Pidato Ilmiah oleh DR Sinyo Harry Sarundajang disampaikan pada acara Rapat Terbuka Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UINMMI) Malang dalam rangka penganugerahan gelar Doktor kehormatan di bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk.
Yang Terhormat,
- Rektor /Ketua Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang; Prof. Dr. H. Imam Suprayogo; dan Para Anggota Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang;
- Menko Kesra RI, Bapak Dr. Agung Laksono beserta Ibu;
- Menteri Agama RI, Bapak Suryadharma Ali beserta Ibu;
- Para Menteri;
- Yang mulia para Duta Besar;
- Para Gubernur; Bupati/Wali Kota’
- Para Guru Besar, Para Pembantu Rektor;
- Para Dekan dan Para Pembantu Dekan, Para Dosen, Mahasiswa dan Seluruh Keluarga Besar Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang;
- Promotor; Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, dan Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.
- Direktur Program Pascasarjana dan Para Ketua Program Studi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang;
- Tokoh-tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat;
- Para Tamu Undangan, Bapak/Ibu Hadirin yang berbahagia.
Assalamu ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh; Syalom, Salam sejahtera bagi kita semua; Namo Buddhaya; Om Swastiastu; Wei de dong tian,
Pada hari yang berbahagia ini, terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang sehingga kita diberi kesehatan dan kesempatan untuk dapat hadir dalam acara pengukuhan ini. Atas kasih anugerah dan rahmat-Nyalah, saya dapat berdiri di hadapan Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang mulia ini
Hadirin yang terhormat dan yang saya muliakan,
Pertemuan kita saat ini bukanlah sekedar bertemu muka dengan muka, pikiran dengan pikiran, tapi juga hati dengan hati sehingga terjalin hubungan kasih sayang sesama anak bangsa, dan biarlah suasana damai dan sejahtera meliputi ruangan ini. Selanjutnya, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor selaku Ketua Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah memberikan kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan Doctor Honoris Causa dalam Bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada Bapak/Ibu/Saudara hadirin sekalian yang telah menyempatkan diri di tengah kesibukan dan waktunya yang sangat berharga untuk menghadiri acara pengukuhan yang sangat bernilai bagi saya dan keluarga.
Hadirin yang saya hormati,
Setelah kita mengikuti dengan saksama pidato Promotor dalam mempromosikan dan mempertimbangkan usulan pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada saya. Maka, izinkanlah saya dalam kesempatan ini menyampaikan pidato pengukuhan di hadapan sidang yang mulia ini, dengan judul:
”KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK”
Sejak era reformasi bergulir pasca-mundurnya Presiden Soeharto pada 1998, bangsa Indonesia memasuki tahap transisi dari sistem politik otoriter Orde Baru menuju sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis. Sulit dibantah, telah begitu banyak hasil dan pencapaian bangsa Indonesia selama sekitar 14 tahun terakhir. Selain pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung dan demokratis, serta implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi luas bagi daerah, masyarakat juga semakin menikmati partisipasi yang lebih luas dalam politik. Lebih jauh lagi, UUD 1945 hasil empat tahap perubahan (amandemen) bahkan semakin menjamin hak-hak politik dan kebebasan sipil, termasuk hak bagi setiap kelompok masyarakat untuk mengekspresikan diri dalam era demokratisasi.
Namun demikian, pilihan bangsa kita atas sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis tidak selalu berjalan lurus, mulus, dan linear. Artinya, demokrasi yang selama ini dianggap sebagai sistem politik terbaik bagi setiap masyarakat modern tidak seketika menghasilkan kehidupan kolektif yang damai, adil, dan sejahtera seperti dijanjikan dalam konsep demokrasi. Sistem demokrasi memiliki paradoks pada dirinya sendiri. Di satu pihak, sistem demokrasi memang membuka peluang yang besar bagi muncul dan menguatnya nilai-nilai universal seperti kemajemukan, toleransi, dan inklusivitas. Akan tetapi, di pihak lain dan bahkan pada saat yang sama, demokrasi juga memberi kesempatan bagi muncul dan bangkitnya kembali primordialisme dan ikatan-ikatan lokal serta cenderung eksklusif, baik atas nama agama, etnik, golongan, maupun daerah. Seperti juga nilai-nilai universal demokrasi yang bisa tumbuh subur, ikatan-ikatan dan loyalitas primordial yang bersifat eksklusif berpeluang tumbuh dan bersaing dengan setiap nilai yang dianggap bertentangan dengannya.
Itulah sebagian paradoks demokrasi yang seringkali berujung pada gugatan terhadap nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan yang disepakati para founding fathers kita dan menjadi ikatan kolektif bagi negara-bangsa yang bernama Indonesia. Fenomena marak dan bangkitnya gerakan-gerakan radikal atas nama agama, etnik, dan daerah dalam beberapa tahun terakhir[1][1], tak bisa dipisahkan dari terbukanya peluang dan kesempatan bagi setiap kelompok identitas dan golongan masyarakat yang sebelumnya kurang mendapat tempat sebelum era reformasi. Berbagai kasus konflik sosial dan komunal yang terjadi di berbagai daerah tersebut sudah tentu sangat merisaukan, karena pada akhirnya tidak hanya mengancam kehidupan demokrasi itu sendiri, tetapi lebih jauh lagi, juga mengancam kemajemukan yang mendasari ikatan kebangsaan dan keindonesiaan kita.
Hadirin yang saya hormati,
Saya kira kita semua sepakat bahwa keberagaman dan kemajemukan merupakan salah satu nilai luhur dan sangat mendasar yang mengikat kita sebagai sebuah negara-bangsa. Karena itu, seperti pernah ditegaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ”Negara tidak boleh kalah oleh anarki dan tindak kekerasan”[2][2]. Persoalannya, falsafah dan ideologi nasional bangsa kita, Pancasila, lahir dari cita-cita dan kehendak para pendiri bangsa untuk mempersatukan sekaligus mempertahankan keberagaman kita sebagai bangsa. Semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” yang diwariskan para pendiri bangsa, dengan sangat jelas merefleksikan betapa kuatnya cita-cita keberagaman dan kemajemukan di dalam persatuan tersebut.
Mengapa sistem demokrasi yang semestinya menjamin keberagaman dan kemajemukan justru sebaliknya seringkali berubah sebagai ancaman bagi kemajemukan? Mengapa tindak kekerasan dan anarki tetap marak ketika konstitusi hasil amandemen justru semakin menjamin hak-hak politik, hukum, ekonomi, dan kultural bagi setiap warga negara, termasuk hak untuk menganut agama dan kepercayaan, serta beribadah menurut keyakinan?
Dalam kaitan tersebut, saya ingin mengajak para hadirin melihat sebagian akar persoalan bangsa kita dari sudut pandang kepemimpinan. Saya berpendapat, keberhasilan sistem demokrasi sangat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin untuk mengelola kepemimpinan mereka secara demokratis, cerdas, dan bertanggung jawab. Pertanyaannya, apakah para pemimpin dan pejabat publik yang memperoleh mandat dan tanggung jawab besar kepemimpinan bagi masyarakatnya telah memenuhi harapan kita bersama? Bagaimana pula dengan kepemimpinan di tingkat masyarakat?
Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut saya ingin mengajak para hadirin untuk menyimak kembali secara singkat sejarah perjuangan bangsa kita menjadikan ide persatuan di atas keberagaman sebagai fondasi ikatan keindonesiaan. Setelah itu saya akan menguraikan urgensi kepemimpinan dalam merawat dan mengelola keberagaman atau kemajemukan, termasuk mengelola kearifan lokal, agar tercipta demokrasi dan pemerintahan yang stabil, adil, sejahtera, damai, serta nyaman bagi masyarakat dan semua unsur bangsa kita.
Hadirin yang saya hormati,
Sulit dibantah bahwa meskipun realitas Indonesia sebelum merdeka terdiri dari beragam agama, etnis, daerah, dan identitas asal lainnya, tetapi sesungguhnya semangat persatuan di balik keberagaman kultural itulah pada dasarnya yang menjadi salah satu fondasi utama yang mengikat kita sebagai sebuah bangsa. Seperti terekam dalam sejarah pergerakan nasional hingga akhirnya terbentuk identitas keindonesiaan menjelang proklamasi kemerdekaan pada 1945, para pendiri bangsa bersepakat bahwa agama mayoritas (Islam) tidak menjadi dasar negara ataupun agama negara. Meskipun sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, namun konstitusi juga menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan serta kebebasan menjalankan ibadah menurut keyakinan bagi setiap warga negara. Begitu pula dengan bahasa. Walaupun bahasa Jawa memiliki penutur terbesar dibandingkan bahasa-bahasa daerah lainnya, ia tidak menjadi bahasa nasional karena yang menjadi pilihan bangsa kita sebagai bahasa nasional adalah bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Melayu.
Meskipun demikian, perjuangan mewujudkan Indonesia yang benar-benar ramah dan nyaman bagi semua unsur bangsa tampaknya belum akan berhenti walaupun dengan telah disepakatinya nilai-nilai dasar oleh para pendiri bangsa seperti tercermin dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya, perjuangan itulah yang justru mewarnai dinamika keindonesiaan sejak diproklamirkan pada 1945 hingga era reformasi dan demokratisasi dewasa ini. Mengapa?
