Beritamanado, Kecelakaan pesawat angkut jenis Hercules C-130 di Magetan, Jawa Timur memunculkan beragam pendapat. Berikut pendapat dari Frank Tanos, seorang ahli metalurgi dan Eddy Tumengkol, pensiunan penerbang TNI-AL yang dirangkum oleh Christy Manarisip.
Sekitar 90 persen musibah kecelakaan pada saat take off maupun landing secara statistik disebabkan oleh mechanical failure. Kelelahan logam (korosi fatigue) merupakan salah satu mekanisme kerusakan yang mempengaruhi struktural integritas dari I (umur) pesawat terbang yang merupakan faktor dalam banyak kasus jatuhnya pesawat terbang. Tingginya jam terbang suatu pesawat tentu memerlukan tingginya pula sistem pemeliharaan. Pemeliharaan tidak saja pada routinnya pemeriksaan mesin turbin, tetapi visual inspeksi pada seluruh struktur body pesawat sangatlah penting. Stress corrosion cracking (stress logam) yang paling banyak terdapat pada aluminium alloy. Memang sampai saat ini belum ada logam lain yang bisa mengantikan aluminiun sebagai logam dasar body struktur pesawat, sekalipun sudah ada beberapa pesawat komersial jenerasi baru yang telah memakai bahan carbon fiber, itupun hanya terbatas dalam pengunaan pada sistem flipper saja. Korosi sendiri merupakan suatu proses phenomena alam, tingginya laju korosi pada body pesawat banyak disebabkan oleh beberapa parameter, seperti: kecepatan pesawat menyebabkan adanya friction, altitude (ketinggian) temperatur, kandungan garam, merembetnya air dari saluran pembuangan, overload serta tingginya vibration karena putaran mesin.
Akibat dari korosi menyebabkan kurangnya kekuatan struktur daya angkut pesawat. Stress corrosion cracking adalah jenis korosi retak yang sulit dilihat oleh pandangan mata. Ini adalah jenis korosi yang sangat berbahaya bagi dunia penerbangan. Faktor utama dari korosi ini disebabkan oleh metalurgi dan tingginya temperatur dari combustion chamber.
Human error serta cuaca alam sekitarnya memiliki statistik sangat kecil dalam kecelakaan pesawat terbang. Selain dari korosi, Tikus dan Kecoa adalah salah salah satu mahluk yang juga berbahaya dalam dunia penerbangan. Analisis probalistik secara intensif pada semua sedut struktur body pesawat baik internal dan external sangatlah diutamakan.. . hal ini demi Keselamatan Bagi Semua Penumpang Pesawat Terbang. Demikian sekilas gambaran tentang korosi. (Pendapat Frank Tanos).
Berbeda dengan Frank Tanos, Eddy Tumengkol (pensiunan penerbang TNI-AL) memiliki pendapat yang lain. Saya kurang setuju dengan angka 90% kecelakaan take off dan landing secara statistik disebabkan mechanical failure. Informasi ini belum jelas dari mana? Saya berani bersuara karena mantan penerbang.
Kalau persentase tinggi alasan mechanical failure pada waktu take off memang benar, paling sering karena mati mesin. Tapi tidak demikian dengan landing/pendaratan. Contoh terakhir kecelakaan Fokker-27 AU di Bandung baru2 ini yang crash waktu dalam proses pendaratan. Hasil laporan penyelidikan resmi belum ada. Ada alasan cuaca buruk dan crosswind deras.
“Engine Failure After Take Off” sebelum tercapai cukup kecepatan untuk terus mengudara adalah sebab terbanyak kecelakaan waktu lepas landas. Jarang sekali karena airframe fatigue atau human error. Crash Hercules C-130 TNI-AU di Magetan tadi pagi, tidak jelas waktu take off atau persiapan mendarat, sehingga belum berani memberikan pendapat lebih jauh. Hercules pesawat dengan empat mesin baling-baling. Jika satu atau dua mesin mati pun masih bisa dikendalikan. Jikalau semua mesin mati, bisa juga terjadi karena fuel flow ke semua mesin tiba-tiba tersumbat atau kehabisan bahan bakar. Tapi jarang sekali terjadi.
Kecelakaan waktu mendarat pada umumnya disebabkan kesalahan penerbang (human error). Pengaruhnya macam-macam. Fokker -27 di Bandung karena crosswind kuat tapi penerbang kurang melakukan kompensasi terhadap pengaruh crosswind. Crash Garuda B-727 tahun lalu di Jogya karena mendarat dengan kecepatan terlalu tinggi dan touch down tidak normal mendekati pertengahan landasan sehingga pesawat tidak terkendali. Meskipun dalam laporan tidak jelas, saya kira pada saat mendarat dialami tailwind, harusnya headwind menghadap angin. Sebulan yang lalu ada crash waktu pendaratan di bandara Schiphol, pesawat touch down sebelum mencapai ujung landasan dalam cuaca baik. Ternyata instrumen ukur ketinggian tidak di check sehingga menunjukkan ketinggian yang keliru. Para penerbangnya kurang teliti, sehingga human error. Sering seorang penerbang menganggap enteng pendaratan karena rutin dengan cuaca baik, sehingga mulai kurang teliti. Dalam keadaan mengalami terlalu percaya diri demikian maka sering terjadi kesalahan kecil tapi fatal. Saran dari copilot sering diabaikan karena kapten merasa lebih pintar. Jadi betullah kalimat “The sky is vast (luas) but there is no room for error”.