Manado — Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara (Sulut) pada triwulan (TW) II 2018 tercatat sebesar 5,48% (yoy), melambat baik dibandingkan dengan pertumbuhan TW I 2019 yang tercatat sebesar 6,59% (yoy), maupun dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2018, yang tercatat tumbuh 5,77% (yoy).
“Pertumbuhan ekonomi Sulut relatif lebih rendah dibandingkan provins-provinsi Iain di Sulawesi yang tumbuh diatas 6% kecuali Provinsi Sulawesi Barat,” ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara, Arbonas Hutabarat.
Meskipun demikian, pertumbuhan Sulawesi Utara triwulan II 2019 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Nasional yang tercatat tumbuh sebesar 5,05% (yoy).
Ditinjau dari faktor penyebabnya, perlambatan Pertumbuhan Sulawesi Utara terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan di dua lapangan usaha (LU) utama, yaitu LU Pertanian dan kontruksi, serta kontraksi yang terjadi pada LU Industri Pengolahan.
Sementara itu, dua LU utama lainnya yaitu transportasi dan perdagangan, tumbuh menguat dibandingkan triwulan sebelumnya, meski belum mampu menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara.
Diantara LU yang mengalami kontraksi, LU industri merupakan LU dengan penurunan pertumbuhan yang cukup dalam, yaitu sebesar -4,43% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh 2,90% (yoy).
Melambatnya pertumbuhan LU industri terutama disebabkan oleh penurunan produksi komoditas andalan Sulawesi Utara, yaitu minyak hewani dan nabati.
Turunnya produksi minyak nabati dan hewani sejalan dengan tren negatif harga komoditas coconut oil (CNO) yang pada Triwulan II 2019 secara rata-rata terkoreksi sebesar 36,40% (yoy).
Penurunan harga tersebut mengurangi insentif industri untuk meningkatkan produksinya.
Selain LU Industri, pada triwulan II 2019, LU pertanian menjadi salah satu LU utama Sulawesi Utara juga tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.
LU pertanian tercatat tumbuh sebesar 7,40% (yoy) melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 12,00% (yoy), meskipun demikian dengan angka pertumbuhan di atas 7% tersebut, maka LU Pertanian masih tumuh relatif kuat.
Base effect kegagalan panen tanaman Bahan Makanan pada Triwulan II 2018 menjadi salah satu faktor perbaikan angka pertumbuhan sektor pertanian di Triwulan II 2019 relatif terhadap Triwulan II 2018.
Sementara itu, LU Konstruksi mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,06% (yoy) pada periode laporan atau tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh sebesar 7,28% (yoy).
Melambatnya pertumbuhan LU konstruksi terindikasi dari melambatnya pertumbuhan pengadaan semen di Sulawesi Utara.
Selain itu, belum maksimalnya realisasi belanja modal Pemerintah Provinsi pada Triwulan II 2019 serta berkurangnya hari kerja karena cuti bersama Hari Raya ldul Fitri 2019 diperkirakan turut menjadi faktor penyebab melambatnya pertumbuhan LU konstruksi.
Berkebalikan dengan LU Industri, Pertanian dan Konstruksi, pada Triwulan II 2019 kinerja LU Transportasi dan Perdagangan tumbuh menguat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Menguatnya kedua lapangan usaha tersebut mampu menahan perlambatan lebih dalam pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara.
Pada Triwulan II 2019, LU Transportasi tercatat tumbuh sebesar 5,35% (yoy) meningkat cukup signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan sebesar 0,77% (yoy).
Menguatnya kinerja transportasi terutama disebabkan oleh menguatnya sub lapangan usaha transportasi Iaut dan lebih rendahnya kontraksi sub lapangan usaha transportasi udara.
Menguatnya sub lapangan usaha transportasi Iaut antara lain ditunjukan dengan meningkatnya jumlah penumpang pelayaran dalam negeri, yang pada Triwulan II 2019 tumbuh sebesar 5,73% (yoy) jauh melebihi triwulan sebelumnya yang tumbuh -11,75% (yoy).
Sementara itu kebijakan pemerintah menurunkan tarif batas atas angkutan udara mampu menahan kontraksi penumpang pesawat lebih dalam.