Persoalannya, problematik Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) modern pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari sejarah panjang pencarian identitas nasional yang dilakukan para elite pergerakan sejak awal abad ke-20. Meskipun secara resmi momentum Proklamasi 1945 dirayakan setiap tahun sebagai hari kebangkitan, pembebasan, dan kemerdekaan, format Indonesia sebagai sebuah negara modern yang membingkai seluruh unsur bangsa yang amat beragam sesungguhnya belum terbentuk secara utuh. Tarik-menarik dan ketegangan dalam mencari pilihan atas bentuk negara (kesatuan versus federalisme), sistem demokrasi (presidensial vs parlementer), struktur ekonomi (sosialis vs kapitalis-liberal), hubungan Pusat-Daerah (sentralisasi vs desentaralisasi), serta dikotomi sipil-militer, pribumi-nonpribumi, dan Jawa-luar Jawa yang selama ini mewarnai perjalanan bangsa, jelas mencerminkan semua itu.
Hadirin yang saya hormati,
Sejarah panjang pencarian identitas nasional itu sendiri lahir dari perdebatan intelektual yang hampir tak pernah berhenti hingga kini: Apakah Indonesia ataupun keindonesiaan merupakan entitas yang sama sekali baru yang akar-akarnya bersemai dan “ditemukan” sejak awal abad ke-20, atau suatu kelanjutan belaka dari negara-negara prakolonial seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram? Perdebatan intelektual seperti ini – yang dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”—misalnya terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana yang cenderung pada posisi intelektual pertama, dan sebaliknya Sanusi Pane dan kawan-kawan yang cenderung berdiri pada posisi akademik yang kedua.
Perdebatan intelektual sebagai bagian dari pencarian identitas nasional pernah pula berlangsung antara Soekarno dan Haji Agus Salim pada periode 1920-an, serta antara Soekarno dan Mohammad Natsir pada tahun 1940-an. Bagi Soekarno, kecintaan terhadap bangsa dan tanah air bisa menjadi dasar bagi identitas nasional yang hendak dibangun bagi masyarakat Hindia yang terjajah, sedangkan Salim memandang bahwa Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Hindia bisa menjadi dasar bagi pembentukan identitas nasional dan perjuangan kemerdekaan. Lebih mendasar dari perdebatan Soekarno dan Salim, pada 1940 melalui majalah Pandji Islam, Soekarno juga berpolemik dengan Mohammad Natsir –yang menggunakan nama samaran A. Moechlis—tentang hubungan agama dan negara. Bagi Soekarno, negara dan agama haruslah terpisah satu sama lain agar tidak saling melemahkan. Dengan mengacu kepada pengalaman Turki di bawah pemerintahan Kemal Attaturk, Soekarno antara lain berpandangan bahwa bersatunya agama dan negara akan menghasilkan pemerintahan yang diktator tanpa demokrasi karena kekuasaan negara dan agama berada dalam satu tangan. Sementara itu Mohammad Natsir mengatakan persatuan agama dan negara justru diperlukan agar penyelenggaraan negara sesuai kaidah-kaidah dan kebenaran agama. Bagi Natsir, Islam itu “satu pengertian, satu faham, satu begrip sendiri yang mempunyai sifat-sifat (wezenlijke kenmerken) sendiri pula. Islam bukan democratie 100%, bukan pula autocratie 100%”.
Seperti diketahui, puncak ataupun kulminasi perdebatan tentang dasar-dasar bagi suatu negara-bangsa Indonesia terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI ketika pemerintah pendudukan Jepang memberi kesempatan kepada para wakil berbagai kelompok gerakan nasionalis untuk bertemu pada Mei-Juni 1945 yang kemudian melahirkan Pancasila dan UUD 1945. Naskah bersejarah yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan–suatu panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI—tersebut dapat dikatakan merupakan refleksi para pendiri bangsa tentang masa lalu, masa kini, serta arah dan format masa depan yang hendak dicapai negara-bangsa dari berbagai perspektif pandangan yang muncul dalam perdebatan-perdebatan sebelumnya.
Hadirin yang saya hormati,
Jadi format nasionalisme yang mendasari negara-bangsa Indonesia sebagian besar barangkali memang diinspirasikan oleh kebutuhan akan modernitas dan liberalisasi yang lebih luas bagi segenap sub-bangsa di Nusantara, namun semua itu tetap dalam konteks keragaman kultural dan keinginan mewariskan kolektivitas sebagai bagian dari realitas negara kepulauan terbesar di dunia ini. Oleh karena itu tidak mengherankan jika nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi disepakati untuk tetap berdampingan dengan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan di dalam dasar negara Pancasila. Sementara itu di sisi lain, nilai-nilai individualitas dan kebebasan sipil di dalam kehidupan politik berdampingan dengan prinsip-prinsip kolektivitas di dalam pengelolaan ekonomi seperti tercermin di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Para pendiri bangsa melalui forum BPUPKI dan Panitia Sembilan sebenarnya telah merumuskan fondasi yang kokoh bagi format Indonesia sebagai Republik dan negara-bangsa moderen seperti tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Sebagian akar fondasi itu telah terbentuk melalui semangat Sumpah Pemuda 1928: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa –bahasa Indonesia, sehingga basis nasionalisme yang mendasari format Indonesia bukanlah etnis, ideologi, ataupun agama tertentu, melainkan ide persatuan di antara kelompok dan golongan yang beragam serta berbeda-beda tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Uraian singkat di atas secara jelas menunjukkan betapa luhurnya perjuangan para pendiri bangsa mewujudkan Indonesia yang berasaskan Pancasila, bukan sekadar sebagai falsafah dan ideologi bangsa yang mempersatukan kepulauan Nusantara, melainkan juga sebagai sumber sistem nilai yang menjadi rujukan kita bersama sebagai sebuah bangsa. Salah satu nilai dasar yang diwariskan itu adalah pengakuan sekaligus jaminan bagi keberagaman atau kemajukan, baik atas dasar agama, suku atau etnik, golongan, ras, dan daerah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Indonesia yang tunggal, seragam, dan monolitik, pada dasarnya telah digariskan dan diwariskan oleh para pendiri bangsa kita sejak awal abad ke-20 dan akhirnya terkristalisasi melalui momentum Proklamasi 1945.
Persoalan besar dan serius sekaligus tantangan kita dewasa ini adalah bagaimana agar keberagaman dan perbedaan asal-usul seperti agama, etnis, golongan, ras, dan daerah, tidak menjadi sumber konflik yang mengancam kehidupan kolektif kita sebagai bangsa. Sebaliknya, kita dituntut dan ditantang untuk mengelola kemajemukan dan keberagaman sebagai aset dan modal sosial untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa pada umumnya, serta kualitas kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan pada khususnya.
Dalam kaitan ini, pengelolaan kemajemukan dari sudut pandang kepemimpinan dapat dilihat melalui dua dimensi kepemimpinan, yakni pertama, kepemimpinan pada tingkat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Yang dimaksudkan di sini adalah kepemimpinan para pejabat pemerintahan yang memperoleh mandat politik karena terpilih melalui pemilu-pemilu dan pilkada. Kedua, kepemimpinan pada tingkat masyarakat, yakni mereka yang memiliki basis massa riil karena ketokohannya, baik sebagai tokoh agama seperti ulama, kiai, pendeta, dan pastor, maupun tokoh-tokoh adat, serta tokoh-tokoh masyarakat di berbagai bidang lainnya.
Hadirin yang saya hormati,
Saya berpendapat, kemampuan dalam merawat dan mengelola kemajemukan atau keberagaman masyarakat sebagai aset dan modal sosial ini akan sangat menentukan apakah seorang pemimpin formal atau pejabat publik terpilih hasil pemilu dan pilkada berhasil mengemban tanggung jawab kepemimpinannya. Persoalannya, setiap pemimpin dan pejabat publik hasil pilihan rakyat pada dasarnya memperoleh mandat, kepercayaan, dan tanggung jawab yang besar untuk mengelola potensi sosio-kultural masyarakatnya sebagai aset untuk meningkatan kualitas kehidupan kolektif masyarakat yang bersangkutan. Karena itu kegagalan para pemimpin dalam merawat dan mengelola kemajemukan atau keberagamaan hampir dipastikan akan menjadi malapetaka bagi masyarakat yang bersangkutan.
Pengalaman bangsa kita yang pernah didera berbagai konflik sosial dan komunal yang sangat memprihatinkan, seperti terjadi di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya, menunjukkan betapa pentingnya kehadiran dan kemampuan seorang pemimpin dalam merawat dan mengelola keberagaman melalui berbagai kebijakan publik yang adil dan berorientasi kepentingan berbagai elemen masyarakat secara kolektif.
Banyak contoh atau kasus yang bisa dirujuk terkait kecenderungan merosotnya kepedulian kita terhadap urgensi merawat dan mengelola kemajemukan. Yang hampir selalu menonjol adalah kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek. Kecenderungan pemekaran daerah yang cenderung tidak terkendali misalnya, begitu pula eksploitasi sumberdaya alam yang merusak dan menghancurkan ekosistem lingkungan di berbagai daerah, juga mengindikasikan fenomena tersebut. Kepentingan politik para elite lokal akan bagian kekuasaan politik yang tidak terdistribusikan secara merata di daerah acapkali mendominasi motif dan latar belakang pemekaran daerah ketimbang kebutuhan obyektif akan mendekatnya pelayanan publik di satu pihak, serta peningkatan kesejahteraan rakyat di pihak lain.
