Tak banyak orang yang saya kenal dekat, terutama dalam lingkungan kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang konsisten pada satu jalan. Dan diantara sekian banyak orang itu, saya kira Taufiq Pasiak adalah sosok yang selama puluhan tahun tetap menapaki jalan tersebut; Kecendekiawanan. Sebagai seorang yang bergaul dengan banyak senior Aktivis Mahasiswa, termasuk senior di HMI, sosok Taufiq Pasiak menurut saya istimewa. Saya mengatakan Istimewa, karena menurut saya, sosok Taufiq tidak hanya seorang aktivis, tetapi juga seorang ilmuwan yang mumpuni di bidang kedokteran. Selain itu, saya mengenal beliau sebagai sosok yang terlibat aktif dalam berbagai inisiasi lokal untuk Gerakan-gerakan keagamaan, toleransi dan perdamaian.
Tapi saya ingin berangkat dari sebuah cerita sederhana dari kampung saya, tempat dokter Taufiq pernah mengabdi sebagai dokter selama bertahun-tahun. Sekitar akhir tahun 90-an, Taufiq membuka praktek sebagai dokter umum di kampung. Meskipun jadwal praktek sudah ditulis di papan putih yang tergantung di depan bangunan tempat praktik, tidak sedikit warga masyarakat sekitar yang datang berobat maupun berkonsultasi di luar jam praktek; ada yang datang di hari libur bahkan meminta pertolongan di malam hari pada saat praktek dokter sudah tutup. Tapi meskipun demikian, beliau selalu melayani masyarakat yang datang sekedar konsultasi masalah Kesehatan atau bahkan meminta resep obat. Uniknya lagi, pasien yang datang berobat tidak semuanya membayar.
Beberapa masyarakat miskin yang datang berobat bahkan hanya memberikan hasil kebun, buah, ikan atau sayur sebagai pengganti biaya pengobatan. Bahkan ada beberapa pasien yang justru “dibayar” oleh dokter Taufiq karena keterbatasan ekonomi. Selama bertahun-tahun menjadi dokter, bisa dibilang Taufiq Pasiak tidak pernah mematok harga untuk biaya pengobatan pasien yang datang ke tempat praktiknya. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga pendidik, karena orang tua beliau adalah seroang guru, serta dididik dalam tubuh organisasi HMI, Taufiq memiliki komitmen sosial yang teguh dan dedikasi yang penuh.
Namun, perkenalan saya dengan Sosok dokter Taufiq terjadi bertahun-tahun lampau. Sewaktu ayahku masih hidup. Ayahku berkawan dengan dokter Taufik. Ketika saya sakit, ayah selalu membawaku ke rumah beliau untuk berobat sekaligus ngobrol-ngobrol. Sebagai seorang teman, ayah selalu mengobrol banyak hal dengan beliau. Saya terkesima waktu itu, karena mereka berbicara banyak hal yang saya belum pahami. Sewaktu saya bertanya pada ayah, “siapa dokter itu?”, ayah menjawab singkat, “Beliau Ilmuwan. Satu saat, nanti pasti kamu akan kenal dia”. Begitu kata ayah Saya. Setelah pamit pulang, ayah memberikan uang untuk membayar biaya pengobatan, tapi dokter Taufiq menolaknya sembari berkata “tidak usah. Nanti kalo belum sembuh juga, balik lagi”. Ayah mengucapkan salam, dan kami pulang. Dokter Taufiq mengantar kami sampai ke depan pintu gerbang rumahnya. Hal ini, saya masih melihatnya sampai sekarang. ketika ada tamu yang pulang, beliau selalu mengantar sampai ke depan gerbang, dan akan masuk Kembali ke rumah Ketika tamu tersebut sudah pergi.
Hingga bertahun-tahun kemudian, saat memasuki dunia kampus, saya mulai mengenal sosok beliau lewat buku-buku beliau yang terpajang di Perpustakaan Kami. Meskipun belum memiliki kedekatan secara personal, buku-buku beliau menarik minat saya, karena banyak mengulas perihal perilaku manusia, khususnya bidang ilmu otak. Beberapa kali, saya sempat menghadiri diskusi dan kajian yang dihadiri beliau sebagai pembicara. Beliau juga yang menginspirasi saya untuk mendalami ilmu agama dan sains sekaligus.
