Pilar Demokrasi
Hasil kerjasama Beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Anda ingat Herbertus Joko Widodo alias Oey Hong Liong, atau Prabowo Subianto yang warga negara Yordania? Ini hanyalah dua dari banyak kabar burung yang berseliweran di linimasa media sosial jelang Pilpres Juli mendatang.
“Twitter, Facebook, BBM dan Whatsapp kini penuh dengan kampanye yang cenderung kampanye hitam dari kedua pasangan,” kata Adnar Nubowo, peneliti dari Public Virtue Institute, LSM yang mengawasi pemberitaan media, khususnya media sosial.
Senin (2/6) malam itu, Adnar berbincang dengan Anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak dalam “Pilar Demokrasi” KBR dan TV Tempo. Keduanya membahas kampanye hitam di media sosial.
Kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif. Kampanye negatif didasarkan pada fakta dan berkaitan dengan rekam jejak calon. Sementara kampanye hitam berisi rumor yang tak jelas asalnya.
Perang media sosial untuk Pemilu adalah yang pertama kalinya di Indonesia. Berbeda dengan Pemilu 2004 dan 2009, Pemilu 2014 kini berada pada era media sosial. Kini ruang-ruang maya digunakan kedua belah kubu untuk saling menjatuhkan. Selain itu perang di media sosial antara dua kubu makin terasa karena kata Adnar, “Pemilu 2014 ini head to head dua pasang calon.”
Adnar mencatat isu SARA adalah yang paling banyak digunakan. Kata dia isu ini memang paling mudah menggerakkan masyarakat yang berasal dari tingkat pendidikan rendah. Kondisi ini kata Adnar, “Bertentangan dengan prinsip pemilu yang demokratis dan berkualitas.”
Nelson Simanjuntak setuju bahwa rivalitas kedua calon makin kental karena hanya ada dua pasang Capres-Cawapres. Situasi ini merembes hingga ke simpatisan di bawah. Mereka bahkan menggunakan informasi tidak benar untuk menjatuhkan lawan.
“Pemberian informasi yang sangat menjelekkan orang kan penyesatan. Sehingga orang tidak tahu mana yang harusnya dipilih,” kata Nelson Simanjuntak.
Tim sukses kedua pasang Capres-Cawapres telah menjamin tim suksesnya takkan memakai kampanye hitam. Namun masyarakat simpatisan partai ada di luar kendali mereka. Apalagi kata Adnar, “Masyarakat bawah mudah terpancing.”
Nelson melihat kampanye hitam di media sosial tidak berpengaruh banyak. Kata dia tak semua orang mau mengikuti perdebatan tanpa akhir di media sosial. Namun Andar berpendapat sebaliknya mengingat jumlah pengguna Facebook atau Twitter di Indonesia yang makin banyak. Pada 2013 pengguna Facebook di Indonesia tercatat mencapai lebih 5 juta pengguna, ke-empat terbesar se-dunia.
Kasus kampanye hitam itu rumit. Jumlah penggunanya sangat banyak dan sebagiannya bisa saja akun palsu. Selain itu, sulit melacak pelaku utama yang menyebarkan kabar bohong. Apalagi bisa saja ada pihak yang memang sengaja dibayar jadi milisi internet. Ditambah kemungkinan ada pihak ketiga yang senang dengan perpecahan kedua kubu pendukung calon. Alhasil, Badan Pengawas Pemilu tidak bisa berbuat banyak.
Bawaslu juga tidak bisa gegabah meminta pemerintah menutup akun penyebar kampanye hitam. “Tidak bisa represif dengan langsung tutup akun. Tutup satu, muncul sejuta yang baru,” kata Nelson lalu tertawa. Nelson mengusulkan kasus ini sebaiknya dilaporkan ke polisi memakai UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Bukan ke Bawaslu dengan UU Pemilu sebab takkan menggigit.
Melawan kampanye hitam itu mudah. “Kalau ada kabar, cek dan ricek. Kalau masyarakat dewasa, kampanye hitam tidak berpengaruh,” ujar Adnar. Selebihnya, kata Adnar, penyelenggara Pemilu harus berkoordinasi dengan Capres, dekati tokoh masyarakat, dan tegakkan hukum.
Kampanye hitam harus segera dilawan. Sebab Nelson kuatir saling adu ini berimbas pada lima tahun ke depan. Nelson takut pilihan politik dibuat jadi perpecahan jangka panjang. Bisa saja kedua kubu jadi bermusuhan di dunia nyata.
Kondisi ini berbahaya buat presiden terpilih siapa pun itu. Sebab Pemilu bukan soal dua bulan ini saja, ia membentuk Indonesia lima tahun ke-depan. Karena itu Nelson mengingatkan, “Capres-Cawapres jangan biarkan masyarakat terbelah saat kampanye.”
