Catatan Sejarah Jeffry Pay
Langowan, BeritaManado.com — Peninggalan benda-benda bersejarah seringkali terabaikan karena di kalangan orang Minahasa masih sedikit komunitas yang peduli dengan nilai-nilai sejarah yang menyebabkan generasi yang baru kehilangan jejak untuk mempelajarimasa lampau.
Kehadiran Penginjil Johann Gottlieb Shwarz dan Johan Riedel semenjak keduanya menginjakkan kakinya di Tanah Minahasa pada 12 Juni 1831 merupakan suatu anugerah terindah sebagai masa pencerahan bagi orang Minahasa.
Kedua orang penginjil ini memang sangat besar jasanya bagi perubahan keberadaban orang Minahasa karena telah membaktikan dirinya sampai mati di Tanah Minahasa bersama juga dengan penginjil-penginjil lainnya yang datang dari Eropa di abad ke-19.
Nama Johan Schwarz dan Johan Riedel sangat melekat di hati sanubari orang Minahasa dan sudah tentu apa yang menjadi karya mereka akan selalu dikenang.
Khusus di Kota Langowan, nama Schwarz sudah sangat melegenda, sehingga tidak mengherankan di jantung kota masyarakat Langowan telah membangun sebuah monument yang disebut Monumen Schwarz yang berdiri tegak di depan Gereja GMIM Sentrum Langowan.
Gereja tersebut adalah salahs atu karya dari Schwarz sendiri dan sejak ia menginjakkan kakinya di Langowan, gereja itulah yang menjadi pusat pelayanannya.
Konon ceritanya, di lokasi Gereja Sentrum dulunya merupakan pusat pemujaan (ritual) bagi para penganut agama suku Minahasa yang masih percaya kepada berhala-berhala yang menggunakan kekuatan opo-opo.
Dari sudut pandang lain, Schwarz meninggalkan jejak berupa benda-benda yang dahulu pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari karya pelayanan penginjilannya di Langowan dan Minahasa pada umumnya.
Sebut saja sebuah lemari pakain yang terbuat dari kayu yang kini tersimpan dalam kondisi baik di sebuah rumah di Desa Noongan Kecamatan Langowan Barat, tepatnya di kediaman milik Opa Jan Poluan-Tulangow.
Menurut penuturan Opa Jan Poluan (92 tahun), bahwa lemari tersebut sangat berharga karena pernah dipakai oleh keluarga Schwarz, dimana pada waktu ayah dari Opa Jan yaitu Pontus Poluan masih hidup pernah berpesan agar lemari tersebut dijaga dengan baik.
Opa Jan juga mengatakan bahwa Keluarga Pontus-Tulangow bertalian keluarga dengan seorang Pendeta Manopo yang dulu dikenal dengan sebutan Penlong (Penolong Injil), yang mana ibu dari Pontus Poluan marganya Manopo (Keluarga Manopo-Ticoalu), sementara Pendeta Manopo merupakan sepupuh dari Pontus Poluan.
Waktu Perang Dunia ke-2 (1942-1945) di Minahasa terjadi peperangan antara sekutu (pimpinan Amerika Serikat) dengan Jepang.
Saat terjadi peperangan pada tahun 1944, ada banyak warga Minahasa yang menyingkir ke hutan, termasuk Keluarga Pontus Poluan-Tulangow yang terpaksa mengungsi di perkebunan milik mereka yang ada di Manimporok, termasuk keluarga Pendeta Mnaopo.
Untukberada dalam satu lokasi pengungsian, Pendeta Manopo meminta kepada Pontus Poluan untuk bisa menyelamatkan barang berharga milik Schwarz yang saatitu berada di rumah Pendeta di Kompleks Gereja Sentrum (saat ini berdiri Bank BRI dan Alfamart) di depan Kantor Camat Langowan yang lama.
Saat itu sekutu sedang melakukan pengeboman besar-besaran, dimana Gereja Sentrum tak luput dari bom, demikian juga Rumah Sakit Noongandan beberapa gedung yang strategis.
“Menurut Opa Poluan, PendetaManopo meminta agar bisa menyelamatkan lemari pakain milik Schwrz. Ketika tinggaldi rumah Pendeta yang ada di seputaran Gereja Sentrum, Pendeta Manopo juga pernah menerima pesan agar dia dapat menjaga dengan baik elmari peninggalan Schwarz itu,” ungkap Jeffry Pay.
Karena dalam suasana perang, maka lemari itu diambil secara diam-diam pada waktu malam dan Opa Jan Poluan menuturkan, bahwa ia termasuk orang yang disuruh mengambil lemari itu.
Seingat Opa Jan ada empat orang yang datang mengangkut lemari itu yang dimuat di atas pedati (roda sapi).
Lemari itu cukup lebar dan tinggi, karena yang menggunakan lemari itu adalah orang Eropa.
Peristiwa diangkutnya lemari itu ke Noongan, jelas Opa Jan terjadi pada tahun 1944, tapi ia lupa tanggal dan bulannya.
Lemari itu dibawa ke lokasi penyingkiran dan dikuasakan kepada Opa Pontus Poluan dan Pendeta Manopo meminta agar lemari itu dijaga dengan baik.
Nanti setelah perang sudah usai dan orang-orang yang menyingkir kembali ke kampung halamannya masing-masing, maka lemari itu kemudian dibawa ke rumah milik keluarha Pontus Poluan-Tulangouw.
Mengapa lemari itu tidak dibawa kembali ke rumah pendeta, menurut Opa Jan, pesan Pdt Manopo sebaiknya tetap saja di Noongan dengan harapan akan tetap terjaga dan terawat.
“Karena itu, meskipun lemari ini sudah cukup tua, tapi kami tetap jaga dan rawat. Ini lemari sangat berharga dan bersejarah. Jadi sesuai dengan pesan Pdt Manopo dan juga pesan ayah kami Pontus Poluan, kami harus menjaga baik-baik,” ujar Opa Jan, seraya menambahkan, pernah ada orang yang menawarkan untuk membelinya, tapi tidak diberi.
Melihat dari bentuk aslinya, memang terkesan lemari ini biasa digunakan oleh orang Eropa,karena bentuknya tinggi dan lebar dan ketika penulis mencari data bentuk lemari Eropa di zaman 1800-an dan 1900-an, lewat Google, memang sangat mirip dengan model lemari klasik di Eropa pada zaman itu. (***/Frangki Wullur)