Hadirin yang saya hormati,
Saya percaya bahwa dalam masyarakat kita yang cenderung bersifat paternalistik, urgensi hadirnya kepemimpinan yang berkarakter, bijaksana, adil, dan bisa berdiri di atas semua golongan masyarakat yang beragam jelas bersifat mutlak. Keniscayaan akan hadirnya kepemimpinan demikian semakin relevan lagi dalam era demokratisasi dan keterbukaan seperti dialami bangsa kita selama lebih dari 14 tahun terakhir. Semua ini menuntut kemampuan seorang pemimpin merumuskan kebijakan publik yang tidak sekadar responsif dan transparan, melainkan juga adil bagi semua unsur masyarakat.
Seperti bisa dipelajari dari latar belakang berbagai konflik sosial di Tanah Air, aktualisasi identitas asal yang bersifat primordial, pada umumnya muncul ketika kebijakan publik dirasakan tidak adil dan tidak berpihak pada kepentingan mereka. Karena itu bisa dipahami jika sebagian konflik sosial dan komunal, serta juga konflik politik yang pernah terjadi di negeri kita sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor ketidakadilan, ketidakmerataan dan ketimpangan ekonomi ketimbang oleh faktor-faktor yang bersifat politik. Seperti diketahui, konflik komunal di Kalimantan misalnya, lebih dilatarbelakangi oleh faktor marjinalisasi dan kesenjangan sosial-ekonomi yang dialami oleh masyarakat asli (Dayak), sementara konflik politik di Aceh dan Papua dipicu terutama oleh ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah yang sangat kaya akan Sumber Daya Alam itu. Artinya, apabila para pemimpin politik dan pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun daerah, benar-benar memperjuangkan dan mewujudkan kebijakan ekonomi dan politik yang transparan dan adil bagi masyarakat, maka berbagai potensi konflik sosial yang bersumber dari keberagaman dapat dihindari.
Oleh karena itu sangat memprihatinkan kita semua apabila para pemimpin politik dan pemerintahan di pusat dan daerah cenderung menghindar dan bahkan lari dari tanggung jawab untuk merawat dan mengelola kemajemukan bangsa kita. Bagaimanapun realitas akan kemajemukan bangsa adalah rahmat besar yang dikaruniakan Tuhan kepada kita yang patut disyukuri. Karena itu menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para pemimpin politik dan pemerintahan yang telah memperoleh mandat politik dari rakyat, untuk merawat dan mengelolanya agar tercipta kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Di luar kepemimpinan formal, yakni para pejabat publik terpilih yang dihasilkan oleh pemilu dan pilkada, tanggung jawab kepemimpinan juga ada di pundak para pemimpin informal, yakni para tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang menjadi rujukan dan panutan masyarakat. Merawat dan mengelola kemajemukan sebagai aset dan modal sosial bagi bangsa kita jelas bukan semata-mata tanggung jawab pemimpin dan pejabat formal, tetapi juga tanggung jawab pemimpin-pemimpin masyarakat di luar pemerintahan.
Masalahnya, ancaman serius bagi kemajemukan serta keberagaman bangsa kita seringkali datang dari unsur-unsur masyarakat sendiri. Transformasi sosial-ekonomi yang dialami masyarakat kita selama Orde Baru dan pasca-Orde Baru harus diakui telah mengubah orientasi masyarakat sehingga nilai-nilai solidaritas, toleransi, dan kolektivitas cenderung semakin tergerus akibat mengentalnya orientasi pragmatisme dan oportunisme politik di satu pihak, dan melembaganya wabah konsumerisme-hedonisme di lain pihak. Akibatnya, ketika sistem otoriter yang menindas dan represif tumbang, berbagai unsur masyarakat terperangkap dalam kompetisi perebutan kesempatan yang tak pernah diperoleh selama Orde Baru. Orientasi para elite politik untuk lebih ”mengambil” (hak orang lain) ketimbang ”mengabdi” tanpa pamrih bagi masyarakat, jelas menggambarkan kecenderungan tersebut.
Fenomena para pemimpin agama, pemimpin adat dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang berebut tiket untuk masuk ke politik, baik ke dalam parlemen (DPR, DPD, DPRD) atau ke pemerintahan (nasional dan lokal), mengindikasikan hal itu. Sebenarnya fenomena demikian wajar dan sah-sah belaka dalam era demokrasi, tetapi persoalannya menjadi serius apabila tidak ada lagi tokoh-tokoh masyarakat kita yang turut merawat, mengelola, dan mengawal kemajemukan bangsa ini. Di sisi lain, ada kecenderungan sebagian tokoh masyarakat informal untuk sekadar memanfaatkan, memanipulasi dan memobilisasi identitas asal, baik identitas daerah, etnis, agama, maupun golongan sebagai satu-satunya modal politik, sehingga berdampak pada pengabaian terhadap urgensi menyiram dan merawat nilai-nilai solidaritas, toleransi, dan kolektivitas.
Hadirin yang saya hormati,
Konflik, ketegangan, dan kecurigaan dalam relasi antaretnis ataupun antaragama barangkali harus diakui memang masih ada dan bersifat laten dalam realitas keberagaman bangsa Indonesia. Namun kecurigaan dan ketegangan dalam relasi sosio-kultural tersebut sebenarnya dapat dihilangkan atau dikurangi secara signifikan jika para tokoh masyarakat seperti para pemimpin agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya sebagai garda terdepan dan tetap berorientasi sebagai penjaga dan pengawal keberagaman masyarakat dan bangsa kita. Tentu saja siapa pun, termasuk tokoh-tokoh masyarakat kita, berhak ikut serta dalam politik untuk menjadi anggota DPR dan DPRD, atau menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota. Namun hal itu semestinya tidak mengurangi kewajiban para tokoh masyarakat kita untuk turut menjaga, mengawal dan mengelola kemajemukan bangsa kita.
Jadi, tampak jelas bagi kita bahwa kepemimpinan, baik kepemimpinan formal maupun kepemimpinan informal memegang peranan penting dalam mewujudkan kehidupan kolektif bangsa kita yang nyaman, saling-percaya, toleran, dan damai. Karena itu dialog dan kerjasama para pemimpin formal dan pemimpin informal saya kira merupakan suatu keniscayaan yang harus berlangsung terus ke depan. Kemampuan kita mempertahankan sekaligus mengimplementasikan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”, sangat tergantung kepada kemampuan para pemimpin formal dan pemimpin informal membangun dialog dan kerjasama di antara mereka, sehingga dengan demikian keberagaman tidak pernah menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa kita. Sebaliknya, seperti dikemukakan sebelumnya kemajukan harus dirawat dan dikelola sebagai aset kolektif dalam menciptakan masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil, sejahtera, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Pengalaman saya di beberapa daerah, termasuk wilayah konflik, memperlihatkan bahwa pada dasarnya setiap daerah dan wilayah kita di Tanah Air memiliki sistem nilai yang bersumber dari kearifan lokal yang unik dan telah menjadi wadah kolektif bagi masyarakat setempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Selain itu, kearifan lokal yang bersifat turun-temurun tersebut seringkali bersifat lintas agama, etnis, dan daerah. Saya percaya bahwa sebelum berbagai lembaga modern seperti birokrasi, pemerintah, ataupun sistem demokrasi dikenal, masyarakat lokal di berbagai daerah telah memiliki sistem nilai dan kearifan lokal sendiri yang memungkinkan mereka bertahan serta hidup secara rukun dan damai.
Saya tidak mengatakan bahwa sistem nilai dan lembaga atau institusi modernlah yang merusak masyarakat kita. Dengan demikian, saya hanya ingin mengatakan dan menggarisbawahi bahwa kemajemukan bangsa kita tidak semata-mata mencakup perbedaan agama, golongan, etnis, dan daerah, melainkan juga kemajemukan dan kearifan lokal. Itu artinya, kearifan lokal sebenarnya telah melekat dan terintergrasi dalam realitas keberagaman kita sebagai sebuah bangsa. Persoalannya barangkali adalah bagaimana para pemimpin merawat dan mengelola kemajemukan itu, termasuk keberagaman kearifan lokal, sebagai aset dan modal sosio-kultural untuk mewujudkan kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, toleran, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Pengalaman saya di Maluku, misalnya, menunjukkan betapa besar keinginan dan antusiasme masyarakat kita untuk turut mewujudkan kehidupan yang tenteram dan damai, serta sebaliknya, begitu bencinya mereka terhadap segala bentuk anarki dan tindak kekerasan. Hanya saja, masyarakat kita menunggu uluran tangan para pemimpinnya. Mereka bukan hanya ingin disapa dan didengar, melainkan juga ingin diajak bicara dan berdialog mengenai berbagai persoalan yang mereka hadapi. Mereka, yakni masyarakat kita di daerah-daerah, pada dasarnya memiliki sistem nilai dan cara sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas yang bersangkutan.
