Dini hari, 14 Januari 2020, untuk terakhir kalinya Novia menyebut “Bolaang Mongondow Raya” di panggung Indonesian Idol. Saya telah duduk menjauh dari layar kaca, sejak pemandu acara ajang “pencarian bakat” ini menaruh Novia di posisi tidak aman.
Was-was dan penuh harap gadis belia ini lolos dari lubang jarum yang akan menjadi neraka bagi pendukungnya. Saya tak sanggup menatap wajah Novia jika putusan pemirsa, akhirnya, akan menyingkirkannya dalam kontestasi ini.
Dan akhirnya… Nyaris sayup, dengan dada sesak, suara pasrah nan tegar itu terdengar. Seperti kemampuannya menundukkan berbagai genre musik, begitu juga dia membekap gemuruh di dadanya menerima kenyataan getir itu. Hakikinya, emosi gadis ini, telah melampaui pentas tempat dia berdiri.
Di saat ditunjuk ke titik kritis, wajah Nouval Bachmid –ayah Novia– menyelimuti benak saya. Saya teringat pertemuan dengan Nouval beberapa waktu lalu. Saya yakin, saat RCTI mengumumkan hasil voting, Novia pasti ingin bersandar dalam dekapan ayahnya.
Saya membayangkan mata Noufal yang penuh semangat dan harap, menggalang dukungan untuk “penyejuk mata”-nya. Tentu saya, dengan keterbatasan kuasa, hanya berdoa penuh haru menanggapi semangat ayahnya.
Noufal yakin dengan bakat anaknya. Namun, kuatir dengan asalnya. Saya sadar, selalu ada sentimental –juga yang politis– pada setiap ajang seperti ini.
Ini seperti mengulang luka ketika dahulu Novia bertarung di pentas Idola Cilik: kuantitas mengalahkan kualitas. Tirani mayoritas merontokkan pujian para juri.
Jika bertemu Nuoval, saya hanya ingin mengatakan: Banyak orang di luar sana yang mulai bisa melafalkan “Bolaang Mongondow (ditambah Raya)” berkat Novia. Hanya karena dia anak dari pelosok di sebuah daerah kecil –jauh dari Jakarta– yang mengandaskan langkahnya.
Tapi, dia tetaplah juara bagi mereka yang mengapresiasi bakatnya, tanpa memedulikan asalnya. Tetaplah melangkah menuju puncak sebagai diva, Novia.
(Ahmad Alheid)
*Penulis merupakan mantan jurnalis, saat ini menjabat Camat Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongongondow Timur.