Manado, BeritaManado.com — Kasus Mardani H Maming kian menyita perhatian publik akhir-akhir ini.
Banyak kalangan saling mengemukakan pendapat.
Berdasarkan pantauan, bukan hanya netizen yang proaktif, namun akademisi hingga aktivis anti korupsi menyuarakan agar kasus putusan H Maming ini direview kembali dan meminta untuk membebaskan Maming.
Bentuk proaktif masyarakat terhadap kasus Maming ini juga terlihat dengan adanya bentuk ajakan tanda tangan petisi untuk membebaskan Maming di situs change.org dengan judul “Bebaskan Mardani Maming: Wujudkan Penegakan Hukum Yang Adil!” yang saat ini sudah 7000 lebih tanda tangan yang mengikuti petisi ini.
Dikutip dari tulisan Direktur Utama respons.id, Farras Fadhilsyah yang melihat dari reaksi masyarakat tersebut, ia menulis bahwa hal ini sesuai dengan teori Persepsi Selektif (dalam, Warner J.Severin (2011:83-95) yang merupakan istilah yang diaplikasikan pada kecenderungan persepsi manusia yang dipengaruhi oleh keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, sikap-sikap, dan faktor-faktor psikologi lainya.
Dijelaskannya, menurut teori ini, orang cenderung melihat dan memahami informasi sesuai dengan keyakinan atau prasangka mereka.
Jika publik sudah memiliki pandangan positif pada seorang tokoh, mereka lebih cenderung mengabaikan informasi negatif kepada tokoh tersebut.
Hal ini yang membuat publik tetap mendukung atau memiliki citra positif kepada tokoh tersebut walaupun tokoh tersebut sedang terlibat proses hukum.
“Jika citra publik terhadap Maming di mata masyarakat terus positif hingga mempertanyakan proses penegakan hukum, tentunya ini sebuah kekuatan tersendiri. Jangan sampai isu tersebut membuat snowball effect yang negatif kepada citra lembaga penegak hukum,” paparnya.
Pada aspek pribadi H Maming ini tentunya menjadi suatu insentif citra yang sangat baik.
Walaupun Maming berstatus tersangka maupun terdakwa, namun sudah memenangkan persepsi publik bahwa ia tidak bersalah.
Ia juga memaparkan sejumlah persamaan antara kasus Maming dengan kasus Tom Lembong yang juga tengah menyita perhatian publik saat ini.
Pada hari Selasa (29/10/2024), masyarakat dihebohkan dengan berita ditangkapnya Thomas Trikasih Lembong atau sering disebut Tom Lembong sebagai tersangka kasus korupsi impor gula.
Menariknya yang membuat masyarakat mengikuti kasus ini karena Tom Lembong namanya sempat naik daun saat masa Pilpres 2024 menjadi tim sukses dari Anies Baswedan.
Masyarakat sangat mengikuti kasus ini dikarenakan citra dari Tom Lembong sebelumnya sukses menyihir netizen karena ia adalah sosok yang pintar dan berintegritas.
Hal ini lah yang membuat masyarakat kaget dengan berita ditangkapnya Tom Lembong.
Anies Baswedan sebagai rekanan dan juga sahabat seperjuangannya juga memberikan influence kepada masyarakat bahwa sosok Tom Lembong adalah sosok yang berintegritas, namun tetap Anies Baswedan percayakan proses hukum yang berlaku.
Kejanggalan Penahanan Tom Lembong
Kasus yang dialami oleh Tom Lembong menurut Ahli Hukum memiliki sebuah kejanggalan yang sepatutnya masyarakat juga harus mengawasinya.
Menurut Abdul Fickar Hadjar ia menilai Kejaksaan Agung keliru menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka jika hanya berdasarkan kebijakan impor gula, karena kebijakan itu tidak bisa dikriminalkan.
Selain itu peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, meminta penyidik agar menemukan aktor lain yang terlibat.
Menurutnya kebijakan impor gula kristal mentah itu tidak hanya dilakukan pada masa Tom Lembong menjabat tetapi juga di era menteri setelahnya.
Kejanggalan inilah yang membuat masyarakat semakin melirik dan bertanya-tanya apakah benar Tom Lembong bersalah atau tidak.
Tidak sedikit masyarakat tetap mendukung dan mempercayai bahwa Tom Lembong tidak bersalah apalagi juga ada beberapa influencer tokoh politik maupun akademis yang bersuara bahwa dalam kasus Tom Lembong ini memiliki sejumlah kejanggalan.
Dalam hal ini, Farras Fadhilsyah melihat pada kasus Tom Lembong dan H Maming ini merupakan kasus yang serupa namun tidak sama.
Pada tingkatan kasus hukumnya tentunya sangat berbeda, namun ia melihat ada pola kesamaan yang terjadi pada kedua kasus tersebut yaitu kesamaan pada aspek beberapa kejanggalan hukum dan juga kesamaan pada aspek citra politik.
(***/srisurya)