Ketika konflik sosial yang terjadi dalam kurun waktu 1999-2001 di Maluku dan Maluku Utara, pada tahun 2002 saya dijuluki sebagai “Duta Kasih Perdamaian” serta “Khalifah” di kedua kawasan yang berkonflik ini. Bermula Bapak Soejardi Sudirja selaku Menteri Dalam Negeri pada waktu itu mengirim saya untuk mengadakan investigasi secara menyeluruh mengenai konflik sosial dikedua daerah tersebut yang telah berlangsung bertahun-tahun itu. Dan ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan penugasan saya ke daerah yang berkonflik tersebut awalnya untuk Maluku Utara, Ternate dan setelah tercipta suasana damai dan kodusif, sampai dengan terpilih Gubernur definitif. Selang beberapa waktu sejenak, saya ditetapkan lagi sebagai Pejabat Gubernur di Maluku, Ambon sekaligus sebagai Pejabat Penguasa Darurat Sipil untuk tugas yang sama karena konflik sosial belum juga berakhir di daerah itu. Dan kemudian tercipta juga suasana yang damai dan kondusif di Maluku, Ambon hingga terpilihnya Gubernur definitif di provinsi itu, dimana kapasitas saya adalah sebagai Inspektur Jenderal pada Departemen Dalam Negeri. Pada saat itu Bapak Soesilo Bambang Yudoyono menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan Bapak Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator Kesejateraan Rakyat Republik Indonesia, serta Mendagri beralih kepada Bapak Hari Sabarno. Tugas utama yang diberikan adalah meredam dan menyelesaikan konflik, memimpin agar roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan berjalan kembali dengan baik serta menfasilitasi pemilihan Gubernur definitif. Perjalanan tugas saya di Maluku dan Maluku Utara itu tidaklah mudah tetapi cukup berat karena saya berada pada daerah yang asing dan juga saya tidak mengenal siapa-siapa disana dan saya juga tidak dikenal oleh mereka. Karena itu, saya pernah ditolak habis-habisan oleh berbagai kalangan masyarakat yang berkonflik, bahkan tekanan dan ancaman kepada saya cukup keras pada waktu itu. Tapi hanya dengan satu tekad yaitu pergi dengan membawa hati yang bersih, bersikap netral dan terjun bersama masyarakat yang bertikai dengan pendekatan hati nurani dan kasih sayang, dilakukan dengan kesungguhan hati dan mengajak orang untuk berdamai walaupun dengan berbagai resiko yang akan menimpa diri saya.
Dalam beberapa kesempatan saya selalu menyampaikan bahwa konflik Maluku dan Maluku Utara merupakan suatu konflik horisontal atau konflik sosial. Etnik Maluku terkenal dengan toleransi agama yang tinggi, sesuai adat pela, pemusik, mencintai persaudaraan, selalu ingin menjaga persatuan dan kesatuan, tapi dirusak oleh tangan-tangan kotor. Karena itu, saya ingin berargumentasi bahwa konflik Maluku adalah konflik sosial dan bukan konflik agama. Provokatorlah yang membuat pertentangan, permusuhan antara dua agama besar yang ada di Maluku dan Maluku Utara itu.
Sejalan dengan hasil studi dari beberapa peneliti yang meyimpulkan bahwa akar penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara, antara lain persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian elit politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus “konflik agama”. Ada dua hal yang saya lakukan di Maluku dan Maluku Utara yaitu; menyelesaikan konflik dengan pendekatan hati nurani dan memahami kearifan lokal yang ada di masyarakat. Bagi saya kedua hal ini merupakan hal yang hakiki, membutuhkan keberanian, kesungguhan dan ketekunan. Saya wajib mempelajari kearifan lokal di tengah masyarakat yang sedang bertikai; memahami karakter, adat dan budaya masyarakat lokal.
Dengan “Hati Yang Tulus”, serta dengan hati nurani yang bersih, tidak memihak dan hadir untuk mendengarkan langsung pihak-pihak yang bertikai termasuk berdialog9, saya lakukan itu semua dengan tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan dialog antar pemuda termasuk dengan cara mengadakan outbond dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk pemuda semuanya didasari dengan pendekatan hati nurani yang tulus. Dengan semangat bahwa pengabdian kepada bangsa dan Negara tidak lagi mengenal batas suku, etnis, ras, agama, iman, dan keyakinan. Prinsip saya bahwa suku, etnis, ras, dan agama boleh berbeda, iman dan keyakinan boleh berbeda, tetapi semuanya adalah satu, yaitu Bangsa Indonesia. Namun, kalau ini dikatakan suatu keberhasilan, bagi saya bukanlah semata-mata kekuatan dan kepintaran saya tetapi pada hakekatnya saya hanyalah alat Tuhan, disamping sinergitas, menyatu saling pengertian yang mendalam antara saya sebagai Pejabat Gubernur selaku penguasa darurat sipil dengan pimpinan TNI, Polri, dan seluruh komponen masyarakat ialah Tokoh-tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Pimpinan Partai Politik, Pemuda dan Pimpinan serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hadirin yang saya hormati,
Problematikanya adalah bahwa para pemimpin kita seringkali kurang menyadari keberadaan sistem nilai dan kearifan lokal ini, sehingga seringkali terburu-buru dalam mengambil keputusan yang akhirnya berdampak pada kekecewaan masyarakat. Keputusan yang terburu-buru tersebut misalnya secara prematur menghadirkan aparat keamanan ketika masyarakat belum atau bahkan tidak membutuhkannya. Atau dalam contoh lain, keputusan diambil sebelum masyarakat diajak bicara, padahal kebijakan apa pun yang diputuskan oleh pemimpin politik dan pemerintahan hampir pasti berkaitan langsung dengan nasib dan masa depan masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, model kepemimpinan yang diperlukan oleh masyarakat majemuk seperti bangsa kita sebenarnya bukanlah semata-mata yang bersifat komando dan instruktif, tetapi justru kepemimpinan yang bersifat melayani dan mengayomi, dalam arti mau mendengar persoalan-persoalan masyarakat dari mereka secara langsung tanpa harus melalui prosedur protokoler dan birokratis. Dalam hubungan ini saya ingin menegaskan 2 (dua) hal. Pertama, kita harus percaya bahwa masyarakat pada dasarnya bisa menyelesaikan persoalan mereka sendiri atas dasar sistem nilai dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Kedua, harus dibangun semangat saling percaya antara pemimpin formal dan pemimpin informal –yakni para tokoh masyarakat—bukan hanya sebagai fondasi bagi penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan, tetapi juga sebagai faktor penentu keberhasilan kita mewujudkan kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, tenteram, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Atas dasar uraian di atas sangat jelas bahwa problematik Indonesia tidak terletak pada fakta bahwa bangsa ini terdiri atas beragam agama, golongan, suku atau etnik, ras, bahasa, dan daerah. Realitas akan kemajemukan bahkan sangat disadari oleh para founding fathers, sehingga mereka, para pendiri bangsa, tidak pernah menafikan dan mempersoalkannya. Seperti dapat kita baca kembali dari perjalanan sejarah, para bapak bangsa justru menjadikan ”keberagaman di dalam persatuan” atau yang kemudian kita kenal melalui semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai salah satu fondasi dan nilai dasar yang membentuk ikatan kebangsaan serta keindonesiaan. Dalam beberapa tahun terakhir ini Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan menetapkan ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai salah satu dari 4 (empat) pilar berbangsa selain Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Oleh karena itu, problematika sekaligus tantangan bangsa kita adalah bagaimana mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis, adil, sejahtera, dan damai, namun tetap dalam bingkai keanekaragaman. Seperti saya kemukakan sebelumnya, tugas dan tanggung jawab luhur ini pertama-tama berada di pundak para pemimpin, baik para pemimpin formal di parlemen dan pemerintahan, maupun para pemimpin masyarakat yang berada di luar pemerintahan. Para pemimpin formal di parlemen dan pemerintahan, di pusat dan daerah, dibebani tanggung jawab merumuskan kebijakan publik yang adil serta berpihak kepada kepentingan masyarakat secara kolektif, sedangkan para pemimpin informal turut bertanggung jawab dalam mengawal dan menjaga hati-nurani masyarakat kita. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya tidak ada satu pun persoalan sosial-politik, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan yang tidak terselesaikan apabila ada kerjasama sinergis antara para pemimpin formal dan pemimpin informal.
Hadirin yang saya hormati,
Saya berpendapat, jika terbangun semangat saling percaya di antara para pemimpin formal dan pemimpin informal maka dengan sendirinya akan terjalin kerjasama yang sinergis dalam merawat dan mengelola keberagaman. Melalui semangat saling percaya dan kerjasama demikian diharapkan berbagai fenomena konflik, tindak kekerasan, dan anarkisme atas nama identitas asal (agama, golongan, suku/etnik, ras, daerah) akan berkurang dengan sendirinya. Sebab salah satu faktor penting di balik maraknya konflik dan ketegangan yang bersifat primordial berakar pada rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kita terhadap lembaga-lembaga negara, institusi pemerintah, termasuk para pemimpin dan penegak hukum.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa masih memberi kesempatan kepada kita semua untuk mensyukuri karunia besar yang diberikannya dengan cara merawat dan mengelola keberagaman, termasuk keberagaman kearifan lokal, sebagai salah satu fondasi dan pilar bangsa ini. Maka, izinkanlah saya menutup uraian ini dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ”Kullukum Raain, Wakullukum Masuluun, Anraiyatih” yang artinya ”Kita semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya”.
Wassalamu ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Syalom,
Sadhu Sadhu Sadhu,
Om Shanti Shanti Shanti Om,
Xian You Yi De,
Sabtu, 14 Juli 2012
DR. S. H. SARUNDAJANG
Pidato Ilmiah oleh DR Sinyo Harry Sarundajang disampaikan pada acara Rapat Terbuka Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UINMMI) Malang dalam rangka penganugerahan gelar Doktor kehormatan di bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk.
