Oleh: Alfrets Goraph (Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Airlanga Surabaya)
Istilah marketing politik pada era dewasa ini bukan rahasia lagi pada sistem politik demokrasi suatu Negara yang menghendaki adanya penyelenggaraan pemilihan umum. Demokrasi dipercaya dapat membangun kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk mengelolah sumber daya gunanya menjamin keadilan sosial yang merata dan terjadinya keseimbangan kesejahteraan. Negara demokrasi pada hakikatnya menjamin setiap hak-hak individu secara demokrasi pula tanpa adanya diskriminasi, dan penyunatan terhadap hak dasar setiap warga negara. Itu artinya, hak seseorang berpartisipasi dalam pemilu tentunya diikuti dengan aturan-aturan yang menjamin hak-hak warga Negara tersebut.
Penyelenggaraan pemilihan umum pada tingkat local telah banyak memberikan pelajaran yang berarti bagi setiap masyarakat untuk kemudian bagaimana masyarakat melibatkan diri berproses dan berdinamika dalam politik praktis. Tidak sedikit orang yang berproses dalam politik praksis menjual diri menjadi tim sukses, relawan dengan dalil “kita memiliki kesamaan ideologi, visi dan misi yang sama”, maka patut diperjuangkan demi kepentingan umum. Imbas dari adanya sistem politik demokrasi menghendaki pentingnya persaingan dan kompetisi mengejar kekuasaan menjadi kepala daerah seperti Gubernur, Bupati, Wali kota tidak bisa terelahkan lagi.
Kebanyakan kompetitor menempatkan kekuasaan adalah tujuannya, sehingga cara-cara represif, kotor dilakukan demi mendapatkan kekuasaan. Dalam konteks teori kekuasaan Gramscy (1991) dan Althusser (1971) ini banyak digunakan, terutama dalam hubungannya dengan penciptaan kesadaran semu di kalangan masyarakat agar dapat tercipta sebuah citra baik pemegang kekuasaan dan akhirnya melahirkan konsensus bahwa kekuasaan tersebut perlu dilanggengkan. Tidak banyak calon kepala daerah yang memaknai kekuasaan adalah titipan yang hanya bersifat sementara dan tidak perlu melakukan cara-cara kotor memperjuangkan serta mempertahankan kekuasaan, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana berjuang serta menggunakan kekuasaan untuk mencapai kebaikan bersama.
Studi marketing politik adalah senjata bagi setiap kompetitor/kandidat untuk mengapai tujuan dalam pilkada. Desain strategi politik dibangun tanpa melihat kaidah-kaidah yang sehat, santun dalam marketing politik. Sehingga metode-metode dalam marketing politik pun telah disunat, disulap, disimulasi pada ranah kepalsuan dan penuh bayangan strategi politik busuk. Kebanyakan kandidat, relawan, serta tim sukses gagal memaknai tujuan dan fungsi marketing politik secara benar. Marketing politik tidak dimaknai sebagai alat saja yang menjadi sebuah barometer bagaimana memaksimalkan metode serta fungsinya untuk mengukur keberlakuan strategi marketing politik dalam suatu arena politik. Itu artinya marketing politik secara tegas tidak dapat memberikan jaminan kemenangan, namun dapat memastikan bahwa kampanye politik dapat dilakukan secara sistematis, efisien dan berorientasi kepada pemilih.
