan itu sementara kami perjuangkan,” katanya.(abinenobm)