Dengan kebijakan tersebut, kontraksi penumpang pesawat udara di Sulawesi Utara pada Triwulan II 2019 tercatat sebesar 15,01% (yoy) relatif lebih rendah dibandingkan kontraksi pada Triwulan l 2019 yang tercatat sebesar 24,31% (yoy).
Sebagaimana LU Transportasi, peningkatan juga terjadi pada LU perdagangan sebesar 9,24% (yoy), menguat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,76% (yoy).
Menguatnya pertumbuhan perdagangan tersebut dikonfirmasi dengan rata-rata Indeks Penjualan Rill Bank Indonesia yang masih tumbuh kuat.
Menguatnya pertumbuhan LU perdagangan didukung oleh menguatnya konsumsi rumah tangga dan pemerintah ditopang penyelenggaraan beberapa iven nasional, diantaranya Olimpiade Sains Nasional yang diselenggarakan di Sulawesi Utara pada Triwulan II 2019.
Dari sisi pengeluaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi Sulut pada Triwulan II 2019 terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan pembentukan modal bruto (PMTB) dan kontraksi ekspor yang lebih dalam di tengah menguatnya konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah.
PMTB Sulawesi Utara Triwulan II 2019 tumbuh sebesar 3,41%(yoy) melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,44%(yoy).
Perlambatan pertumbuhan PMTB tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan LU konstruksi.
Hal tersebut juga sejalan dengan melambatnya realisasi investasi baik yang bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sepanjang Triwulan II 2019, serta belum maksimalnya belanja modal pemerintah provinsi hingga Triwulan II 2019.
Sementara itu, pada Triwulan II 2019 eksporjuga belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, ditandai dengan kontraksi yang lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya.
Ekspor barang dan jasa Sulawesi Utara pada Triwulan || 2019 terkontraksi sebesar 8,99% (yoy) lebih dalam dibandingkan kontraksi pada triwulan | 2019 yang tercatat sebesar 5,41(yoy).
Kontraksi ekspor tersebut sejalan dengan terkontraksinya LU industri pengolahan akibat berlanjutnya tren negatif harga komoditas dunia, khususnya CNO.
Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga pada Triwulan || 2019 menunjukkan penguatan dengan tumbuh sebesar 6,07% (yoy) menguat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,51% (yoy).
“Menguatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga didorong kenaikan gaji PNS dan indikator pendapatan Iainnya. Menguatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga sejalan dengan menguatnya Indeks Keyakinan Konsumen Bank Indonesia serta Indeks Tendensi Konsumsi BPS,” kata Arbonas.
Demikian halnya dengan konsumsi pemerintah, pada Triwulan II 2019 tumbuh sebesar 9,78% (yoy), menguat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 1,30% (yoy).
Pelaksanaan pemilihan umum serentak ditengarai menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya konsumsi pemerintah tersebut.
Memperhatikan perkembangan hingga Triwulan II 2019, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kedepan akan cenderung membaik, didorong oleh percepatan pembangunan infrastruktur dan pengembangan kawasan Ekonomi Khusus.
Konsumsi pemerintah diperkirakan tetap tumbuh kuat seiring pelaksanaan iven-iven pariwisata dan percepatan realisasi belanja modal sesuai pola historisnya.
“Bank Indonesia juga senantiasa mencermati perkembangan serta risiko eksternal dan domestik. Berbagai risiko, baik risiko eksternal terkait perang dagang antara Tiongkok dan USA, risiko berlanjutnya tren negatif harga komoditas unggulan, serta risiko geopolitik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan perdagangan dan harga minyak dunia, merupakan risiko yang perlu diwaspadai bersama,” ucap Arbonas.
Selain itu juga masih perlu diperhatikan beberapa risiko yang bersumber dari permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur, seperti terbatasnya pasokan Iistrik.
“Menyikapi berbagai tantangan dan risiko ke depan tersebut, Bank Indonesia senantiasa meningkatkan dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif dan berkelanjutan dengan mempertahankan stabilitas ekonomi dan mendorong berkembangnya sumber pertumbuhan ekonomi baru Sulawesi Utara khususnya melalui pengembangan sektor Pariwisata yang lebih melibatkan partisipasi masyarakat dan swasta, serta peningkatan diversifikasi produk industri pengolahan yang berorientasi ekspor dan bernilai tambah tinggi,” tutup Arbonas.
(***/sri)