Oleh: Anton Miharjo
SETELAH sekian waktu terjadi silang kata dari semua pihak tentang pelaksanaan Pilkada yang di Perppu No 2 tahun 2020 memberikan beberapa opsi.
Maka pada hari ini DPR RI, pemerintah dan penyelenggara bersepakat pelaksanaan Pilkada dilaksanakan pada tanggal 9 Desember. Selanjutnya operasionalnya akan diatur dalam PKPU. Kesepakatan itu disertai dengan protokol kesehatan.
Sementara itu, di sebagian organisasi dan penggiat kepemiluan sampai saat ini lebih bersepakat mendorong Pilkada dilakukan di tahun 2021 dengan sejumlah pertimbangan. Argumen utamanya terlalu beresiko melaksanakan Pilkada di akhir Desember 2020.
Alasannya lainnya, Pilkada di Desember rawan money politik, menguntungkan incumbent dan berpotensi menurunkan partisipasi warga. Menurutku, alasan di atas terlalu lemah argumentasinya.
Pertama, mengundurkan Pilkada di tahun 2021, juga belum ada jaminan berkurangnya resiko. Toh, sampai saat ini tak ada satupan lembaga kesehatan dunia yang memastikan corona akan berakhir di tahun 2021.
Suka atau tidak, di tahun 2020 atau 2021, semua pihak tetap akan didorong melaksanakan kegiatan publik dengan memperhatikan protokol kesehatan
Kedua, katanya partisipasi pemilih akan berkurang. Ini masih sangat debatable. Tapi pemgalaman di Korea Selatan yang pemilunya dlakukan saat puncak pandemi. Hasilnya justru angka partisipasi pemilu lebih tinggi.
Kita di Indonesia, punya pengalaman tentang partisipasi tinggi di masa darurat bencana. Di Palu, misalnya, saat pilpres kemarin masih pada fase penyembuhan karena gempa bumi. Di Palu situasi masih berantakan, dan warga masih trauma dgn bencana. Tapi hasilnya, di pileg kemarin partisipasi warga yang mengunakan hak pilih mencapai 86%.
Partisipasi warga ke TPS, pada akhirnya juga akan ditentukan oleh kualitas calon, akan ditentukan sejauh mana kualitas calon, kontestasi yang ketat dan banyak fakfor-faktor lain.
Alasan ketiga, akan menguntungkan Incumbent. Menurutku ini juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, ada atau tidak virus corona, Incumbent akan dinilai dari kinerjanya. Semakin baik kinerjanya maka makin berpotensi menang, dan begitu pula sebaliknya.
Lalu apa yang salah kalau warga pada akhirnya memilih incumbent yang kinerjanya benar? Salah satu tujuan Pilkada atau pemilu adalah untuk mengevaluasi kepimpinan politik yang ada.
Hal yang banyak diperdebatkan karena saat ini incumbent bisa mengunakan bansos untuk memobilisasi pemilih. Rasanya juga ini belum tentu benar. Sebab yang namamya bansos, apapun mereknya, sudah ada jauh sebelum ada virus corona. Toh, penambahan bantuan setelah ada virus corona tidak begitu besar dari penerima sebelumnya.
Bahkan menurutku, bansos hari ini menjadi ‘ancaman’ tersendiri bagi incumbent. Sebab di survei SMRC di awal bulan Mei menujukkkan, ada 49% warga yang mengatakan bansos tidak tepat sasaran. Situasi ini bisa saja dikapitalisasi untuk mendowngrade incumbent. Apa itu sehat? Bagi saya itu sehat saja dalam sebuah kampanye, sepanjang ada bukti untuk menyatakan itu.
Money politic, justru menurutku akan jauh lebih menurun karena calon dan pemilih interaksi bertemunya makin kurang. Semakin kurang pertemuan langsung, maka money politic akan terminimalisir, misalnya: uang duduk, uang saku dan sebagainya akan semakin berkurang.
Alasan kinerja Penyelenggara tidak akan maksimal. Menurutku butuh pembuktian . Sebab tidak ada basis dasarnya. Toh, KPU juga belum bekerja. Seharusnya kita mendorong penyelenggara membuat aturan sebaik mungkin di situasi new-normal. Tentu saya masih meyakini penyelenggara punya cara menyiasati situasi seperti itu.
Kita bisa belajar dari pengalama guru dan dosen, yang tak banyak a-i-u-e-o bisa menyelenggarakan pendidikan online. Juga bisa belajar dari relawan desa yang dikelola Kemendes, dan pendamping PKH, yang bisa melakukan verifikasi door to door. Kalau kedua institusi itu bisa melakukan, maka saya meyakini penyelenggara (KPU dan Bawaslu) bisa melakukan.
Hal lain yang dipersoalkan adalah masalah kampanye dari peserta Pilkada yang tidak akan maksimal. Hal ini masalah pemahaman, ada yang memahami kampanye itu identik dengan pengumpulan massa, pesta dan sebagainya.
Padahal mengumpalkan massa dalam jumlah ribuan, itu juga tidak efektif, dan dampaknya terlalu kecil untuk calon itu sendiri. Toh, mereka yang datang berkerumun di tengah lapangan sudah pasti pendukung calon itu sendiri.
Banyak ruang kampanye yang bisa dimaksimalkan peserta Pilkada, misalnya media sosial yang pengunanya hari berkiasar 60% dari total populasi pemilih, media massa, dan media alternatif lainnya. Kampanye online juga bisa dilakukan. Sebab pemilik HP smartphone di Indonesia berkisar 80% dari total populasi. Selain itu, para peserta pemilu bisa membentuk tim melakukan kampanye door to door tanpa harus mengumpulin massa yang efeknya juga kecil.
Pada akhirnya, ini masalah cara berpikir saja, kalau merasa semua harus harus normal. Selamanya tidak akan pernah kembali lagi seperti sebelumnya. Toh, pada akhirnya hari ini kita menuju ke situasi new normal yang tentu membutuhkan revolusi berpikir dari sebelumnya. Dan karena itu, saya mendukung pilkada di desember 2020. Tentu dengan syarat semua pihak harus mengikuti protokol kesehatan.
Penulis: Manager Konsultan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)