Manado, BeritaManado.com — Data terakhir dari Kementerian Kesehatan RI dengan sebaran virus Corona (COVID-19) per 23 Maret 2020 pukul 15:45 WIB
Di Indonesia kasus positif 579, meninggal dunia 49, sembuh 3, di seluruh dunia kasus positif 341,368, meninggal dunia 14.759, sembuh 98.866.
Kondisi ini tentu harus menjadi tanda awas di seantero dunia, khusus untuk Indonesia, pemerintah telah memperpanjang masa waktu darurat COVID-19 selama 91 hari.
Direktur Oprasional PD Pasar Kota Manado Tommy Sumelung (Tomsu) saat berbincang dengan awak media, Selasa (24/03/2020), mengatakan saat ini manusia menghadapi krisis akut tidak hanya karena virus Corona, tetapi juga karena kurangnya kepercayaan di antara manusia.
“Untuk mengalahkan epidemi masyarakat perlu mempercayai para pakar sains, warga negara perlu mempercayai otoritas publik, dan negara-negara harus saling percaya,” kata Tommy Sumelung.
Menurut Tommy Sumelung sebagai akibatnya, manusia sekarang menghadapi krisis kehilangan pemimpin global yang dapat menginspirasi, mengatur dan membiayai respons global yang terkoordinasi.
Selama epidemi Ebola 2014, AS berperan sebagai pemimpin seperti itu.
AS memenuhi peran serupa juga selama krisis keuangan 2008, ketika negara itu mendukung negara-negara untuk mencegah krisis ekonomi global.
“Namun dalam beberapa tahun terakhir AS telah menarik diri dari perannya sebagai pemimpin global. Pemerintahan AS saat ini telah memangkas dukungan untuk organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan telah menegaskan diri sangat jelas di mata dunia bahwa AS tidak lagi memiliki teman sejati, ia hanya memiliki kepentingan,” ulas Tomsu
Ketika krisis virus Corona meletus, AS tetap bergeming, dan sejauh ini menahan diri untuk tidak mengambil peran utama.
Bahkan jika pada akhirnya mencoba untuk mengambil alih kepemimpinan, kepercayaan pada pemerintahan AS saat ini telah terkikis sedemikian rupa, sehingga hanya sedikit negara yang mau mengikutinya.
“Apakah Anda akan mengikuti pemimpin yang mottonya adalah Aku Duluan?,” kutip Tomsu
Kekosongan yang ditinggalkan oleh AS belum diisi oleh pihak lain.
Justru sebaliknya xenophobia, isolasionisme, dan ketidakpercayaan kini menjadi ciri sebagian besar sistem internasional.
“Tanpa kepercayaan dan solidaritas global kita tidak akan bisa menghentikan epidemi corona virus, dan kita cenderung melihat lebih banyak epidemi seperti itu di masa depan,” ucapnya
Tetapi setiap krisis juga merupakan peluang, semoga epidemi saat ini akan membantu umat manusia menyadari bahaya akut yang ditimbulkan oleh perpecahan global.
“Untuk mengambil satu contoh yang menonjol, epidemi bisa menjadi peluang emas bagi Uni Eropa (EU), untuk mendapatkan kembali dukungan rakyat yang telah hilang dalam beberapa tahun terakhir,” paparnya.
Jika anggota EU yang lebih beruntung dengan cepat dan murah hati mengirim uang, peralatan dan tenaga medis untuk membantu rekan-rekan mereka yang paling kena dampak, ini akan membuktikan nilai ideal Eropa lebih baik daripada nilai pidato.
“Tapi jika masing-masing negara dibiarkan berjuang sendiri, maka epidemi itu mungkin akan menjadi lonceng kematian bagi EU,” tukasnya
Di saat krisis ini, perjuangan krusial terjadi di dalam kemanusiaan itu sendiri.
Jika epidemi ini menghasilkan perpecahan yang lebih besar dan ketidakpercayaan di antara manusia, itu akan menjadi kemenangan virus terbesar.
“Ketika manusia berselisih virus berlipat ganda. Sebaliknya, jika epidemi menghasilkan kerja sama global yang lebih dekat, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus Corona, tetapi juga terhadap semua patogen/parasit di masa depan,” pungkas Tomsu.
(***/BennyManoppo)