Yang Terhormat,
- Rektor /Ketua Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang; Prof. Dr. H. Imam Suprayogo; dan Para Anggota Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang;
- Menko Kesra RI, Bapak Dr. Agung Laksono beserta Ibu;
- Menteri Agama RI, Bapak Suryadharma Ali beserta Ibu;
- Para Menteri;
- Yang mulia para Duta Besar;
- Para Gubernur; Bupati/Wali Kota’
- Para Guru Besar, Para Pembantu Rektor;
- Para Dekan dan Para Pembantu Dekan, Para Dosen, Mahasiswa dan Seluruh Keluarga Besar Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang;
- Promotor; Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, dan Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.
- Direktur Program Pascasarjana dan Para Ketua Program Studi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang;
- Tokoh-tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat;
- Para Tamu Undangan, Bapak/Ibu Hadirin yang berbahagia.
Assalamu ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh; Syalom, Salam sejahtera bagi kita semua; Namo Buddhaya; Om Swastiastu; Wei de dong tian,
Pada hari yang berbahagia ini, terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang sehingga kita diberi kesehatan dan kesempatan untuk dapat hadir dalam acara pengukuhan ini. Atas kasih anugerah dan rahmat-Nyalah, saya dapat berdiri di hadapan Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang mulia ini
Hadirin yang terhormat dan yang saya muliakan,
Pertemuan kita saat ini bukanlah sekedar bertemu muka dengan muka, pikiran dengan pikiran, tapi juga hati dengan hati sehingga terjalin hubungan kasih sayang sesama anak bangsa, dan biarlah suasana damai dan sejahtera meliputi ruangan ini. Selanjutnya, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor selaku Ketua Senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah memberikan kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan Doctor Honoris Causa dalam Bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada Bapak/Ibu/Saudara hadirin sekalian yang telah menyempatkan diri di tengah kesibukan dan waktunya yang sangat berharga untuk menghadiri acara pengukuhan yang sangat bernilai bagi saya dan keluarga.
Hadirin yang saya hormati,
Setelah kita mengikuti dengan saksama pidato Promotor dalam mempromosikan dan mempertimbangkan usulan pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada saya. Maka, izinkanlah saya dalam kesempatan ini menyampaikan pidato pengukuhan di hadapan sidang yang mulia ini, dengan judul:
”KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK”
Sejak era reformasi bergulir pasca-mundurnya Presiden Soeharto pada 1998, bangsa Indonesia memasuki tahap transisi dari sistem politik otoriter Orde Baru menuju sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis. Sulit dibantah, telah begitu banyak hasil dan pencapaian bangsa Indonesia selama sekitar 14 tahun terakhir. Selain pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung dan demokratis, serta implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi luas bagi daerah, masyarakat juga semakin menikmati partisipasi yang lebih luas dalam politik. Lebih jauh lagi, UUD 1945 hasil empat tahap perubahan (amandemen) bahkan semakin menjamin hak-hak politik dan kebebasan sipil, termasuk hak bagi setiap kelompok masyarakat untuk mengekspresikan diri dalam era demokratisasi.
Namun demikian, pilihan bangsa kita atas sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis tidak selalu berjalan lurus, mulus, dan linear. Artinya, demokrasi yang selama ini dianggap sebagai sistem politik terbaik bagi setiap masyarakat modern tidak seketika menghasilkan kehidupan kolektif yang damai, adil, dan sejahtera seperti dijanjikan dalam konsep demokrasi. Sistem demokrasi memiliki paradoks pada dirinya sendiri. Di satu pihak, sistem demokrasi memang membuka peluang yang besar bagi muncul dan menguatnya nilai-nilai universal seperti kemajemukan, toleransi, dan inklusivitas. Akan tetapi, di pihak lain dan bahkan pada saat yang sama, demokrasi juga memberi kesempatan bagi muncul dan bangkitnya kembali primordialisme dan ikatan-ikatan lokal serta cenderung eksklusif, baik atas nama agama, etnik, golongan, maupun daerah. Seperti juga nilai-nilai universal demokrasi yang bisa tumbuh subur, ikatan-ikatan dan loyalitas primordial yang bersifat eksklusif berpeluang tumbuh dan bersaing dengan setiap nilai yang dianggap bertentangan dengannya.
Itulah sebagian paradoks demokrasi yang seringkali berujung pada gugatan terhadap nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan yang disepakati para founding fathers kita dan menjadi ikatan kolektif bagi negara-bangsa yang bernama Indonesia. Fenomena marak dan bangkitnya gerakan-gerakan radikal atas nama agama, etnik, dan daerah dalam beberapa tahun terakhir[1][1], tak bisa dipisahkan dari terbukanya peluang dan kesempatan bagi setiap kelompok identitas dan golongan masyarakat yang sebelumnya kurang mendapat tempat sebelum era reformasi. Berbagai kasus konflik sosial dan komunal yang terjadi di berbagai daerah tersebut sudah tentu sangat merisaukan, karena pada akhirnya tidak hanya mengancam kehidupan demokrasi itu sendiri, tetapi lebih jauh lagi, juga mengancam kemajemukan yang mendasari ikatan kebangsaan dan keindonesiaan kita.
Hadirin yang saya hormati,
Saya kira kita semua sepakat bahwa keberagaman dan kemajemukan merupakan salah satu nilai luhur dan sangat mendasar yang mengikat kita sebagai sebuah negara-bangsa. Karena itu, seperti pernah ditegaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ”Negara tidak boleh kalah oleh anarki dan tindak kekerasan”[2][2]. Persoalannya, falsafah dan ideologi nasional bangsa kita, Pancasila, lahir dari cita-cita dan kehendak para pendiri bangsa untuk mempersatukan sekaligus mempertahankan keberagaman kita sebagai bangsa. Semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” yang diwariskan para pendiri bangsa, dengan sangat jelas merefleksikan betapa kuatnya cita-cita keberagaman dan kemajemukan di dalam persatuan tersebut.
Mengapa sistem demokrasi yang semestinya menjamin keberagaman dan kemajemukan justru sebaliknya seringkali berubah sebagai ancaman bagi kemajemukan? Mengapa tindak kekerasan dan anarki tetap marak ketika konstitusi hasil amandemen justru semakin menjamin hak-hak politik, hukum, ekonomi, dan kultural bagi setiap warga negara, termasuk hak untuk menganut agama dan kepercayaan, serta beribadah menurut keyakinan?
Dalam kaitan tersebut, saya ingin mengajak para hadirin melihat sebagian akar persoalan bangsa kita dari sudut pandang kepemimpinan. Saya berpendapat, keberhasilan sistem demokrasi sangat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin untuk mengelola kepemimpinan mereka secara demokratis, cerdas, dan bertanggung jawab. Pertanyaannya, apakah para pemimpin dan pejabat publik yang memperoleh mandat dan tanggung jawab besar kepemimpinan bagi masyarakatnya telah memenuhi harapan kita bersama? Bagaimana pula dengan kepemimpinan di tingkat masyarakat?
Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut saya ingin mengajak para hadirin untuk menyimak kembali secara singkat sejarah perjuangan bangsa kita menjadikan ide persatuan di atas keberagaman sebagai fondasi ikatan keindonesiaan. Setelah itu saya akan menguraikan urgensi kepemimpinan dalam merawat dan mengelola keberagaman atau kemajemukan, termasuk mengelola kearifan lokal, agar tercipta demokrasi dan pemerintahan yang stabil, adil, sejahtera, damai, serta nyaman bagi masyarakat dan semua unsur bangsa kita.
Hadirin yang saya hormati,
Sulit dibantah bahwa meskipun realitas Indonesia sebelum merdeka terdiri dari beragam agama, etnis, daerah, dan identitas asal lainnya, tetapi sesungguhnya semangat persatuan di balik keberagaman kultural itulah pada dasarnya yang menjadi salah satu fondasi utama yang mengikat kita sebagai sebuah bangsa. Seperti terekam dalam sejarah pergerakan nasional hingga akhirnya terbentuk identitas keindonesiaan menjelang proklamasi kemerdekaan pada 1945, para pendiri bangsa bersepakat bahwa agama mayoritas (Islam) tidak menjadi dasar negara ataupun agama negara. Meskipun sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, namun konstitusi juga menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan serta kebebasan menjalankan ibadah menurut keyakinan bagi setiap warga negara. Begitu pula dengan bahasa. Walaupun bahasa Jawa memiliki penutur terbesar dibandingkan bahasa-bahasa daerah lainnya, ia tidak menjadi bahasa nasional karena yang menjadi pilihan bangsa kita sebagai bahasa nasional adalah bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Melayu.
Meskipun demikian, perjuangan mewujudkan Indonesia yang benar-benar ramah dan nyaman bagi semua unsur bangsa tampaknya belum akan berhenti walaupun dengan telah disepakatinya nilai-nilai dasar oleh para pendiri bangsa seperti tercermin dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya, perjuangan itulah yang justru mewarnai dinamika keindonesiaan sejak diproklamirkan pada 1945 hingga era reformasi dan demokratisasi dewasa ini. Mengapa?