Andar mengiyakan, “Jangan sampai dalam Pemilu dua bulan ini persaudaraan kita terkoyak-koyak.” (*)
Pilar Demokrasi
Hasil kerjasama Beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Anda ingat Herbertus Joko Widodo alias Oey Hong Liong, atau Prabowo Subianto yang warga negara Yordania? Ini hanyalah dua dari banyak kabar burung yang berseliweran di linimasa media sosial jelang Pilpres Juli mendatang.
“Twitter, Facebook, BBM dan Whatsapp kini penuh dengan kampanye yang cenderung kampanye hitam dari kedua pasangan,” kata Adnar Nubowo, peneliti dari Public Virtue Institute, LSM yang mengawasi pemberitaan media, khususnya media sosial.
Senin (2/6) malam itu, Adnar berbincang dengan Anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak dalam “Pilar Demokrasi” KBR dan TV Tempo. Keduanya membahas kampanye hitam di media sosial.
Kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif. Kampanye negatif didasarkan pada fakta dan berkaitan dengan rekam jejak calon. Sementara kampanye hitam berisi rumor yang tak jelas asalnya.
Perang media sosial untuk Pemilu adalah yang pertama kalinya di Indonesia. Berbeda dengan Pemilu 2004 dan 2009, Pemilu 2014 kini berada pada era media sosial. Kini ruang-ruang maya digunakan kedua belah kubu untuk saling menjatuhkan. Selain itu perang di media sosial antara dua kubu makin terasa karena kata Adnar, “Pemilu 2014 ini head to head dua pasang calon.”
Adnar mencatat isu SARA adalah yang paling banyak digunakan. Kata dia isu ini memang paling mudah menggerakkan masyarakat yang berasal dari tingkat pendidikan rendah. Kondisi ini kata Adnar, “Bertentangan dengan prinsip pemilu yang demokratis dan berkualitas.”
Nelson Simanjuntak setuju bahwa rivalitas kedua calon makin kental karena hanya ada dua pasang Capres-Cawapres. Situasi ini merembes hingga ke simpatisan di bawah. Mereka bahkan menggunakan informasi tidak benar untuk menjatuhkan lawan.
“Pemberian informasi yang sangat menjelekkan orang kan penyesatan. Sehingga orang tidak tahu mana yang harusnya dipilih,” kata Nelson Simanjuntak.
Tim sukses kedua pasang Capres-Cawapres telah menjamin tim suksesnya takkan memakai kampanye hitam. Namun masyarakat simpatisan partai ada di luar kendali mereka. Apalagi kata Adnar, “Masyarakat bawah mudah terpancing.”
Nelson melihat kampanye hitam di media sosial tidak berpengaruh banyak. Kata dia tak semua orang mau mengikuti perdebatan tanpa akhir di media sosial. Namun Andar berpendapat sebaliknya mengingat jumlah pengguna Facebook atau Twitter di Indonesia yang makin banyak. Pada 2013 pengguna Facebook di Indonesia tercatat mencapai lebih 5 juta pengguna, ke-empat terbesar se-dunia.
Kasus kampanye hitam itu rumit. Jumlah penggunanya sangat banyak dan sebagiannya bisa saja akun palsu. Selain itu, sulit melacak pelaku utama yang menyebarkan kabar bohong. Apalagi bisa saja ada pihak yang memang sengaja dibayar jadi milisi internet. Ditambah kemungkinan ada pihak ketiga yang senang dengan perpecahan kedua kubu pendukung calon. Alhasil, Badan Pengawas Pemilu tidak bisa berbuat banyak.
Bawaslu juga tidak bisa gegabah meminta pemerintah menutup akun penyebar kampanye hitam. “Tidak bisa represif dengan langsung tutup akun. Tutup satu, muncul sejuta yang baru,” kata Nelson lalu tertawa. Nelson mengusulkan kasus ini sebaiknya dilaporkan ke polisi memakai UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Bukan ke Bawaslu dengan UU Pemilu sebab takkan menggigit.
Melawan kampanye hitam itu mudah. “Kalau ada kabar, cek dan ricek. Kalau masyarakat dewasa, kampanye hitam tidak berpengaruh,” ujar Adnar. Selebihnya, kata Adnar, penyelenggara Pemilu harus berkoordinasi dengan Capres, dekati tokoh masyarakat, dan tegakkan hukum.
Kampanye hitam harus segera dilawan. Sebab Nelson kuatir saling adu ini berimbas pada lima tahun ke depan. Nelson takut pilihan politik dibuat jadi perpecahan jangka panjang. Bisa saja kedua kubu jadi bermusuhan di dunia nyata.
Kondisi ini berbahaya buat presiden terpilih siapa pun itu. Sebab Pemilu bukan soal dua bulan ini saja, ia membentuk Indonesia lima tahun ke-depan. Karena itu Nelson mengingatkan, “Capres-Cawapres jangan biarkan masyarakat terbelah saat kampanye.”
Andar mengiyakan, “Jangan sampai dalam Pemilu dua bulan ini persaudaraan kita terkoyak-koyak.” (*)