Manado – Bicara gerakan Reformasi 98, baik di Level nasional maupun Sulut, pasti tidak bisa dipisahkan dari sosok Benny Rhamdani. Aktivis yang dikenal garang dan tidak memiliki ‘urat takut’ dalam melawan pemerintahan Orde Baru.
Perjuangan dalam membela hak-hak rakyat kecil yg dimarginalisasi secara ekonomi, mengalami ketidakadilan dalam penegakkan Hukum, hingga rakyat yang tergusur dan dirampas hak-hak kepemilikan tanahnya atas nama kepentingan umum, kadang ia lakukan dengan cara yg tidak lazim dan bahkan dianggap ‘haram’ oleh penguasa orde baru saat itu.
Mulai dari penggalangan rakyat miskin dan tertindas hingga aksi-aksi demonstrasi yang dilakukannya, tidak segan-segan langsung menembak jantung kekuasaan. Sehingga tidak heran jika Ia dicatat sebagai Musuh Orde Baru nomor 1 di Sulawesi Utara.
Reformasi sendiri awalnya dilatarbelakangi karena pemerintah Soeharto saat itu dinilai sudah sangat buruk. Kondisinya saat itu kepemimpinan Soeharto sangat otoriter, bertangan besi dan anti demokrasi hingga kondisi masyarakat yang semakin sengsara karena krisis perekonomian.
Tak hanya itu saja, Reformasi juga hadir karena adanya penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa aktivis yang dianggap musuh negara karena telah berbeda pendapat dengan pemerintahan Soeharto. Perjuangan awalnya pun dilakukan dibeberapa kampus yakni UKI, ISTN, App, Univ Kertanegara, Aba Abi, Unija, KB UI, IISIP, Untag, Moestopo.
Perjuangan Benny berawal ketika melakukan diskusi di kampus pada bulan November tahun 1997. “Diskusi ini pun digelar di tiap-tiap kampus di seluruh Indonesia,” ungkap Benny. Dari diskusi tersebut, menghasilkan bahwa perjuangan harus dilakukan secara berlanjut ke Jakarta. Benny kemudian berangkat ke Jakarta mewakili Unsrat pada bulan Januari 1998 untuk melakukan perlawanan terhadap rezim Soeharto. “Walaupun saat itu, pemimpin Unsrat tidak sependapat dengan perjuangan,” katanya.
Di Jakarta, dirinya kemudian melakukan aktivitas perjuangannya dengan berawal dari kampus Universitas Indonesia (UI). Di situ, dia kemudian melakukan orasi dan mengajak mahasiswa UI untuk turun berjuangan bersama dengan mahasiswa lainnya. Di kampus itu, Benny kemudian menunjukkan kegilaanya. Sambil berorasi, dirinya mengangkat tangan kirinya dan kemudian menyayat tangannya dengan menggunakan silet.
Seketika itu, dia pun kemudian dilarikan ke rumah sakit. Sebanyak 24 jahitan pun harus menutupi luka akibat kegilaanya tersebut. Perjuangan di UI awalnya terkesan sia-sia karena kampus kuning itu ternyata mempunyai motto kampus perjuangan orde baru. “Mereka saya minta untuk bertanggung jawab karena telah melahirkan rezim orde baru,” tegasnya.
Kegilaan lainnya untuk merubah sebuah sistem pun tak hanya berhenti disitu saja. Dia bersama seorang temannya bernama Wahab Talaohu(aktisis’98 dari Univeritas Jakarta) melakukan aksi Mogok Makan selama 5 Hari di Halaman Kantor YLBHI-Jakarta. Walaupun akhirnya Ia bersama temannya harus dilarikan dengan menggunakan 2 mobil Ambulance, dan diantar langsung oleh Munir dan Adnan Buyung Nasution (Keduanya dikenal sebagai pejuang Demokrasi dan Kemanusiaan) ke Rumah Sakit ST. Carollus, karena harus mendapatkan perawatan serius setelah ‘tumbang’ di hari Ke-5 karena aksi mogok makan tersebut.
Di RS, Benny Rhamdani yang baru menjalani perawatan kurang lebih 3,5 jam langsung dilarikan dari Rumah Sakit dan disembunyikan selama 1 Minggu di Rumah Gusdur di Ciganjur, sehubungan munculnya isu rencana penculikan kepada dirinya dan Wahab Talaohu oleh ‘pihak tertentu’.