Persoalannya, problematik Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) modern pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari sejarah panjang pencarian identitas nasional yang dilakukan para elite pergerakan sejak awal abad ke-20. Meskipun secara resmi momentum Proklamasi 1945 dirayakan setiap tahun sebagai hari kebangkitan, pembebasan, dan kemerdekaan, format Indonesia sebagai sebuah negara modern yang membingkai seluruh unsur bangsa yang amat beragam sesungguhnya belum terbentuk secara utuh. Tarik-menarik dan ketegangan dalam mencari pilihan atas bentuk negara (kesatuan versus federalisme), sistem demokrasi (presidensial vs parlementer), struktur ekonomi (sosialis vs kapitalis-liberal), hubungan Pusat-Daerah (sentralisasi vs desentaralisasi), serta dikotomi sipil-militer, pribumi-nonpribumi, dan Jawa-luar Jawa yang selama ini mewarnai perjalanan bangsa, jelas mencerminkan semua itu.
Hadirin yang saya hormati,
Sejarah panjang pencarian identitas nasional itu sendiri lahir dari perdebatan intelektual yang hampir tak pernah berhenti hingga kini: Apakah Indonesia ataupun keindonesiaan merupakan entitas yang sama sekali baru yang akar-akarnya bersemai dan “ditemukan” sejak awal abad ke-20, atau suatu kelanjutan belaka dari negara-negara prakolonial seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram? Perdebatan intelektual seperti ini – yang dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”—misalnya terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana yang cenderung pada posisi intelektual pertama, dan sebaliknya Sanusi Pane dan kawan-kawan yang cenderung berdiri pada posisi akademik yang kedua.
Perdebatan intelektual sebagai bagian dari pencarian identitas nasional pernah pula berlangsung antara Soekarno dan Haji Agus Salim pada periode 1920-an, serta antara Soekarno dan Mohammad Natsir pada tahun 1940-an. Bagi Soekarno, kecintaan terhadap bangsa dan tanah air bisa menjadi dasar bagi identitas nasional yang hendak dibangun bagi masyarakat Hindia yang terjajah, sedangkan Salim memandang bahwa Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Hindia bisa menjadi dasar bagi pembentukan identitas nasional dan perjuangan kemerdekaan. Lebih mendasar dari perdebatan Soekarno dan Salim, pada 1940 melalui majalah Pandji Islam, Soekarno juga berpolemik dengan Mohammad Natsir –yang menggunakan nama samaran A. Moechlis—tentang hubungan agama dan negara. Bagi Soekarno, negara dan agama haruslah terpisah satu sama lain agar tidak saling melemahkan. Dengan mengacu kepada pengalaman Turki di bawah pemerintahan Kemal Attaturk, Soekarno antara lain berpandangan bahwa bersatunya agama dan negara akan menghasilkan pemerintahan yang diktator tanpa demokrasi karena kekuasaan negara dan agama berada dalam satu tangan. Sementara itu Mohammad Natsir mengatakan persatuan agama dan negara justru diperlukan agar penyelenggaraan negara sesuai kaidah-kaidah dan kebenaran agama. Bagi Natsir, Islam itu “satu pengertian, satu faham, satu begrip sendiri yang mempunyai sifat-sifat (wezenlijke kenmerken) sendiri pula. Islam bukan democratie 100%, bukan pula autocratie 100%”.
Seperti diketahui, puncak ataupun kulminasi perdebatan tentang dasar-dasar bagi suatu negara-bangsa Indonesia terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI ketika pemerintah pendudukan Jepang memberi kesempatan kepada para wakil berbagai kelompok gerakan nasionalis untuk bertemu pada Mei-Juni 1945 yang kemudian melahirkan Pancasila dan UUD 1945. Naskah bersejarah yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan–suatu panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI—tersebut dapat dikatakan merupakan refleksi para pendiri bangsa tentang masa lalu, masa kini, serta arah dan format masa depan yang hendak dicapai negara-bangsa dari berbagai perspektif pandangan yang muncul dalam perdebatan-perdebatan sebelumnya.
Hadirin yang saya hormati,
Jadi format nasionalisme yang mendasari negara-bangsa Indonesia sebagian besar barangkali memang diinspirasikan oleh kebutuhan akan modernitas dan liberalisasi yang lebih luas bagi segenap sub-bangsa di Nusantara, namun semua itu tetap dalam konteks keragaman kultural dan keinginan mewariskan kolektivitas sebagai bagian dari realitas negara kepulauan terbesar di dunia ini. Oleh karena itu tidak mengherankan jika nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi disepakati untuk tetap berdampingan dengan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan di dalam dasar negara Pancasila. Sementara itu di sisi lain, nilai-nilai individualitas dan kebebasan sipil di dalam kehidupan politik berdampingan dengan prinsip-prinsip kolektivitas di dalam pengelolaan ekonomi seperti tercermin di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Para pendiri bangsa melalui forum BPUPKI dan Panitia Sembilan sebenarnya telah merumuskan fondasi yang kokoh bagi format Indonesia sebagai Republik dan negara-bangsa moderen seperti tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Sebagian akar fondasi itu telah terbentuk melalui semangat Sumpah Pemuda 1928: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa –bahasa Indonesia, sehingga basis nasionalisme yang mendasari format Indonesia bukanlah etnis, ideologi, ataupun agama tertentu, melainkan ide persatuan di antara kelompok dan golongan yang beragam serta berbeda-beda tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Uraian singkat di atas secara jelas menunjukkan betapa luhurnya perjuangan para pendiri bangsa mewujudkan Indonesia yang berasaskan Pancasila, bukan sekadar sebagai falsafah dan ideologi bangsa yang mempersatukan kepulauan Nusantara, melainkan juga sebagai sumber sistem nilai yang menjadi rujukan kita bersama sebagai sebuah bangsa. Salah satu nilai dasar yang diwariskan itu adalah pengakuan sekaligus jaminan bagi keberagaman atau kemajukan, baik atas dasar agama, suku atau etnik, golongan, ras, dan daerah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Indonesia yang tunggal, seragam, dan monolitik, pada dasarnya telah digariskan dan diwariskan oleh para pendiri bangsa kita sejak awal abad ke-20 dan akhirnya terkristalisasi melalui momentum Proklamasi 1945.
Persoalan besar dan serius sekaligus tantangan kita dewasa ini adalah bagaimana agar keberagaman dan perbedaan asal-usul seperti agama, etnis, golongan, ras, dan daerah, tidak menjadi sumber konflik yang mengancam kehidupan kolektif kita sebagai bangsa. Sebaliknya, kita dituntut dan ditantang untuk mengelola kemajemukan dan keberagaman sebagai aset dan modal sosial untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa pada umumnya, serta kualitas kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan pada khususnya.
Dalam kaitan ini, pengelolaan kemajemukan dari sudut pandang kepemimpinan dapat dilihat melalui dua dimensi kepemimpinan, yakni pertama, kepemimpinan pada tingkat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Yang dimaksudkan di sini adalah kepemimpinan para pejabat pemerintahan yang memperoleh mandat politik karena terpilih melalui pemilu-pemilu dan pilkada. Kedua, kepemimpinan pada tingkat masyarakat, yakni mereka yang memiliki basis massa riil karena ketokohannya, baik sebagai tokoh agama seperti ulama, kiai, pendeta, dan pastor, maupun tokoh-tokoh adat, serta tokoh-tokoh masyarakat di berbagai bidang lainnya.
Hadirin yang saya hormati,
Saya berpendapat, kemampuan dalam merawat dan mengelola kemajemukan atau keberagaman masyarakat sebagai aset dan modal sosial ini akan sangat menentukan apakah seorang pemimpin formal atau pejabat publik terpilih hasil pemilu dan pilkada berhasil mengemban tanggung jawab kepemimpinannya. Persoalannya, setiap pemimpin dan pejabat publik hasil pilihan rakyat pada dasarnya memperoleh mandat, kepercayaan, dan tanggung jawab yang besar untuk mengelola potensi sosio-kultural masyarakatnya sebagai aset untuk meningkatan kualitas kehidupan kolektif masyarakat yang bersangkutan. Karena itu kegagalan para pemimpin dalam merawat dan mengelola kemajemukan atau keberagamaan hampir dipastikan akan menjadi malapetaka bagi masyarakat yang bersangkutan.
Pengalaman bangsa kita yang pernah didera berbagai konflik sosial dan komunal yang sangat memprihatinkan, seperti terjadi di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya, menunjukkan betapa pentingnya kehadiran dan kemampuan seorang pemimpin dalam merawat dan mengelola keberagaman melalui berbagai kebijakan publik yang adil dan berorientasi kepentingan berbagai elemen masyarakat secara kolektif.
Banyak contoh atau kasus yang bisa dirujuk terkait kecenderungan merosotnya kepedulian kita terhadap urgensi merawat dan mengelola kemajemukan. Yang hampir selalu menonjol adalah kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek. Kecenderungan pemekaran daerah yang cenderung tidak terkendali misalnya, begitu pula eksploitasi sumberdaya alam yang merusak dan menghancurkan ekosistem lingkungan di berbagai daerah, juga mengindikasikan fenomena tersebut. Kepentingan politik para elite lokal akan bagian kekuasaan politik yang tidak terdistribusikan secara merata di daerah acapkali mendominasi motif dan latar belakang pemekaran daerah ketimbang kebutuhan obyektif akan mendekatnya pelayanan publik di satu pihak, serta peningkatan kesejahteraan rakyat di pihak lain.