Maka hal ini yang membuat penulis melihat pada praksisnya petarung politik jalanan dipertontonkan dan hanya menggunakan pseudo politik lazimnya. Studi marketing politik oleh teorinya Bruce I. Newman (1999 : xiii) Filsuf marketing politik mengatakan bahwa : “political marketing is the application of marketing principles and procedures in political campaigns by various individuals and organization. The procedures involved include the analysis, development, execution, and management of strategic campaign by candidates, political party, government, lobbyists and interest group that seek to drive public opinion, advance their own ideologies win election, and pass legislation and referenda in response to the needs and wants of selected people and group in a society”. Berdasarkan argumentasi Bruce L. Newman maka, dapat kita analisis secara mendalam bahwa pada dasarnya sebuah pertarungan politik dalam pemilihan umum, yang dibutuhkan adalah bagaimana kandidat calon membuat sebuah kerangka manajemen strategi politik yang kemudian dijadikan sebagai sejata mesin politik oleh kandidat. Tentunya strategi politikpun telah disiapkan oleh kandidat untuk melaksanakan metode kampanye politik dalam mempengaruhi massa atau pemilih secara langsung demi mendapatkan dukungan, simpatik, dan menjadi pusat perhatian pemilih kepada kandidat tersebut. Para pakar dibidang marketing politik dan komunikasi politik memberikan kontribusi pada kajian ini dijelaskan oleh para pakar di bidangnya mengenai penerapan prinsip-prinsip dan prosedur marketing di dalam kampanye politik yang dilakukan oleh individu atau organisasi.
Prosedur-prosedur tersebut mencakup analisis, pembangunan, eksekusi, dan manajemen strategi kampanye yang dilakukan oleh kandidat, parpol, pemerintah, lobbyist, dan kelompok-kelompok kepentingan dalam rangka membangun opini publik, meningkatkan ideologi, atau memenangkan pemilihan di tengah masyarakat, manajemen kampanye politik, analisis pasar politik, pembangunan strategi politik, dan marketing politik dan demokrasi. Setiap bagian dikaji secara mendalam oleh para akademisi dan praktisi yang memberikan analisa memukau dalam teori dan praktik marketing politik dilaksanakan oleh kandidat secara santun demi terbangunnya demokrasi autentik. Tetapi yang menjadi keraguan penulis kemudian adalah apakah mungkin benar tidak ada lagi pseudo marketing politik dalam pertarungan disetiap pilkada? maka menurut penulis, hal ini patut kita uji kembali dengan melihat realitas politik.
Bagaimana dengan strategi money politic dan black campaign yang merajai pada arena pilkada setiap daerah? Hampir di seluruh sudut-sudut kecil pun telah dirasuki oleh hal tersebut. Misalkan kasus Ratu Atut di Banten identik dengan politik kekeluargaan, tidak kalah juga di Maluku Utara beberapa pasangan calon gubernur di branding oleh masyarakat sebagai politik typex (Gubernur Typex), dan pastinya seluruh sengketa pilkada berakhir di MK penuh kecurungan.
Apakah tidak ada cara lain yang santun dipertontonkan kepada public? Ataukah sebagian besar publik telah terinfeksi virus kebinatangan politisi busuk? Sehingga akal sehat pun menjadi dangkal mendesain strategi politik untuk mendapat kemenangan dalam pilkada. Jika kemudian dalam membangun strategi marketing politik para calon menggunakan pendekatan studi marketing politik maka seharusnya menurut Firmanzah (2008:203), dalam proses Political Marketing, digunakan penerapan 4Ps bauran marketing, yaitu: Produk (product) berarti partai atau kandidat dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan konstituen.
