PILAR DEMOKRASI
Hasil kerjasama BeritaManado.com dengan KBR68H
Meski Presiden Joko Widodo dipilih oleh lebih dari 53 persen pemilih pada pemilu 2014 lalu, ternyata faktanya Presiden Jokowi sulit mengambil keputusan berdasarkan hak prerogatifnya untuk lepas dari kepentingan partai-partai pendukungnya, maupun partai penentangnya. Dalam pemilihan calon Kapolri, Jokowi dikepung oleh desakan partai-partai di DPR. Partai-partai menyetujui Budi Gunawan jadi Kapolri walaupun jadi tersangka. Partai-partai mendesak Jokowi melantik Budi Gunawan, walau publik bersuara sebaliknya. Presiden Jokowi tersandera oleh sistem oligarki yang dianut hampir semua partai yang menduduki parlemen tanpa disadari. Contoh lain oligarki adalah ketika suara publik menginginkan pemilihan kepala daerah secara langsung, tapi elit-elit partai politik menginginkan pilkada lewat DPRD.
Penyebab Partai Menjadi Oligarki
Pengamat Politik sekaligus Direktur Saiful Mujani Research & Consulting, Djayadi Hanan berpendapat, penyanderaan yang tengah dihadapi oleh Presiden Jokowi diakibatkan menguatnya oligarki partai politik. “Oligarki adalah, adalah kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang atau elit, atau segelintir orang, tapi kekuatannya sangat dominan. Atau kekuasaan minoritas terhadap mayoritas,” ujarnya. Biasanya, minoritas ini adalah penyandang dana terbesar di partai. “Jadi terpilihnya seseorang menjadi pimpinan didalam suatu partai ialah tergantung seberapa kekayaan yang dia miliki, bukan berdasarkan kemampuan dan intergritas si individu tersebut,” ujarnya.
Kata dia, jika ini dibiarkan terus menerus, maka akan mengancam kehidupan demokratis di Indonesia. Pasalnya menurut dia, partai politik adalah instrumen vital dalam penegakan demokrasi itu sendiri. Tapi sialnya kata dia, pasca reormasi 1998, saat semua instrumen lain dari bangsa ini sudah memperbaiki diri pasca orde baru, hanya partai politik yang belum mau memperbaiki diri.”Padahal seharusnya dalam demokrasi, partai politik itu berfungsi untuk mewakili masyarakat. Tapi sekarang, partai politik ada untuk mengaspirasi sekelompok elit partai,” ujarnya.
Akibatnya kata dia ketika partai seakan menganut sistem oligarki maka terjadinya pembungkaman suara rakyat. “Bagi elit oligarki, suara rakyat dianggap tidak jelas atau tidak diakui. Tetapi mereka mengakui suara rakyat hanya 5 tahun sekali saat pemilu saja,”. Dampak lebih luasnya lagi kata dia saat adanya pembungkaman suara rakyat adalah timbulnya rasa apatis disebagian besar kalangan masyarakat terhadap politik itu sendiri. “Seharusnya partai ada untuk memberikan kecerdasan berpolitik di dalam masyarakat, fungsi mereka adalah sebagai wadah aspirasi. Sialnya, sebagian besar politisi menikmati keacuhan rakyat tersebut dalam mengambil kebijakan,” ujarnya.
Antisipasi Oligarki Dalam Partai
Survei terbaru dari Saiful Mujani Research & Consulting mengatakan, 70 persen lebih masyarakat Indonesia apatis atau tidak mau tahu terhadap perkembangan politik di Indonesia. Menurut Djayadi Hanan, ini sangat mengkhawatirkan. Kata dia, ada beberapa upaya agar oligarki di partai politik bisa diredam, salah satunya adalah perbaiki sistem keuangan partai politik. “Harus diakui kalau politik membutuhkan uang, tetapi uang bukan segalanya. Oleh karenanya sumber pendanaan partai politik harus diatur sedemikian rupa,” ujarnya. Konstitusi kata dia harus mengatur ini, misalnya dibuat semacam undang-undang yang mengatur dari mana sumber dana partai politik. “Parlemen harus melahirkan UU itu, dana partai bisa dari negara atau dari konstituen dengan jumlah yang dibatasi. Tujuannya agar mudah di audit,” ujarnya.
