Manado, BeritaManado.com – Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keberagaman yang sangat besar, baik suku, agama, dan budaya.
Sayangnya, penyebaran informasi palsu atau hoax dan isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan atau SARA masih sering didapati.
Berkaca pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, banyak masyarakat yang terpecah belah akibat permasalahan ini.
Pemilu 2024 juga diprediksi akan ada banyak sekali potensi terjadinya pemberitaan hoax, ujarnya kebencian, hingga politik uang.
Apalagi, masyarakat Indonesia dikenal aktif di media sosial karena mereka tiga kali lebih banyak dibanding rata-rata global.
Media sosial masih menjadi sarana mudah untuk menyebarluaskan informasi bohong.
Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022.
Jumlah itu telah meningkat 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 170 juta orang.
Adapun, Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia.
Persentasenya tercatat mencapai 88,7%. Setelahnya ada Instagram dan Facebook dengan persentase masing-masing sebesar 84,8% dan 81,3%.
Sementara, proporsi pengguna TikTok dan Telegram berturut-turut sebesar 63,1% dan 62,8%.
Sejak 2017, pemerintah, akademisi, pekerja media, dan pegiat literasi telah melakukan berbagai upaya memberantas hoaks.
Penyebaran misinformasi dan hoaks di media sosial terjadi sejak pemilihan presiden 2014, namun semakin parah pada pilkada Jakarta 2017.
Program literasi dirancang dengan target individu karena mereka dianggap sebagai aktor kunci yang menentukan tersebarnya hoaks dan misinformasi, setidaknya ini yang terjadi di media sosial.
Dan, pelaku bukan hanya orang tak berpendidikan tetapi juga berpendikan tinggi.
Pada 2018, polisi menangkap seorang oknum PNS di Pemkot Lhokseumawe berinisial BU (48) karena menyebarkan ujaran kebencian dengan nada SARA di akun media sosial Facebook miliknya.
Ujaran kebencian yang dilakukan oleh pelaku ditujukan kepada Pemerintah maupun Polri. Salah satunya berbunyi: Banyak manusia bajingan keparat di Indonesia kalau orang Islam dibunuh diam tersenyum.
Usai ditangkap, pelaku diamankan di ruang tahanan Polres Lhokseumawe sementara barang bukti yang diamankan berupa hasil print out screenshot tulisan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat, dari akun Facebook miliknya.
Pelaku dikenakan UU ITE dengan ancaman penjara selama enam tahun.
Selanjutnya, baru-baru ini, beredar sebuah video di Facebook yang menunjukkan seseorang sedang menaiki Omni Hoverboard dan mengibarkan bendera yang diklaim sebagai bendera khilafah.
Terlihat dalam video tersebut di dalam stadion sepak bola, beberapa saat sebelum pertandingan dimulai.
Video tersebut diklaim sebagai pembukaan piala dunia di Qatar.
Setelahnya, klaim tersebut salah. Faktanya, video tersebut merupakan video lama sejak 2019, beberapa saat sebelum pertandingan final kompetisi King’s Cup Saudi Arabia 2019.
ACTLD, Perusahaan lighting designer yang menangani lighting saat acara final tersebut melalui situs resminya juga membagikan foto pada saat pengibaran bendera Arab Saudi dengan menggunakan Omni Hoverboard.
Melalui akun Twitter resmi Al-Ittihad Club juga membagikan foto dengan frame yang sama dalam video tersebut yang dibagikan sejak 3 Mei 2019.
Sehingga dapat dibatalkan klaim dalam video tersebut tidak ada kaitannya dengan pembukaan piala dunia di Qatar 2022.
Selain itu, bendera yang berkibar dalam video tersebut berbeda dengan bendera khilafah.
Bendera khilafah berlatar hitam atau putih serta tidak terdapat pedang di bawah kalimat tauhidnya, sedangkan bendera Arab Saudi terdapat kalimat tauhid dengan latar berwarna hijau tua dan terdapat pedang berwarna putih di bawah kalimat tauhid tersebut.
Dengan demikian, video bendera Khilafah dikibarkan saat pembukaan Piala Dunia di Qatar merupakan hoax dengan kategori konten yang menyesatkan.
Cara termudah untuk memastikan kebenaran informasi adalah memeriksanya dan membandingkan dengan sumber terpercaya.
Sejak 2019, banyak kanal cek fakta yang bisa membantu Anda untuk menemukan kebenaran dari sebuah informasi, salah satunya lewat situs cekfakta.com.
Pada situs cekfakta.com, Anda bisa memasukkan kata kunci sesuai informasi yang ingin Anda cek.
Cekfakta.com adalah sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta yang dibangun di atas API Yudistira oleh MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan bekerja sama dengan beberapa media online yang tergabung di AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) serta didukung oleh Google News Initiative dan Internews serta FirstDraft.
Cekfakta.com pertama kali diluncurkan di acara ‘Trusted Media Summit 2018’ yang diadakan di Jakarta pada Sabtu, 5 Mei 2018 setelah penandatangan MoU oleh 22 Pemred dan Ketua Mafindo.
Selain CekFakta.com, Anda juga bisa menggunakan mesin pencari seperti google.com.
Lalu masukkan kata kunci sesuai informasi yang Anda terima dari media sosial, seperti “Video Bendera Khilafah Dikibarkan Saat Pembukaan Piala Dunia di Qatar”, atau “Uskup Katolik deklarasi dukung Anies Baswedan”, atau “Prabowo pakai jubah uskup”.
Setelah memasukkan kata kunci, mesin penelusuran akan memunculkan sejumlah situs cek fakta yang telah memeriksa kebenaran informasi tersebut.
Baca artikel tersebut hingga selesai lalu sebarkan tautannya ke media sosial agar keluarga atau kawan-kawan Anda tidak termakan hoaks serupa.
Dengan semakin sering kita memeriksa kebenaran sebua informasi, diharapkan agar rentetan peristiwa yang kurang mengenakan di 2019 tidak lagi terjadi.
Oleh karena itu, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum semoga lebih bijak dalam menerima informasi yang beredar di media sosial.
Berita yang bohong itu tidak perlu kita sebarluaskan.
(Finda Muhtar)