Produk ini berisi konsep, identitas ideologi. Baik dimasa lalu maupun sekarang yang berkontribusi dalam pembentukan sebuah produk politik. Promosi (promotion) adalah upaya periklanan, kehumasan dan promosi untuk sebuah partai yang didesain sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pemilihan media perlu dipertimbangkan. Harga (price), mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis, sampai citra nasional. Harga ekonomi mencakup semua biaya yang dikeluarkan partai selama periode kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis misalnya, pemilih merasa nyaman, dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan harga citra nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat tersebut dapat memberikan citra positif dan dapat menjadi kebanggaan negara. Penempatan (place), berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah partai dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Ini berati sebuah partai harus dapat memetakan struktur serta karakteristik masyarakat baik itu geografis maupun demografis. (bersambung)
Oleh: Alfrets Goraph (Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Airlanga Surabaya)
Istilah marketing politik pada era dewasa ini bukan rahasia lagi pada sistem politik demokrasi suatu Negara yang menghendaki adanya penyelenggaraan pemilihan umum. Demokrasi dipercaya dapat membangun kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk mengelolah sumber daya gunanya menjamin keadilan sosial yang merata dan terjadinya keseimbangan kesejahteraan. Negara demokrasi pada hakikatnya menjamin setiap hak-hak individu secara demokrasi pula tanpa adanya diskriminasi, dan penyunatan terhadap hak dasar setiap warga negara. Itu artinya, hak seseorang berpartisipasi dalam pemilu tentunya diikuti dengan aturan-aturan yang menjamin hak-hak warga Negara tersebut.
Penyelenggaraan pemilihan umum pada tingkat local telah banyak memberikan pelajaran yang berarti bagi setiap masyarakat untuk kemudian bagaimana masyarakat melibatkan diri berproses dan berdinamika dalam politik praktis. Tidak sedikit orang yang berproses dalam politik praksis menjual diri menjadi tim sukses, relawan dengan dalil “kita memiliki kesamaan ideologi, visi dan misi yang sama”, maka patut diperjuangkan demi kepentingan umum. Imbas dari adanya sistem politik demokrasi menghendaki pentingnya persaingan dan kompetisi mengejar kekuasaan menjadi kepala daerah seperti Gubernur, Bupati, Wali kota tidak bisa terelahkan lagi.
Kebanyakan kompetitor menempatkan kekuasaan adalah tujuannya, sehingga cara-cara represif, kotor dilakukan demi mendapatkan kekuasaan. Dalam konteks teori kekuasaan Gramscy (1991) dan Althusser (1971) ini banyak digunakan, terutama dalam hubungannya dengan penciptaan kesadaran semu di kalangan masyarakat agar dapat tercipta sebuah citra baik pemegang kekuasaan dan akhirnya melahirkan konsensus bahwa kekuasaan tersebut perlu dilanggengkan. Tidak banyak calon kepala daerah yang memaknai kekuasaan adalah titipan yang hanya bersifat sementara dan tidak perlu melakukan cara-cara kotor memperjuangkan serta mempertahankan kekuasaan, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana berjuang serta menggunakan kekuasaan untuk mencapai kebaikan bersama.
Studi marketing politik adalah senjata bagi setiap kompetitor/kandidat untuk mengapai tujuan dalam pilkada. Desain strategi politik dibangun tanpa melihat kaidah-kaidah yang sehat, santun dalam marketing politik. Sehingga metode-metode dalam marketing politik pun telah disunat, disulap, disimulasi pada ranah kepalsuan dan penuh bayangan strategi politik busuk. Kebanyakan kandidat, relawan, serta tim sukses gagal memaknai tujuan dan fungsi marketing politik secara benar. Marketing politik tidak dimaknai sebagai alat saja yang menjadi sebuah barometer bagaimana memaksimalkan metode serta fungsinya untuk mengukur keberlakuan strategi marketing politik dalam suatu arena politik. Itu artinya marketing politik secara tegas tidak dapat memberikan jaminan kemenangan, namun dapat memastikan bahwa kampanye politik dapat dilakukan secara sistematis, efisien dan berorientasi kepada pemilih.
