Jakarta, BeritaManado.com — Dulu Robby Djohan ditunjuk menjadi Direktur Utama tatkala PT. Garuda Indonesia akan dibangkrutkan oleh para kreditur karena disebabkan kesalahan dalam pengurusan.
Pengusaha berdarah kawanua Andre Vincent Wenas menilai, ada semacam Deja
Vu, keadaan di mana kita merasa familiar dengan kondisi ini, kayaknya kita
sudah pernah mengalami hal seperti ini dengan keadaan yang sama.
Memang kenyataannya,
krisis seperti ini bukan kali pertama dialami Garuda, maka mari kita kilas
balik 20 tahun lampau.
Waktu itu, gara-gara hutang besar kepada kreditur asing untuk menutupi
kerugian selama tujuh tahun, maka kondisinya jadi sangat parah ketika krisis
ekonomi menerapa di tahun 1998.
Nilai tukar rupiah meroket ke Rp15.000 / USD dan Presiden Soeharto ketika itu menugaskan Menteri BUMN pertama Tanri Abeng untuk menyelamatkan Garuda.
“Ini tentang Garuda
yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya. Tugas saudara menyelamatkan agar
Garuda tidak di-grounded karena Garuda membawa bendera Republik,” kata Andre
Vincent Wenas mengutip pernyataan Presiden Soeharto.
Saat itu Tanri Abeng juga mengalami dilema, lantaran direksi Garuda adalah
mantan ajudan Pak Harto dan jaman itu siapa berani geser orang dekat Cendana?
Namun Tanri Abeng nekat bicara dengan Pak Harto dan ternyata disetujui, bahkan untuk ganti seluruh jajaran direksinya.
Kabarnya banyak mafia
juga di dalam gerak korporasinya saat itu yang punya kemiripan dengan saat ini.
Meneruskan jalannya perusahaan sambil membalikkan kinerjanya jadi positif
kembali merupakan suatu tantangan tersendiri.
Perlu spirit tangguh
dan etos kerja luar biasa untuk terus cari jalan demi mengembalikan kejayaan
korporasi.
Pertama-tama, periksa laporan keuangan dan minimal tiga laporan keuangan
dasar perusahaan, yaitu Laporan keuangan Arus Kas (Cash-Flow), dengan maksud
jangan sampai aliran dana keluar lebih besar daripada aliran dana yang masuk
(negative cash-flow).
Setelah itu perlu juga dicermati laporan eraca (balance-sheet) yang merpakan potret kekayaan atau asset perusahaan dengan memeriksa nilai hutang lebih besar disbanding dengan harta, dimana hal ini namanya negative networth.
Yang tidak kalah penting juga adalah
Laporan Rugi Laba (profit and lost/income statement), dimana laporan ini
menggambarkan operasional perusahaan tentang bagaimana posisi laba kotor (gross
profit) yang merupakan hasil dari pendapatan (revenue) dikurangi dengan harga
perolehan (cost of good sold).
Dari laporan rugi-laba ini, kita juga bisa melihat laba operasi (operating
profit), yakni keuntungan yang diperoleh setelah dipotong ongkos operasional
(seperti gaji, ongkos promosi dan penjualan, sampai biaya administrasi).
Kemudian, kita juga
bisa melihat laba ditahan (retained earnings), apakah masih ada yang tersisa
dan Ini perlu untuk pertumbuhan perusahaan di masa depan, jangan sampai
posisinya negatif.
Dari analisa ketiga laporan keuangan tersebut dan blusukan ke beberapa
situs perusahaan, pelanggan, mitra bisnis, kita bisa mulai melakukan
restrukturisasi dan strategi turn-around perusaahan.
Untuk perkara ini kita
belajar dari pakarnya, Robby Djohan, yang telah membesarkan Bank Niaga,
merestrukturisasi Garuda Indonesia Airways, serta memimpin penggabungan
beberapa bank plat merah bermasalah menjadi Bank Mandiri.
Dalam buku Robby Djohan, ‘The Art of Turn Around – Kiat Restrukturisasi’,
2003, ada beberapa petunjuk, pertama, perbaiki cash-flow, dengan cara mengambil
segala tindakan yang perlu demi menghentikan kerugian dan untuk itu mungkin
perlu merestrukturisasi utang atau suntikan modal baru.
