Manado – Banjir bandang dan longsor yang menghantam Sulawesi Utara pada 15 January 2014 lalu, merupakan pukulan telak atas kita. Betapa tidak, kejadian itu pula terjadi bersamaan dengan HUT Gubernur Sulawesi Utara Dr Sinyo Harry Sarundajang.
Ada beberapa faktor dibalik bencana ini yang menewaskan hampir 19 jiwa dan merusakan sekitar 10 ribu rumah, menghanyutkan hampir 565 rumah, warga yang terkena bencana 80 orang.
Kejadian yang dialami oleh warga Sulut ini pada saat tahun ini dicanangkan sebagai tahun emas, namun buntutnya hanyalah sebuah kehancuran.
Faktor penyebabnya pertama, Sulawesi Utara sudah penuh dengan dosa. Dalam perspektif teologis seorang hamba Tuhan dari Botswana pada 2013 lalu telah menubuatkan akan ada malapetaka dan bencana yang akan menimpa Indonesia termasuk Sulut.
Dia menyebut daerah ini sudah penuh dengan dosa baik perzinahan sampai pakaian yang seronok yang kerap dipakai oleh remaja yakni Rok Mini. Tuhan memperlihatkan banyak hal pada hamba Tuhan ini.
Kedua, Faktor antropologis Dibalik prestasi terbersit kebanggaan dan bisa bermuara pada kesombongan.
Harusnya pemimpin di daerah ini selalu minta hikmat dan petunjuk dari Tuhan, kalau perlu ada tokoh agama seperti pendeta sebagai penasehat spiritual.
Lihat saja hampir semua Presiden AS mulai dari George Washington sampai Barrack Obama memiliki pendeta sebagai penasehat kepresidenan. Sebut saja Rev Billy Graham hampir beberapa dekade berada di Gedung Putih.
Ketiga, Pengaruh alam, peristiwa yang terjadi tak lepas dengan namanya Geologis atau pengaruh bumi misalkan gempa bumi, gunung meletus, tsunami.
Selanjutnya yang dikenal dengan nama Klimatologis yakni faktor perubahan cuaca banjir, angin topan, badai, kebakaran hutan. Inilah fakta yang terjadi di lapangan.
Faktor keempat, faktor Etika, dimana manusia tak lagi menjaga alam ini. Lebih parah lagi sengaja mendirikan rumah dekat bantaran sungai. Padahal dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup, dimana bagi siapa saja yang mendirikan rumah dibantaran sungai maka yang bersangkutan bisa dipenjara 5 tahun dan denda Rp 1 M.
Lihat saja akibat kecerobohan manusia hingga membuang sampah sembarangan sehingga drainase tersumbat. Dibalik bencana dibutuhkan Rp 770 milyar untuk membangun infrastruktur yang rusak di Sulut.
Bahkan total kerugian seperti yang dilaporkan Gubernur SH Sarundajang mencapai Rp 1,8 Triliun. Sebetulnya Tuhan menciptakan ada yang perlu dijaga dan dilestarikan misalkan di kawasan Ring-road hampir semuanya sudah diratakan yang akan dijadikan kawasan bisnis dan perumahan akan tetapi tidak memikirkan antara impact and risk (dampak dan resiko) yang ditimbulkan.
Lumpur yang menerjang Manado rata-rata hampir dari kawasan ini. Kalau era 80-an dan 90-an tidak separah ini. Paling tidak yang terkena banjir hanya di beberapa tempat. Ingatkah anda saat badai Haiyan yang menerjang Philipina pada November lalu yang menewaskan 5900 lebih warga?.
Badai terebut merusak dan dicatat merupakan bencana ketiga, selanjutnya ada badai Katrina. Seperti yang diperkirakan Manado sepertinya terkena badai ini. Jika dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan.
Faktor kelima, faktor kesombongan Tidak bisa dipungkiri lewat prestasi yang ditorehkan oleh Sulawesi Utara lewat 3 kali WTP dan Kota Manado 8 kali Adipura. Gubernur menjadikan tahun ini adalah tahun emas. Dibalik tahun emas hanya bencana yang terjadi. Dengan iven-iven internasional yang dibuat di daerah ini paling tidak muncul faktor kebanggaan pada intinya Jangan pernah mendahului Tuhan dalam segala hal tetap melibatkan Dia. (*)