Maka hal ini yang membuat penulis melihat pada praksisnya petarung politik jalanan dipertontonkan dan hanya menggunakan pseudo politik lazimnya. Studi marketing politik oleh teorinya Bruce I. Newman (1999 : xiii) Filsuf marketing politik mengatakan bahwa : “political marketing is the application of marketing principles and procedures in political campaigns by various individuals and organization. The procedures involved include the analysis, development, execution, and management of strategic campaign by candidates, political party, government, lobbyists and interest group that seek to drive public opinion, advance their own ideologies win election, and pass legislation and referenda in response to the needs and wants of selected people and group in a society”. Berdasarkan argumentasi Bruce L. Newman maka, dapat kita analisis secara mendalam bahwa pada dasarnya sebuah pertarungan politik dalam pemilihan umum, yang dibutuhkan adalah bagaimana kandidat calon membuat sebuah kerangka manajemen strategi politik yang kemudian dijadikan sebagai sejata mesin politik oleh kandidat. Tentunya strategi politikpun telah disiapkan oleh kandidat untuk melaksanakan metode kampanye politik dalam mempengaruhi massa atau pemilih secara langsung demi mendapatkan dukungan, simpatik, dan menjadi pusat perhatian pemilih kepada kandidat tersebut. Para pakar dibidang marketing politik dan komunikasi politik memberikan kontribusi pada kajian ini dijelaskan oleh para pakar di bidangnya mengenai penerapan prinsip-prinsip dan prosedur marketing di dalam kampanye politik yang dilakukan oleh individu atau organisasi.
Prosedur-prosedur tersebut mencakup analisis, pembangunan, eksekusi, dan manajemen strategi kampanye yang dilakukan oleh kandidat, parpol, pemerintah, lobbyist, dan kelompok-kelompok kepentingan dalam rangka membangun opini publik, meningkatkan ideologi, atau memenangkan pemilihan di tengah masyarakat, manajemen kampanye politik, analisis pasar politik, pembangunan strategi politik, dan marketing politik dan demokrasi. Setiap bagian dikaji secara mendalam oleh para akademisi dan praktisi yang memberikan analisa memukau dalam teori dan praktik marketing politik dilaksanakan oleh kandidat secara santun demi terbangunnya demokrasi autentik. Tetapi yang menjadi keraguan penulis kemudian adalah apakah mungkin benar tidak ada lagi pseudo marketing politik dalam pertarungan disetiap pilkada? maka menurut penulis, hal ini patut kita uji kembali dengan melihat realitas politik.
Bagaimana dengan strategi money politic dan black campaign yang merajai pada arena pilkada setiap daerah? Hampir di seluruh sudut-sudut kecil pun telah dirasuki oleh hal tersebut. Misalkan kasus Ratu Atut di Banten identik dengan politik kekeluargaan, tidak kalah juga di Maluku Utara beberapa pasangan calon gubernur di branding oleh masyarakat sebagai politik typex (Gubernur Typex), dan pastinya seluruh sengketa pilkada berakhir di MK penuh kecurungan.
Apakah tidak ada cara lain yang santun dipertontonkan kepada public? Ataukah sebagian besar publik telah terinfeksi virus kebinatangan politisi busuk? Sehingga akal sehat pun menjadi dangkal mendesain strategi politik untuk mendapat kemenangan dalam pilkada. Jika kemudian dalam membangun strategi marketing politik para calon menggunakan pendekatan studi marketing politik maka seharusnya menurut Firmanzah (2008:203), dalam proses Political Marketing, digunakan penerapan 4Ps bauran marketing, yaitu: Produk (product) berarti partai atau kandidat dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan konstituen.
Produk ini berisi konsep, identitas ideologi. Baik dimasa lalu maupun sekarang yang berkontribusi dalam pembentukan sebuah produk politik. Promosi (promotion) adalah upaya periklanan, kehumasan dan promosi untuk sebuah partai yang didesain sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pemilihan media perlu dipertimbangkan. Harga (price), mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis, sampai citra nasional. Harga ekonomi mencakup semua biaya yang dikeluarkan partai selama periode kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis misalnya, pemilih merasa nyaman, dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan harga citra nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat tersebut dapat memberikan citra positif dan dapat menjadi kebanggaan negara. Penempatan (place), berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah partai dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Ini berati sebuah partai harus dapat memetakan struktur serta karakteristik masyarakat baik itu geografis maupun demografis. (bersambung)