Minut, BeritaManado.com – Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 12 Februari lalu, akhirnya berlaku sejak Rabu (14/3/2018) meski tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo.
Di tengah kontroversi pasal-pasal dalam revisi UU MD3, Wakil Ketua DPRD Minahasa Utara (Minut) Drs Denny Wowiling MSi berpendapat bahwa UU pengesahannya tidak memenangkan atau mengalahkan siapapun.
“Memang salah satu pasal berbunyi tentang langka hukum terhadap itu (orang yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR), tapi DPR tidak akan ‘membunuh’ orang-orang kritis. Kebebasan berpendapat, berekspresi, tidak dibunuh oleh UU MD3,” kata Wowiling, Rabu (14/3/2018).
Secara tegas, Ketua Golkar Minut ini berpendapat, UU MD3 bukan aturan yang sakral.
“MD3 itu bukan sesuatu yang sakral. Bukan tidak bisa disentuh, dan dikritisi. Masih ada ruang bagi kelompok yang menolak dan itu mekanisme yang diatur negara, lewat uji materi melalui gugatan MK (Mahkamah Konstitusi). Kalau dalam uji tersebut ada pasal-pasal yang akan dianulir, semua pihak harus legowo sesuai hukum dan tata negara kita di republik ini,” ujar Wowiling.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 73 ayat 2, rancangan undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari, terhitung sejak disetujui bersama (antara DPR dan pemerintah), tetap akan sah menjadi undang-undang dan wajib diundang-undangkan.
Dengan kata lain, UU ini mulai berlaku sejak hari ini meski Presiden Jokowi tak membubuhi tanda tangannya.
Berikut pasal-pasal kontroversial UU MD3:
Pasal 73:
Ayat (3): Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (4) b: Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.
Ayat (5): Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 122 huruf k:
Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;
Pasal 245:
Ayat (1): Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Ayat (2): Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
(Finda Muhtar)