Hadirin yang saya hormati,
Saya percaya bahwa dalam masyarakat kita yang cenderung bersifat paternalistik, urgensi hadirnya kepemimpinan yang berkarakter, bijaksana, adil, dan bisa berdiri di atas semua golongan masyarakat yang beragam jelas bersifat mutlak. Keniscayaan akan hadirnya kepemimpinan demikian semakin relevan lagi dalam era demokratisasi dan keterbukaan seperti dialami bangsa kita selama lebih dari 14 tahun terakhir. Semua ini menuntut kemampuan seorang pemimpin merumuskan kebijakan publik yang tidak sekadar responsif dan transparan, melainkan juga adil bagi semua unsur masyarakat.
Seperti bisa dipelajari dari latar belakang berbagai konflik sosial di Tanah Air, aktualisasi identitas asal yang bersifat primordial, pada umumnya muncul ketika kebijakan publik dirasakan tidak adil dan tidak berpihak pada kepentingan mereka. Karena itu bisa dipahami jika sebagian konflik sosial dan komunal, serta juga konflik politik yang pernah terjadi di negeri kita sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor ketidakadilan, ketidakmerataan dan ketimpangan ekonomi ketimbang oleh faktor-faktor yang bersifat politik. Seperti diketahui, konflik komunal di Kalimantan misalnya, lebih dilatarbelakangi oleh faktor marjinalisasi dan kesenjangan sosial-ekonomi yang dialami oleh masyarakat asli (Dayak), sementara konflik politik di Aceh dan Papua dipicu terutama oleh ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah yang sangat kaya akan Sumber Daya Alam itu. Artinya, apabila para pemimpin politik dan pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun daerah, benar-benar memperjuangkan dan mewujudkan kebijakan ekonomi dan politik yang transparan dan adil bagi masyarakat, maka berbagai potensi konflik sosial yang bersumber dari keberagaman dapat dihindari.
Oleh karena itu sangat memprihatinkan kita semua apabila para pemimpin politik dan pemerintahan di pusat dan daerah cenderung menghindar dan bahkan lari dari tanggung jawab untuk merawat dan mengelola kemajemukan bangsa kita. Bagaimanapun realitas akan kemajemukan bangsa adalah rahmat besar yang dikaruniakan Tuhan kepada kita yang patut disyukuri. Karena itu menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para pemimpin politik dan pemerintahan yang telah memperoleh mandat politik dari rakyat, untuk merawat dan mengelolanya agar tercipta kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Di luar kepemimpinan formal, yakni para pejabat publik terpilih yang dihasilkan oleh pemilu dan pilkada, tanggung jawab kepemimpinan juga ada di pundak para pemimpin informal, yakni para tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang menjadi rujukan dan panutan masyarakat. Merawat dan mengelola kemajemukan sebagai aset dan modal sosial bagi bangsa kita jelas bukan semata-mata tanggung jawab pemimpin dan pejabat formal, tetapi juga tanggung jawab pemimpin-pemimpin masyarakat di luar pemerintahan.
Masalahnya, ancaman serius bagi kemajemukan serta keberagaman bangsa kita seringkali datang dari unsur-unsur masyarakat sendiri. Transformasi sosial-ekonomi yang dialami masyarakat kita selama Orde Baru dan pasca-Orde Baru harus diakui telah mengubah orientasi masyarakat sehingga nilai-nilai solidaritas, toleransi, dan kolektivitas cenderung semakin tergerus akibat mengentalnya orientasi pragmatisme dan oportunisme politik di satu pihak, dan melembaganya wabah konsumerisme-hedonisme di lain pihak. Akibatnya, ketika sistem otoriter yang menindas dan represif tumbang, berbagai unsur masyarakat terperangkap dalam kompetisi perebutan kesempatan yang tak pernah diperoleh selama Orde Baru. Orientasi para elite politik untuk lebih ”mengambil” (hak orang lain) ketimbang ”mengabdi” tanpa pamrih bagi masyarakat, jelas menggambarkan kecenderungan tersebut.
Fenomena para pemimpin agama, pemimpin adat dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang berebut tiket untuk masuk ke politik, baik ke dalam parlemen (DPR, DPD, DPRD) atau ke pemerintahan (nasional dan lokal), mengindikasikan hal itu. Sebenarnya fenomena demikian wajar dan sah-sah belaka dalam era demokrasi, tetapi persoalannya menjadi serius apabila tidak ada lagi tokoh-tokoh masyarakat kita yang turut merawat, mengelola, dan mengawal kemajemukan bangsa ini. Di sisi lain, ada kecenderungan sebagian tokoh masyarakat informal untuk sekadar memanfaatkan, memanipulasi dan memobilisasi identitas asal, baik identitas daerah, etnis, agama, maupun golongan sebagai satu-satunya modal politik, sehingga berdampak pada pengabaian terhadap urgensi menyiram dan merawat nilai-nilai solidaritas, toleransi, dan kolektivitas.
Hadirin yang saya hormati,
Konflik, ketegangan, dan kecurigaan dalam relasi antaretnis ataupun antaragama barangkali harus diakui memang masih ada dan bersifat laten dalam realitas keberagaman bangsa Indonesia. Namun kecurigaan dan ketegangan dalam relasi sosio-kultural tersebut sebenarnya dapat dihilangkan atau dikurangi secara signifikan jika para tokoh masyarakat seperti para pemimpin agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya sebagai garda terdepan dan tetap berorientasi sebagai penjaga dan pengawal keberagaman masyarakat dan bangsa kita. Tentu saja siapa pun, termasuk tokoh-tokoh masyarakat kita, berhak ikut serta dalam politik untuk menjadi anggota DPR dan DPRD, atau menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota. Namun hal itu semestinya tidak mengurangi kewajiban para tokoh masyarakat kita untuk turut menjaga, mengawal dan mengelola kemajemukan bangsa kita.
Jadi, tampak jelas bagi kita bahwa kepemimpinan, baik kepemimpinan formal maupun kepemimpinan informal memegang peranan penting dalam mewujudkan kehidupan kolektif bangsa kita yang nyaman, saling-percaya, toleran, dan damai. Karena itu dialog dan kerjasama para pemimpin formal dan pemimpin informal saya kira merupakan suatu keniscayaan yang harus berlangsung terus ke depan. Kemampuan kita mempertahankan sekaligus mengimplementasikan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”, sangat tergantung kepada kemampuan para pemimpin formal dan pemimpin informal membangun dialog dan kerjasama di antara mereka, sehingga dengan demikian keberagaman tidak pernah menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa kita. Sebaliknya, seperti dikemukakan sebelumnya kemajukan harus dirawat dan dikelola sebagai aset kolektif dalam menciptakan masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil, sejahtera, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Pengalaman saya di beberapa daerah, termasuk wilayah konflik, memperlihatkan bahwa pada dasarnya setiap daerah dan wilayah kita di Tanah Air memiliki sistem nilai yang bersumber dari kearifan lokal yang unik dan telah menjadi wadah kolektif bagi masyarakat setempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Selain itu, kearifan lokal yang bersifat turun-temurun tersebut seringkali bersifat lintas agama, etnis, dan daerah. Saya percaya bahwa sebelum berbagai lembaga modern seperti birokrasi, pemerintah, ataupun sistem demokrasi dikenal, masyarakat lokal di berbagai daerah telah memiliki sistem nilai dan kearifan lokal sendiri yang memungkinkan mereka bertahan serta hidup secara rukun dan damai.
Saya tidak mengatakan bahwa sistem nilai dan lembaga atau institusi modernlah yang merusak masyarakat kita. Dengan demikian, saya hanya ingin mengatakan dan menggarisbawahi bahwa kemajemukan bangsa kita tidak semata-mata mencakup perbedaan agama, golongan, etnis, dan daerah, melainkan juga kemajemukan dan kearifan lokal. Itu artinya, kearifan lokal sebenarnya telah melekat dan terintergrasi dalam realitas keberagaman kita sebagai sebuah bangsa. Persoalannya barangkali adalah bagaimana para pemimpin merawat dan mengelola kemajemukan itu, termasuk keberagaman kearifan lokal, sebagai aset dan modal sosio-kultural untuk mewujudkan kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, toleran, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Pengalaman saya di Maluku, misalnya, menunjukkan betapa besar keinginan dan antusiasme masyarakat kita untuk turut mewujudkan kehidupan yang tenteram dan damai, serta sebaliknya, begitu bencinya mereka terhadap segala bentuk anarki dan tindak kekerasan. Hanya saja, masyarakat kita menunggu uluran tangan para pemimpinnya. Mereka bukan hanya ingin disapa dan didengar, melainkan juga ingin diajak bicara dan berdialog mengenai berbagai persoalan yang mereka hadapi. Mereka, yakni masyarakat kita di daerah-daerah, pada dasarnya memiliki sistem nilai dan cara sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas yang bersangkutan.