Cara itu hanya bisa dilakukan ketika kesadaran masyarakat untuk mengawasi dan juga merasa memiliki partai politik besar. “Politisi sekarang itu tidak bisa diminta untuk baik, tetapi harus dipaksa untuk melakukan hal baik. Oleh karenanya seharusnya masyarakat jangan lelah untuk terus mengawasi proses politik agar tetap baik,” ujarnya. Dengan itu, persaingan didalam partai politik juga menjadi sehat. Ditambah lagi regenerasi terus berjalan dengan mekanisme pengkaderan yang berjalan lancar. “Jangan sampai uang bisa mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan untuk menhasilkan uang terus berjalan. Partai yang demokrasi adanya regenerasi didalam kepengurusan partai. Selain itu soal transparansi,” ujarnya. (***)
PILAR DEMOKRASI
Hasil kerjasama BeritaManado.com dengan KBR68H
Meski Presiden Joko Widodo dipilih oleh lebih dari 53 persen pemilih pada pemilu 2014 lalu, ternyata faktanya Presiden Jokowi sulit mengambil keputusan berdasarkan hak prerogatifnya untuk lepas dari kepentingan partai-partai pendukungnya, maupun partai penentangnya. Dalam pemilihan calon Kapolri, Jokowi dikepung oleh desakan partai-partai di DPR. Partai-partai menyetujui Budi Gunawan jadi Kapolri walaupun jadi tersangka. Partai-partai mendesak Jokowi melantik Budi Gunawan, walau publik bersuara sebaliknya. Presiden Jokowi tersandera oleh sistem oligarki yang dianut hampir semua partai yang menduduki parlemen tanpa disadari. Contoh lain oligarki adalah ketika suara publik menginginkan pemilihan kepala daerah secara langsung, tapi elit-elit partai politik menginginkan pilkada lewat DPRD.
Penyebab Partai Menjadi Oligarki
Pengamat Politik sekaligus Direktur Saiful Mujani Research & Consulting, Djayadi Hanan berpendapat, penyanderaan yang tengah dihadapi oleh Presiden Jokowi diakibatkan menguatnya oligarki partai politik. “Oligarki adalah, adalah kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang atau elit, atau segelintir orang, tapi kekuatannya sangat dominan. Atau kekuasaan minoritas terhadap mayoritas,” ujarnya. Biasanya, minoritas ini adalah penyandang dana terbesar di partai. “Jadi terpilihnya seseorang menjadi pimpinan didalam suatu partai ialah tergantung seberapa kekayaan yang dia miliki, bukan berdasarkan kemampuan dan intergritas si individu tersebut,” ujarnya.
Kata dia, jika ini dibiarkan terus menerus, maka akan mengancam kehidupan demokratis di Indonesia. Pasalnya menurut dia, partai politik adalah instrumen vital dalam penegakan demokrasi itu sendiri. Tapi sialnya kata dia, pasca reormasi 1998, saat semua instrumen lain dari bangsa ini sudah memperbaiki diri pasca orde baru, hanya partai politik yang belum mau memperbaiki diri.”Padahal seharusnya dalam demokrasi, partai politik itu berfungsi untuk mewakili masyarakat. Tapi sekarang, partai politik ada untuk mengaspirasi sekelompok elit partai,” ujarnya.
Akibatnya kata dia ketika partai seakan menganut sistem oligarki maka terjadinya pembungkaman suara rakyat. “Bagi elit oligarki, suara rakyat dianggap tidak jelas atau tidak diakui. Tetapi mereka mengakui suara rakyat hanya 5 tahun sekali saat pemilu saja,”. Dampak lebih luasnya lagi kata dia saat adanya pembungkaman suara rakyat adalah timbulnya rasa apatis disebagian besar kalangan masyarakat terhadap politik itu sendiri. “Seharusnya partai ada untuk memberikan kecerdasan berpolitik di dalam masyarakat, fungsi mereka adalah sebagai wadah aspirasi. Sialnya, sebagian besar politisi menikmati keacuhan rakyat tersebut dalam mengambil kebijakan,” ujarnya.
Antisipasi Oligarki Dalam Partai
Survei terbaru dari Saiful Mujani Research & Consulting mengatakan, 70 persen lebih masyarakat Indonesia apatis atau tidak mau tahu terhadap perkembangan politik di Indonesia. Menurut Djayadi Hanan, ini sangat mengkhawatirkan. Kata dia, ada beberapa upaya agar oligarki di partai politik bisa diredam, salah satunya adalah perbaiki sistem keuangan partai politik. “Harus diakui kalau politik membutuhkan uang, tetapi uang bukan segalanya. Oleh karenanya sumber pendanaan partai politik harus diatur sedemikian rupa,” ujarnya. Konstitusi kata dia harus mengatur ini, misalnya dibuat semacam undang-undang yang mengatur dari mana sumber dana partai politik. “Parlemen harus melahirkan UU itu, dana partai bisa dari negara atau dari konstituen dengan jumlah yang dibatasi. Tujuannya agar mudah di audit,” ujarnya.
Cara itu hanya bisa dilakukan ketika kesadaran masyarakat untuk mengawasi dan juga merasa memiliki partai politik besar. “Politisi sekarang itu tidak bisa diminta untuk baik, tetapi harus dipaksa untuk melakukan hal baik. Oleh karenanya seharusnya masyarakat jangan lelah untuk terus mengawasi proses politik agar tetap baik,” ujarnya. Dengan itu, persaingan didalam partai politik juga menjadi sehat. Ditambah lagi regenerasi terus berjalan dengan mekanisme pengkaderan yang berjalan lancar. “Jangan sampai uang bisa mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan untuk menhasilkan uang terus berjalan. Partai yang demokrasi adanya regenerasi didalam kepengurusan partai. Selain itu soal transparansi,” ujarnya. (***)