Manado, BeritaManado.com – Pakar Komunikasi Politik Benny Susetyo menyuarakan kepada bangsa Indonesia agar tidak memberikan kesempatan kepada Kediktatoran kembali berkuasa, seperti halnya terjadi di Filipina.
Benny Susetyo menegaskan, kemenangan Marcos Jr., atau lebih dikenal dengan nama Bongbong Marcos, dengan lebih dari 50% suara, menyatakan betapa mudahnya masyarakat Filipina melupakan kediktatoran, kekorupan, dan kekerasan yang diciptakan oleh Marcos Sr.
Hal itu Benny sampaikan dalam video yang diunggah di Kanal Youtube Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN), Kamis (12/05/2022).
Video tersebut berjudul “MARCOS JR TERPILIH MENJADI PRESIDEN FILIPINA : ALARM BAGI DEMOKRASI INDONESIA”, yang merupakan dari rangkaian video ‘Jangan Julid Bosque bersama Om Ben.
“Ini fenomena yang harus diperhatikan, karena ini menunjukkan gagalnya konsolidasi demokrasi di Filipina, dimana kemiskinan, kekerasan, dan ketidakbebasan hidup terjadi begitu rupa, sehingga masyarakat mengalami situasi yang tidak menyenangkan,” tegasnya.
Marcos Jr. Lanjut Benny, mampu membuat orang melupakan kekejaman masa pemerintahan ayahnya, sehingga masyarakat Filipina membayangkan kemegahan di masa kepresidenan Marcos Sr.
“Dia membuat orang lupa; kesan glamor, kestabilan, memberikan harapan kepada masyarakat, dibandingkan Duterte,” jelasnya.
Benny juga menunjuk pada kegagalan masa pemerintahan setelah Marcos Sr. yang tidak memberikan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Filipina setelah Marcos Sr. turun dari posisi presiden.
“Jatuhnya rezim Marcos Sr. menandai mulainya era demokrasi Filipina. Namun, naiknya Corazon Aquino yang adalah istri dari mendiang Beniqno Aquino Jr., dan presiden-presiden selanjutnya, tidak memberikan solusi kepada masyarakat Filipina. Demokrasi tidak terbangun karena tidak memberikan kesejahteraan, kebebasan; korupsi tetap tinggi, dan hidup sejahtera tidak terjadi di Filipina.” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bagaimana kultur politik di Filipina, yang juga faktor terpilihnya Bongbong Marcos sebagai presiden Filipina.
“Politik didominasi tuan tanah; senator-senator memiliki tanah, dan mereka membeli suara dari tanah dan keringat rakyat kecil. Oligarki yang berkuasa. Kesenjangan luar biasa terjadi antara kelas elit dan kelas rakyat. Rakyat tidak memiliki kekuatan. Demokrasi pun dibajak dengan kekuatan kapital,” imbuhnya.
Benny juga menunjukkan betapa media sosial menjadi alat yanag sangat efektif dalam berkampanye, seperti yang dilakukan oleh Bongbong.
“Dia menggunakan media sosial yang banyak digunakan, memberikan janji utopis kepada masyarakat. Mereka yang bosan menghadapi ketidakpastian, akhirnya tertarik dengan janji kestabilan dan kemegahan, dan memilihnya menjadi presiden” paparnya.
Benny pun mengingatkan kepada bangsa Indonesia tentang apa yang bisa dipelajari dari fenomena terpilihnya Bongbong Marcos sebagai presiden Filipina.
“Satu, konsolidasi demokrasi tidak bisa berhenti, kita membutuhkan media masa yang kritis dan mengingatkan akan bahaya masa lalu dan menjadikannya sebagai pembelajaran. Media harus seimbang dalam pemberitaan dan sejarah masa lalu harus diungkapkan,” lanjutnya.
Sehingganya, persoalan serupa terjadi di Indonesia, jangan sampai konsolidasi politik gagal.
Politik tanpa gagasan dan tidak bisa memperbaharui dirinya, akan membuat masyarakat ‘merindukan’ masa lalu, seperti yang terjadi di Filipina.”
“Dan ketiga, masyarakat sipil harus menjaga agar demokrasi tetap dan selalu berlangsung dalam waktu lima tahunan,” tambahnya.
Benny memberikan pernyataan bahwa demokrasi tidak langsung memberikan apa yang diinginkan masyarakat, tetapi demokrasi dapat menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Demokrasi memang tidak langsung memberikan kesejahteraan, tetapi (demokrasi) menjamin kebebasan penyampaian pendapat, kontrol dan pengawasan terhadap pemerintah. Demokrasi butuh proses. Belajarlah berdemokrasi dengan mau menjalani prosesnya, dan tidak mengulangi kediktatoran. Jangan sampai muncul tirani baru,” serunya.
“Jangan bilang ‘enak jamanku, toh?’ Bukan. Jaman itu penuh ketidakbebasan, penculikan, penindasan, dan pelanggaran HAM. Memori kita jangan pendek. Sebarkan dan pelajari sejarah dan masa lalu, kita harus mengawal demokrasi bersama-sama,” tutupnya.
(Hendra Usman)