Ketika konflik sosial yang terjadi dalam kurun waktu 1999-2001 di Maluku dan Maluku Utara, pada tahun 2002 saya dijuluki sebagai “Duta Kasih Perdamaian” serta “Khalifah” di kedua kawasan yang berkonflik ini. Bermula Bapak Soejardi Sudirja selaku Menteri Dalam Negeri pada waktu itu mengirim saya untuk mengadakan investigasi secara menyeluruh mengenai konflik sosial dikedua daerah tersebut yang telah berlangsung bertahun-tahun itu. Dan ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan penugasan saya ke daerah yang berkonflik tersebut awalnya untuk Maluku Utara, Ternate dan setelah tercipta suasana damai dan kodusif, sampai dengan terpilih Gubernur definitif. Selang beberapa waktu sejenak, saya ditetapkan lagi sebagai Pejabat Gubernur di Maluku, Ambon sekaligus sebagai Pejabat Penguasa Darurat Sipil untuk tugas yang sama karena konflik sosial belum juga berakhir di daerah itu. Dan kemudian tercipta juga suasana yang damai dan kondusif di Maluku, Ambon hingga terpilihnya Gubernur definitif di provinsi itu, dimana kapasitas saya adalah sebagai Inspektur Jenderal pada Departemen Dalam Negeri. Pada saat itu Bapak Soesilo Bambang Yudoyono menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan Bapak Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator Kesejateraan Rakyat Republik Indonesia, serta Mendagri beralih kepada Bapak Hari Sabarno. Tugas utama yang diberikan adalah meredam dan menyelesaikan konflik, memimpin agar roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan berjalan kembali dengan baik serta menfasilitasi pemilihan Gubernur definitif. Perjalanan tugas saya di Maluku dan Maluku Utara itu tidaklah mudah tetapi cukup berat karena saya berada pada daerah yang asing dan juga saya tidak mengenal siapa-siapa disana dan saya juga tidak dikenal oleh mereka. Karena itu, saya pernah ditolak habis-habisan oleh berbagai kalangan masyarakat yang berkonflik, bahkan tekanan dan ancaman kepada saya cukup keras pada waktu itu. Tapi hanya dengan satu tekad yaitu pergi dengan membawa hati yang bersih, bersikap netral dan terjun bersama masyarakat yang bertikai dengan pendekatan hati nurani dan kasih sayang, dilakukan dengan kesungguhan hati dan mengajak orang untuk berdamai walaupun dengan berbagai resiko yang akan menimpa diri saya.
Dalam beberapa kesempatan saya selalu menyampaikan bahwa konflik Maluku dan Maluku Utara merupakan suatu konflik horisontal atau konflik sosial. Etnik Maluku terkenal dengan toleransi agama yang tinggi, sesuai adat pela, pemusik, mencintai persaudaraan, selalu ingin menjaga persatuan dan kesatuan, tapi dirusak oleh tangan-tangan kotor. Karena itu, saya ingin berargumentasi bahwa konflik Maluku adalah konflik sosial dan bukan konflik agama. Provokatorlah yang membuat pertentangan, permusuhan antara dua agama besar yang ada di Maluku dan Maluku Utara itu.
Sejalan dengan hasil studi dari beberapa peneliti yang meyimpulkan bahwa akar penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara, antara lain persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian elit politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus “konflik agama”. Ada dua hal yang saya lakukan di Maluku dan Maluku Utara yaitu; menyelesaikan konflik dengan pendekatan hati nurani dan memahami kearifan lokal yang ada di masyarakat. Bagi saya kedua hal ini merupakan hal yang hakiki, membutuhkan keberanian, kesungguhan dan ketekunan. Saya wajib mempelajari kearifan lokal di tengah masyarakat yang sedang bertikai; memahami karakter, adat dan budaya masyarakat lokal.
Dengan “Hati Yang Tulus”, serta dengan hati nurani yang bersih, tidak memihak dan hadir untuk mendengarkan langsung pihak-pihak yang bertikai termasuk berdialog9, saya lakukan itu semua dengan tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan dialog antar pemuda termasuk dengan cara mengadakan outbond dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk pemuda semuanya didasari dengan pendekatan hati nurani yang tulus. Dengan semangat bahwa pengabdian kepada bangsa dan Negara tidak lagi mengenal batas suku, etnis, ras, agama, iman, dan keyakinan. Prinsip saya bahwa suku, etnis, ras, dan agama boleh berbeda, iman dan keyakinan boleh berbeda, tetapi semuanya adalah satu, yaitu Bangsa Indonesia. Namun, kalau ini dikatakan suatu keberhasilan, bagi saya bukanlah semata-mata kekuatan dan kepintaran saya tetapi pada hakekatnya saya hanyalah alat Tuhan, disamping sinergitas, menyatu saling pengertian yang mendalam antara saya sebagai Pejabat Gubernur selaku penguasa darurat sipil dengan pimpinan TNI, Polri, dan seluruh komponen masyarakat ialah Tokoh-tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Pimpinan Partai Politik, Pemuda dan Pimpinan serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hadirin yang saya hormati,
Problematikanya adalah bahwa para pemimpin kita seringkali kurang menyadari keberadaan sistem nilai dan kearifan lokal ini, sehingga seringkali terburu-buru dalam mengambil keputusan yang akhirnya berdampak pada kekecewaan masyarakat. Keputusan yang terburu-buru tersebut misalnya secara prematur menghadirkan aparat keamanan ketika masyarakat belum atau bahkan tidak membutuhkannya. Atau dalam contoh lain, keputusan diambil sebelum masyarakat diajak bicara, padahal kebijakan apa pun yang diputuskan oleh pemimpin politik dan pemerintahan hampir pasti berkaitan langsung dengan nasib dan masa depan masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, model kepemimpinan yang diperlukan oleh masyarakat majemuk seperti bangsa kita sebenarnya bukanlah semata-mata yang bersifat komando dan instruktif, tetapi justru kepemimpinan yang bersifat melayani dan mengayomi, dalam arti mau mendengar persoalan-persoalan masyarakat dari mereka secara langsung tanpa harus melalui prosedur protokoler dan birokratis. Dalam hubungan ini saya ingin menegaskan 2 (dua) hal. Pertama, kita harus percaya bahwa masyarakat pada dasarnya bisa menyelesaikan persoalan mereka sendiri atas dasar sistem nilai dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Kedua, harus dibangun semangat saling percaya antara pemimpin formal dan pemimpin informal –yakni para tokoh masyarakat—bukan hanya sebagai fondasi bagi penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan, tetapi juga sebagai faktor penentu keberhasilan kita mewujudkan kehidupan kolektif yang adil, sejahtera, tenteram, dan damai.
Hadirin yang saya hormati,
Atas dasar uraian di atas sangat jelas bahwa problematik Indonesia tidak terletak pada fakta bahwa bangsa ini terdiri atas beragam agama, golongan, suku atau etnik, ras, bahasa, dan daerah. Realitas akan kemajemukan bahkan sangat disadari oleh para founding fathers, sehingga mereka, para pendiri bangsa, tidak pernah menafikan dan mempersoalkannya. Seperti dapat kita baca kembali dari perjalanan sejarah, para bapak bangsa justru menjadikan ”keberagaman di dalam persatuan” atau yang kemudian kita kenal melalui semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai salah satu fondasi dan nilai dasar yang membentuk ikatan kebangsaan serta keindonesiaan. Dalam beberapa tahun terakhir ini Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan menetapkan ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai salah satu dari 4 (empat) pilar berbangsa selain Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Oleh karena itu, problematika sekaligus tantangan bangsa kita adalah bagaimana mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis, adil, sejahtera, dan damai, namun tetap dalam bingkai keanekaragaman. Seperti saya kemukakan sebelumnya, tugas dan tanggung jawab luhur ini pertama-tama berada di pundak para pemimpin, baik para pemimpin formal di parlemen dan pemerintahan, maupun para pemimpin masyarakat yang berada di luar pemerintahan. Para pemimpin formal di parlemen dan pemerintahan, di pusat dan daerah, dibebani tanggung jawab merumuskan kebijakan publik yang adil serta berpihak kepada kepentingan masyarakat secara kolektif, sedangkan para pemimpin informal turut bertanggung jawab dalam mengawal dan menjaga hati-nurani masyarakat kita. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya tidak ada satu pun persoalan sosial-politik, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan yang tidak terselesaikan apabila ada kerjasama sinergis antara para pemimpin formal dan pemimpin informal.
Hadirin yang saya hormati,
Saya berpendapat, jika terbangun semangat saling percaya di antara para pemimpin formal dan pemimpin informal maka dengan sendirinya akan terjalin kerjasama yang sinergis dalam merawat dan mengelola keberagaman. Melalui semangat saling percaya dan kerjasama demikian diharapkan berbagai fenomena konflik, tindak kekerasan, dan anarkisme atas nama identitas asal (agama, golongan, suku/etnik, ras, daerah) akan berkurang dengan sendirinya. Sebab salah satu faktor penting di balik maraknya konflik dan ketegangan yang bersifat primordial berakar pada rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kita terhadap lembaga-lembaga negara, institusi pemerintah, termasuk para pemimpin dan penegak hukum.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa masih memberi kesempatan kepada kita semua untuk mensyukuri karunia besar yang diberikannya dengan cara merawat dan mengelola keberagaman, termasuk keberagaman kearifan lokal, sebagai salah satu fondasi dan pilar bangsa ini. Maka, izinkanlah saya menutup uraian ini dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ”Kullukum Raain, Wakullukum Masuluun, Anraiyatih” yang artinya ”Kita semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya”.
Wassalamu ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Syalom,
Sadhu Sadhu Sadhu,
Om Shanti Shanti Shanti Om,
Xian You Yi De,
Sabtu, 14 Juli 2012
DR. S. H. SARUNDAJANG