PEMILU serentak tahun 2024 sudah dihelat pada 14 Februari 2024, namun wajah pesta demokrasi begitu banyak catatan hitam permainan politik uang atau money politik, khususnya dalam pemilihan legislatif baik Calon Legislatif (Caleg) DPR RI dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/kota.
Apakah politik uang atau money politik itu?
Politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.
Saya pribadi melihat politik uang atau money politik yang marak dilakukan para Caleg menunjukkan ketidakmampuan dari Parpol dalam menghasilkan kader yang mempunyai kemampuan Sumber Daya Manusia mumpuni dalam artian memiliki integritas, serta komitmen dalam memperjuangkan masyarakat selain menghalalkan segala cara untuk meraih “kursi panas” legislatif yang sejalan dan seirama dengan “wajah Parpol” kusut dan hitam, serta masyarakat pemilih yang tak cerdas mengharapkan ‘uang haram’ para ‘Caleg Hitam’ yang berujung pada kualitas Pemilu 2024.
Perlu evaluasi terhadap pesta demokrasi lima tahunan ini, termaksud bagi penyelenggara Pemilu maupun para penegakan hukum Pemilu.
Tentu saja hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya perbaikan dan menghadirkan Pemilu yang lebih baik lagi ke depan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sendiri tidak kurang memuat 77 pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana.
Sehingga ada tiga lembaga dari unsur Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yakni Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan.
Gakkumdu sebagai sentra penegakan hukum terpadu memiliki peran penting dalam penanganan tindak pidana pemilu. Dalam Pasal 486 butir (1) Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara eksplisit dijelaskan dibentuknya Gakkumdu bermaksud untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu oleh Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Namun apa lacur? Harapan untuk kualitas Pemilu dalam penegakan hukum terutama pada tindak pidana Pemilu, yaitu politik uang atau money politik di Sulawesi Utara (Sulut) yang begitu marak masih jauh dari harapan.
Banyak celah hukum yang ada dalam penegakan pidana Pemilu, baik waktu penanganan yang singkat, soal money politik pada masa kampanye, masa tenang, maupun pada hari pemungutan suara tidak tertangani sebagaimana harapan, apalagi pelakunya bisa diajukan ke pengadilan dan dijatuhi pidana.
Juga terdapat sejumlah modus tindak pidana yang dalam implementasinya tidak dapat dijerat dengan konstruksi tindak pidana berdasarkan Undang Undang Pemilu, yaitu mengenai subjek hukum yang dilarang dalam Undang Undang Pemilu untuk melakukan politik uang.
Tiga subyek, yaitu pelaksana kampanye, peserta pemilu, dan tim kampanye.
Di luar hal tersebut, Undang Undang Pemilu tidak mengatur subyek lainnya sehingga sulit untuk menindak apalagi sampai kepada peserta Pemilu itu sendiri yang memang sarat permainan politik uang atau money politik.
Terbaru dalam penanganan politik uang atau money politik yang diduga dilakukan oleh Caleg JL dari Parpol merah yang telah ditersangkakan, padahal yang ditangkap sebelumnya adalah Ucup sebagai pelaku politik uang yang bukan sebagai peserta Pemilu dan tim kampanye yang kemudian menyeret nama JL.
Dan saya sejak awal pesimis mengenai penanganan dugaan politik uang dari Gakkumdu terhadap Caleg JL yang ujungnya kemudian perkara dihentikan itu.
Dalam perkara JL itu terdapat celah hukum karena JL bukanlah pelaku yang tertangkap tangan dalam money politik, melainkan orang lain, yaitu pelaku Ucup.
Apakah pelaku Ucup masuk ke dalam tiga subyek yang dilarang melakukan politik uang selama pelaksanaan Pemilu berlangsung atau tidak, tentu akan menjadi celah hukum dalam pembelaan Ucup oleh tim kuasa hukumnya. Kita lihat saja ke depannya.
Dalam Undang Undang Pemilu subyek yang dilarang oleh Undang Undang Pemilu untuk melakukan politik uang adalah bukan “setiap orang”, melainkan 3 hal tersebut di atas, yaitu pelaksana kampanye, peserta pemilu, dan tim kampanye.
Sehingga ke depannya perlu direvisi mengenai pelaku atau subyek menjadi “setiap orang” dengan begitu, larangan melakukan politik uang bisa menjangkau siapa saja sepanjang dia benar-benar melakukan politik uang selama penyelenggaraan Pemilu berlangsung.
Aturan Pidana Pemilu yang sudah seperti itu akhirnya banyak orang yang melakukan penyelundupan hukum, namun yang tidak terikat dalam 3 subyek hukum itu mereka bisa melakukan dan tidak kena pidana.
Diperlukan keseriusan aparat penegak hukum Pemilu yang harus bekerja lebih kreatif dan mengemban tugas mulianya untuk mengawal kualitas Pemilu.
Hal ini bisa dilakukan dengan menerakan ketentuan pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terhadap pelaku politik uang yang tidak termasuk dalam tiga kategori Undang Undang Pemilu mestinya bisa dijerat dengan pasal penyertaan sebagaimana yang diatur dalam KUHP.
Dengan begitu, meskipun tidak memenuhi syarat subyektif Undang Undang Pemilu, tapi pelaku yang membantu mendistribusikan uang di lapangan, orang yang digerakkan, ataupun orang yang menggerakkan, tetap dapat dipidana.
Kembali lagi, dibutuhkan kreativitas Bawaslu, penyidik, penuntutnya untuk tidak hanya menggunakan Undang Undang Pemilu atau ketentuan pidana dalam Undang Undang itu saja, tapi juga aturan umum dalam KUHP bisa digandeng.
Belum kemudian dari aspek prosedur, terdapat kendala dalam menegakkan tindak pidana Pemilu.
Ketentuan 7 hari melaporkan temuan dugaan tindak pidana Pemilu sejak ditemukan atau diketahui, sangat membatasi cara kerja hukum pidana dalam menjerat pelaku.
Secara kasuistik bisa saja pelaku yang dipanggil melarikan diri akibat waktu penanganan yang mesti dibuat serba cepat atau pemeriksaan disengaja hingga melewati batas waktu yang ada.
Pengalaman saya ketika mengawal dalam Pemilu 2024 ini, maupun dalam Pilwako beberapa tahun lalu dalam Pemilihan Walikota di daerah Nyiur Melambai, saya mengamati yang merupakan tantangan kerap dikeluhkan dari penegakan tindak pidana pemilu adalah kesepahaman antara stakeholder penegak hukum itu sendiri.
Di mana Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang di dalamnya terdiri dari Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan kerap kali belum seragam dalam menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur pidana yang dilakukan.
Hal ini kerap menjadi penyebab rekomendasi Bawaslu tidak ditindak lanjuti oleh penyidik yang ujungnya jelas Pemilu maupun Pilkada yang terus marak permainan politik uang atau money politik akan terus berlanjut hingga menggerogoti pesta demokrasi hingga mencoreng kualitas Pemilu maupun Pilkada.
Catatan Vebry Tri Haryadi,
Ketua DPD Projo Sulut/Praktisi Hukum
(***)