PEMILIHAN PRESIDEN dan wakil presiden 2024 menjadi sangat menarik untuk dianalisa, dikritisi, dipercakapkan, bahkan diperdebatkan.
Ini bukan karena adanya Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, bahkan Prabowo Subianto.
Tapi munculnya sosok fenomenal Gibran Rakabuming Raka (GRR).
Sontak saja bumi Indonesia ‘berguncang.’
Pimpinan partai politik ‘gerah’, politisi yang menganggap senior ramai-ramai berkicau, belantara hukum juga ikutan terusik, pakar hukum tata negara, para guru besar, mereka yang dinobatkan pakar, cendekiawan, pengamat politik menjadi laku diwawancarai media.
Tidak sampai di situ, media massa cetak, elektronik, digital besar menjadikan tampil ‘Si Anak Ingusan’ sebagai berita utama yang makin menaikkan rating pembaca, pendengar maupun penonton.
Dan mungkin kita yang sedang membaca tulisan ini, termasuk saya yang ‘melampiaskan’ rasa penasaran dan geregetan ini melalui tulisan ini.
Saya coba mengawali tulisan saya terhadap Gibran Rakabuming Raka dengan mengutip ungkapan Presiden Soekarno: “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Dan buktinya baru satu anak muda, Indonesia sudah ‘terguncang’, termasuk ‘para orang tua’ (baca pimpinan partai politik, para elit hukum, pakar, cendekiawan, guru besar, dan mungkin juga oligarki, dan lain-lain).
Inilah yang membuat saya merasa tertarik menulis kajian tentang Gibran: Tumbal, Ambisi atau Strategi Politik.
Makanya saya coba merincinya.
Tumbal: apakah Gibran dijadikan tumbal untuk meloloskan anak-anak muda hebat lainnya membangun bangsa sebagai pemimpin?
Sebab bagi saya, keputusan Mahkamah Konstitusi yang mampu mengubah syarat calon presiden dan wakil presiden bukan semata-mata hanya kepentingan Gibran semata.
Karena keputusan ini tidak berlaku 5 tahun saja sepanjang tidak ada kepentingan lanjutan yang bisa mengubah kembali persyaratan.
Ataukah Gibran rela diobok-obok untuk memuluskan anak-anak muda Indonesia untuk menduduki posisi strategis memimpin bangsa.
Karena Indonesia pernah dipimpin anak muda seperti Jendral Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar TNI umur 30 tahun.
Juga Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia merangkap Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri ketika berusia 36 tahun.
Dan sederet anak muda Indonesia lainnya.
Mengapa harus Gibran yang dijadikan tumbal?
Karena memang ini saatnya.
Pasti kalau Gibran bukan anak Presiden Joko Widodo dan dia Wali Kota Solo, serta direspon rakyat pasti tidak akan membawa pengaruh besar.
Karena kesempatan tidak datang dua kali.
Kalau sudah saatnya itu harus diambil.
Karena itu setelah Gibran, akan muncul Gibran-gibran baru.
Kedua, Gibran bagian dari Ambisi Politik?
Inilah tanggapan-tanggapan yang muncul saat ini.
Malahan ada yang mengatakan karena Jokowi tidak bisa 3 periode dijadikan calon presiden, maka Gibranlah yang dimajukan.
Semua tanggapan tersebut sah-sah saja karena memang lebih gampang menganalisa dan menjustifikasi ketimbang melihat hal-hal positif.
Ambisi boleh saja, tapi jangan ambisius.
Dan jika menyimak yang menjadi program unggulan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Gibran Rakabuming Raka, melanjutkan program Jokowi, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang tidak ada di calon-calon lainnya.
Dan sudah menjadi rahasia umum, ketika terjadi pergantian kepemimpinan, pemimpin yang baru banyak yang tidak ingin melanjutkan pembangunan pemimpin sebelumnya.
Kalau pun dilakukan, itu bukan menjadi prioritas.
Ketiga, Gibran Strategi Politik?
Inilah yang mungkin menarik disimak.
Kalu Gibran menjadi strategi politik yang menang dalam kontestasi politik, maka kita harus angkat jempol kepada Prabowo Subianto yang mampu membaca ini.
Partai Gerindra rela mengorbankan PKB yang sudah sejak lama membangun koalisi.
Juga PS mampu meyakinkan partai besar sekelas Partai Golkar, PAN, dan Demokrat yang memiliki ‘saham’ membangun bangsa.
Gibran tak bisa dilepaskan, apalagi dipisahkan dari sosok Jokowi.
Memang sebagai Presiden, Jokowi harus bertindak netral.
Tapi rakyat yang puas dengan kepemimpinan Jokowi yang jumlahnya sekitar 75 persen akan lebih gampang melabuhkan pilihan mereka kepada trah Jokowi.
Belum lagi para pendukung setia yang menyatakan tegak lurus dengan Jokowi.
Belum lagi dengan ‘pasar’.
Sesuai penyampaian KPU pemilih muda dalam Pilpres nanti ada sekitar 54 persen.
Gibran diharapkan bisa meraih suara para anak milenial karena mendapat topangan dari PSI.
Dan bukan tidak mungkin ‘harga jual’ Gibran jadi lebih mahal dari Erick Tohir yang diharapkan bisa menggaet pemilih muda, pasca gelaran Piala Dunia 17 tahun yang menjawab kerinduan para ‘penggila bola’ Indonesia yang didominasi pemilih muda, pasca dibatalkannya Piala Dunia 20 tahun karena ditolak.
Bahkan ketika KPU menetapkan PS dan GRR sebagai calon presiden dan calon wakil Presiden, sudah ada lembaga survei yang sesumbar mengatakan PS dan GRR sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029.
Tapi apapun strategi yang dilakukan, semua tergantung rakyat.
Di Sulawesi Utara sudah terbukti.
Ketika Pilkada 2019 lalu, banyak calon pemimpin yang dimajukan, baik itu anak, adik, saudara dari pemimpin sebelumnya, tapi nyatanya rakyat tidak memilih mereka.
Bagaimana dengan Gibran?
Nantikan saja pada 14 Februari 2024 nanti.
Catatan: Tenni Assa.
(***)