Apa yg dilakukan para aktivis mahasiswa, khususnya di Era Orde Baru, bukan berarti tanpa resiko. Begitupun yang dialami Benny Rhamdani. Di Sulawesi Utara, Benny Rhamdani tidak sekedar menjadi musuh penguasa, tapi kelompok kapitalis dan pengusaha yang merasa terganggu kepentingan bisnisnya, menganggap bahwa Benny Rhamdani adalah orang yang harus ‘dihabisi’.
Karena itulah, pada tahun 1997, Benny Rhamdani dan keluarganya hampir menjadi korban rencana pembunuhan, selain rumah kakaknya di Perkamil yang menjadi tempat menumpang dengan anak isterinya dihancurkan oleh para preman bayaran yang menyerbunya pada pukul 03.00 Wita.
Teman-temannya terdiri dari beberapa mahasiswa di Indonesia yakni dari UKI (Adrian Napitupulu), ISTN (Raymond), APP (Agung), Universitas kertanegara (Eki Gondrong), Kampus ABA-ABI (Lutfi), UNIJA (Wahab Talaohu, Tendri dan Aryo), IISIP (Noel dan Templang), UI (Suma dan Sukma), UTANG (Raras), Universitas Moestopo (Baykuni). “Nah info terakhir Adian masih di jalanan, Raymond buka percetakan, Agung buka jasa security, Eki ikut Jend Yasin Bikin Pakarpangan, Lutfi anggota DPR Golkar, Tendry jadi DJ dugem trus, Noel di Partai Demokrat. “Suma gak tahu katanya jadi lawyer. Raras reporter Trans TV, Baykuni jadi dosen,” ungkapnya lagi.
Di level Gerakan Nasional, Benny Rhamdani dicatat dan dikenal oleh teman-teman seangkatannya sebagai aktivis ‘Gila’. Ide dan gagasan-gagasannya perlawan yang ditawarkan dalam diskusi-diskusi selalu Gerakan bersifat Aksi alternatif yang diistilahkannya sebagai ‘Kanalisasi Isu dan Revolusi Situasi”. Sehingga aktivis’98 sekelas Adnian Napitupulu (Ketua Forkot), menjulukinya sebagai aktivis yg melahirkan teori eksperimentasi.
Adrian saat diwawancarai mengaku mengenal Benny saat berdemo pertama kali di UI. Ketika itu dia kaget melihat seorang pemuda melakukan aksi nekat menyayat tangannya dengan silet. “Disitu saya hanya mengenal begitu saja tidak terlalu dekat. Setelah itu saya mendengar pria itu melakukan aksi mogok makan,” ucapnya.
Perkenalan mereka pun berlanjut ketika Adrian dan Benny Rhamdani mengusulkan kepada sejumlah mahasiswa dalam diskusi agar perjuangan dilanjutkan dengan cara menduduki kantor DPR RI. “Awalnya saya yang mengusulkan di setiap diskusi di beberapa kampus, tapi selalu ditolak. Nah, di satu kampus di Jakarta Selatan, saya mengusulkan itu, tapi tetap ditolak, namun Benny pun menyarankan agar mencobanya,” terangnya.
Nah, berbicara mengenai reformasi, Benny pun mengatakan bahwa agenda itu telah dibelokan dari rel yang sebenarnya dan dari semangat yang melatarbelakangi kelahiran Reformasi yang sesungguhnya.
Menurutnya, cita-cita reformasi telah dibajak dan dikhianati kaum elit yang hari ini berkuasa dan mereka yang menjadi penyelenggara negara yang sebenarnya bisa berkuasa karena adanya reformasi itu sendiri.
“Dengan situasi dan kondisi bangsa ini sudah semakin memburuk. Kapal yang bernama Indonesia sudah bocor-bocor dan tinggal menunggu tenggelam. Masa depan masyarakat kita berada pada lorong gelap,” ucapnya. Untuk keluar dari situasi ini, lanjutnya, hanya ada dua pilihan.
Pertama, melalui cara konstitusional Pemilihan Umum baik Legislatif maupun Presiden. Ini harus dengan cara membentuk Penyelenggara Pemilu Independen yang orang-orangnya tidak bermental bandit atau rampok. Masyarakat juga harus mengawasi proses demokrasi secara ketat melalui seluruh tahapan, dan pilih calon legislatif dan Presiden yang memiliki rekam jejak positif, yang menawarkan Program Pro Rakyat, dan memiliki nasionalisme yang tinggi serta ideologi yang anti Neoliberalisme dan Kapitalisme.
“Karena dengan cara inilah, maka kita akan menjadi bangsa sebagaimana yang dicita-citakan Soekarno, yaitu Bangsa yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Jika gagal melalui cara konstitusional, maka tidak ada pulihan lain, satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah Revolusi,” tegasnya. (oke)