Manado, BeritaManado.com — Virus nepotisme mulai nyata dalam menyambut pemilihan serentak.
Sebenarnya, topik ini sudah berulang-kali diangkat apalagi menyambut pesta demokrasi seperti sekarang.
Sasaran tembaknya tentu saja adalah partai politik (parpol).
Mengapa?
Bukti kegagalan parpol menyiapkan kader sudah banyak terlihat di setiap kontestasi lima tahunan.
Praktik ‘dagang sapi’ masih ramai
Tak perlu tengok jauh-jauh, lihat saja di Sulut, virus ini terang-benderang.
Sekjen Kawal Indonesia, Andre Vincent Wenas MM MBA menyebut beberapa petahana di Sulut akan meneruskan kekuasaan pada keluarga dekat.
Dan itu berpotensi terjadi di pemilihan serentak di Kota Manado, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Bolaang Mongondow Timur.
Memang kata Andre Vincent, Undang-undang tidak melarang hal itu.
Namun menurut dia, imbas dari virus dinasti akan lebih berbahaya dari corona.
Sebab seyogiahnya, proses seleksi kepemimpinan terjadi dalam platform simetris bukan asimetris karena campur tangan kekuasaan.
“Di sinilah peran parpol tampil,” beber Vincent.
Ia menjelaskan, pemimpin daerah memang dipilih rakyat.
Namun dalam menentukan calon, itu menjadi peran parpol .
Sayangnya kata Vincent, dalam tahapan ini, praktik ‘dagang sapi’ masih ramai.
“Sekarang kita kembalikan ke rakyat lagi. Harus melihat mana yang berkompeten dan tidak sebagai pemimpin nanti,” bebernya.
Pemilihan serentak 2020 diprediksi masih akan diselimuti persoalan yang rumit dipecahkan.
Yang paling menonjol adalah praktik politik dinasti.
Para kepala daerah akan memanfatakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mencalonkan kerabat dekat.
Politik kekerabatan sebetulnya tidak bermasalah
Dosen Kepemiluan FISIP Universitas Sam Ratulangi (Samrat), Ferry Daud Liando menilai fenomena ini terjadi hampir di semua parpol.
Ferry Liando menuturkan, politik kekerabatan sebetulnya tidak bermasalah asal calon yang diusung memiliki kapasitas dan pengalaman kepemimpinan bagus.
“Karena sekali lagi, dipilih menjadi pemimpin adalah hak asasi manusia,” bebernya.
Namun kata Liando, praktik serupa pernah terjadi di pemilu 2019.
Saat itu, kerabat kepala daerah yang dicalonkan tak semuanya memiliki kapasitas memadai.
Pengalaman sosial dan kepemimpinan terbatas.
“Mereka dipaksakan memegang jabatan yang asing buat mereka. Dicalonkan bukan untuk misi kepentingan publik, bahkan sebagian dari mereka awalnya tidak memiliki pekerjaan tetap. Seolah pemilu menjadi momentum agar mereka mendapat pekerjaan,” tegas Liando.
Politik dinasti memang sulit dicegah
Lagi-lagi itu terjadi karena buruknya kaderisasi parpol.
“Target parpol yang penting menang, kapasitas tidak diutamakan,” ujar Liando.
Bukan hanya politik dinasti, pemilihan serentak tahun ini bakal menemui berbagai tantangan
Semisal penegakkan hukum terhadap netralitas ASN yang lemah.
Padahal para abdi negara ini kerap dimanfaatkan kepala daerah memenangakan kerabatnya.
Ferry menambahkan, pada pencalonan, hal miris adalah masih diusungnya politisi yang memiliki rekam jejak buruk dimasa lalu.
Seperti terpidana korupsi.
(Alfrits Semen)
Baca juga:
- Partai Golkar dari Partai Egaliter ke Partai Dinasti
- Dinasti Politik dan Politik Dinasti: Perlunya Literasi Publik Jelang Pilkada Serentak 2020
- Dinasti Politik, Sarundajang: Kenapa Tidak?
- Reiner: Dinasti Politik, Itu Keniscayaan Politik