Kedua, identifikasi isu-isu pokok, misalnya citra yang jelek, posisi
keuangan yang insolvent, staf dan personalia yang demotivasi, segmen-segmen
operasional yang tidak profitable, proses kerja yang tidak efisien dan efektif,
faktor kompetisi, dan faktor eksternal lainnya.
Ketiga, tuntaskan tiga masalah operasional seperti personalia, dengan melakukan
pembaruan pada posisi-posisi kunci, kemudian rasionalisasi sekaligus motivasi
karyawan dengan mengubah kultur kerjanya.
Setelah itu hal-hal yang menyangkut operasional, dengan memeriksa semua aset perusahaan, apakah ada yang menganggur atau perlu segera dilakukan perbaikan, dengan kata lain adakah aset yang bisa dijual untuk memperbaiki posisi cash-flow dengan melakukan pemeriksaan secara rinci dan tutup yang merugikan dan susun rencana usaha yang menjawab kebutuhan pelanggan.
Kemudian tentang pemasaran,
melalui perbaikan citra produk maupun perusahaan dengan skala prioritas pada
segmen yang menguntungkan, kemudian siapkan faktor pendukung proses kerja, IT
atau outsourcing.
Lalu, dalam memimpin dan mengelola restrukturisasi itu, ada beberapa tips
dari Robby Djohan, pertama misi dan budaya organisasi yang pragmatis, pemimpin
yang visioner, pragmatis, dahulukan kepentingan perusahaan, kerjakan hari ini
juga, berani ambil keputusan meskipun salah daripada tidak memutuskan sama
sekali.
Keputusan salah masih dapat diperbaiki, khususnya dalam keadaan krisis, ambil keputusan adalah keharusan.
Ini memang sulit karena asumsinya sering tidak pasti dan akibatnya bisa cukup fatal, tapi ingat, tanpa keputusan tidak akan terjadi apa-apa.
Kemudian mengenai
kehidupan dalam perubahan, team work, komunikasi dengan menciptakan suasana
kondusif agar jalur komunikasi dan inovasi terbuka dari segala arah.
Kembali ke kisah penunjukkan Robby Djohan sebagai Dirut Garuda dulu.
Hebatnya, Robby Djohan sendiri mengakui tak tahu apa-apa tentang bisnis penerbangan.
Satu-satunya pengalaman yang ia punya adalah jadi penumpang pesawat.
Wajar kalau dia rada
galau, apalagi melihat hutang Garuda saat itu telah mencapai 1,2 miliar USD,
lebih besar dari seluruh asetnya.
Dari assesment-nya waktu itu Garuda hanya butuh sekitar 6000 orang
karyawan dan Garuda punya karyawan hampir 13.000.
Organisasi terlalu
gemuk! Produktivitas karyawan rendah, banyak rute kering, sepi penumpang, citra
pelayanan buruk, kerap delay tanpa pemberitahuan, sampai-sampai Garuda
diplesetkan jadi Garuda Always Reliable Until Delay Announced.
Keberanian dan kelihaian negosiasi juga dibutuhkan untuk menghadapi
kreditur.
Robby Djohan tahu cara memperlakukan debitur-debitur saat mengalami kesulitan membayar.
Robby bercerita, “Benar saja, mereka (para bankir) langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa.”
Tapi dengan tenang Robby menjawab “Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda.
Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank-bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit.
Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu dan jika anda ingin mengambil kembali pesawat Aanda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami.”
Gertak balik gaya Robby
Djohan berhasil dan Garuda boleh membayar pinjaman dalam tempo 16 tahun dengan
bunga satu persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate).
Tak sampai setahun Robby Djohan intens bekerja, Garuda selamat dari
kebangkrutan.
Bagaimana sekarang? Penyelamatan Garuda Indonesia menjadi Deja Vu, Total Corporate Restructuring! Erick Thohir, Audentes fortuna iuvat! (fortune favors the bold).
Andre Vincent Wenas, DRS, MM, MBA, Sekjen Kawal Indonesia – Komunitas Anak Bangsa
(***/Frangki Wullur)