Manado — Kuota rumah subsidi yang selama ini dijalankan dengan kredit untuk kepemilikan rumah melalui pola Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), mengalami masa kritis yang membuat pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan akhirnya menjadi resah.
Pasalnya, pemerintah yang awalnya mengeluarkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) atau yang kini memiliki gaji maksimal Rp 4 juta, menurunkan kuotanya.
Pada tahun 2018, terdapat 283.000 unit, sedangkan untuk tahun 2019 mengalami penurunan tinggal 168.000 unit.
Khusus untuk Sulawesi Utara (Sulut), Real Estate Indonesia (REI) Sulut telah menargetkan pembangunan rumah subsidi sebanyak 4.000 unit, sampai akhir Juli, rumah yang sedang dan sudah terbangun sebanyak 2.100 unit.
“Yang sudah terealisasi KPR ada 1.100 unit. Dengan kuota yang makin menipis dan Agustus ini ditakutkan habis, maka ada 1.000 unit sisa yang belum punya kepastian. Target REI Sulut untuk 4.000 unit pun pasti belum tentu tercapai di akhir tahun,” ujar Sonny Mandagi, Ketua REI Sulut kepada BeritaManado.com, Kamis (15/8/2019).
Situasi ini sudah membuat para pengembang khususnya yang bergerak disektor subsidi jelas mengalami kritis sehingga butuh penanganan yang cepat dan tepat.
Hal ini telah menjadi perbincangan atau tepatnya masalah nasional, sedangkan untuk Sulut sendiri jelas sangat berpengaruh, mengingat hampir 80 persen dari anggota REI Sulut merupakan pengembang sektor subsidi.
DPP REI sendiri telah mengajukan tambahan kuota sebanyak 140.000 unit untuk seluruh DPD REI se-Indonesia.
“Rumah subsidi sekarang adalah kebutuhan sehingga meski syaratnya banyak, tapi pasti diusahakan untuk dipenuhi,” tambah Sonny.
Pemerintah pun sebenarnya telah mengungkapkan sedikitnya 3 solusi yang bisa digunakan untuk menghadapi permasalahan ini, tapi pada kenyataannya, belum bisa dibilang sebagai solusi karena belum bisa memberi kepastian.
“Yang pertama, menarik kuota dari bank pelaksana yang tidak tersalurkan, setidaknya 5.000 unit. Tapi apakah pihak bank mau melepas itu dengan mudah? Kedua, mengajukan tambahan anggaran ke Kementerian Keuangan pada kisaran Rp 8,4-8,6 Triliun yang bisa memback -up kurang lebih 80.000 unit FLPP lewat APBN-P. Tapi kan nanti September atau Oktober. Kuotanya habis Agustus ini,” kata Sonny.
Hal tersebut justru makin menimbulkan keresahan karena dua poin diatas masih belum mampu menjawab kebutuhan yang sangat penting, sementara poin ketiga hampir dibilang mustahil untuk bisa direalisasikan segera.
“Solusi ketiga yang ditawarkan itu, pembiayaan alternatif BP2BT. Banyak kendalanya disini karena persyaratannya luar biasa berat, diantaranya adanya sertifikat layak fungsi (SLF) dari pemerintah daerah, sementara di Sulut belum ada pejabat pembuatnya. Di Indonesia saja mungkin bisa dihitung dengan jari. Jadi ini sama sekali belum bisa memberi kejelasan,” ungkap Sonny.
Dampak yang akan ditimbulkan pun jelas bukan hanya kepada pengembang, dalam hal ini REI, tapi juga kepada pihak lain, seperti masyarakat yang membutuhkan rumah subsidi yang kemudian sangat diresahkan dengan masalah ini
Para pengembang yang mengandalkan kredit konstruksi dalam pembangunan dipastikan mengalami kesulitan yang bisa membuat Non Performing Loan (NOL) perbankan naik.
“Satu lagi dampaknya, program sejuta rumah oleh Presiden Jokowi pun terancam tak capai target,” kata Sonny.
Itu sebabnya, REI menggaungkan ini dan akan menjadi topik panas pada rapat nasional REI se-Indonesia di Jakarta, Jumat (16/8/2019) besok.
“Ini masalah nasional dan kami, REI Sulut berharap, dapat menemukan titik terang besok,” tutup Sonny.
(srisurya)