2010, ayahku meninggal, setelah lama mengidap penyakit paru-paru akibat kecanduan merokok selama berpuluh tahun. Keluarga kami tidak memiliki cukup banyak uang, ibu harus menjual banyak barang untuk mengobati ayahku. Ayahku meninggal pada usia 50 tahun. Dia kehilangan kendali atas hidupnya sendiri dan tahun terakhir hidupnya sungguh menyakitkan.
Ayahku meninggal di tahun-tahun terakhir aku harus menyelesaikan kuliah. Sekitar setahun atau 2 tahun berikutnya, aku mengunjungi Kembali dokter Taufiq, memperkenalkan diri sebagai anak dari salah seorang temannya. Dia mengingat dengan baik ayah saya. Saya diterima dengan hangat. Sejak saat itu, aku mendapatkan banyak waktu untuk berdiskusi dan memperoleh ilmu dari beliau, meskipun tidak intens.
2014, aku mulai sering berkunjung dan ngobrol dengan Dokter Taufiq. Dalam banyak waktu dan kesempatan, saya meluangkan waktu untuk bertanya berbagai tema-tema penting yang sedang tren di dunia sains. Dari buku-bukunya saya mendapat banyak pengetahuan tentang menulis, yang membawa saya menjadi kontributor di beberapa media nasional (dan tentu saja, merasakan honor sebagai penulis. Jika ayahku masih hidup, mungkin dia akan bangga). Pada tahun 2017, saya diajak dokter Taufiq melakukan perjalanan di beberapa kota selama 10 hari. Waktu itu, beliau diundang untuk menjadi pembiacara dalam Konferensi Psikiater di Jakarta, Solo dan Surabaya. Dalam perjalanan tersebut, saya melihat bagaimana seorang Taufiq Pasiak berbicara di hadapan ratusan ilmuwan lain dan mengundang pujian karena tema yang disampaikan adalah sesuatu yang dianggap sebuah terobosan. Dalam beberapa pertemuan, saya dikenalkan dengan beberapa ilmuwan besar Seperti Prof. Taruna Ikrar dan Prof. Hamdi Muluk. Beliau tidak segan mengenalkan saya sebagai “murid” beliau. Bahkan di lingkungan para ilmuwan, saya merasa diterima dengan hangat.
Selain sebagai seorang dokter, saya juga mengenal Taufiq sebagai aktivis yang sejak muda telah berkecimpung dalam berbagai organisasi sosial keagamaan. Selain HMI, Taufiq dikenal sebagai aktivis remaja masjid dan menjadi ketua BKPRMI Sulawesi Utara pada tahun 1998-2001, kemudian pernah memimpin Muhammadiyah kota Manado, menjadi salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Utara. Bahkan Taufiq dan tokoh lintas agama lainnya pernah terlibat dalam Badan Kerjasama Antarumat Beragama (BKSAUA), sebuah Gerakan lintas agama yang menjadi benteng kerukunan Sulawesi Utara selama puluhan Tahun. Beliau juga pernah Menjadi Ketua Dewan Pakar Dewan Masjid Sulut,
Selain sebagai Dokter yang mengabdi dan terlibat aktif dengan organisasi keagamaan, Taufiq bagi saya adalah intelektual mumpuni. Mungkin saya bisa menyebutnya Intelektual Par Excellence. Di lingkungan pergaulan saya dengan sesama kader HMI, sudah sedikit kader yang bisa disebut sebagai intelektual. Mungkin kita mengenal Nurcholish Madjid sebagai raksasa pemikir Islam yang pernah dimiliki HMI. Tapi setelah zaman Cak Nur, hampir sulit menemukan intelektual dan cendekiawan yang benar-benar memiliki kapasitas intelektual mumpuni.
Dengan latar belakang medis seorang dokter ahli anatomi, Taufiq mengembangkan neurosains selama 22 tahun yang kini menjadi salah satu bidang ilmu yang populer. Taufiq mengkhususkan diri dalam mempelajari cara-cara di mana otak memengaruhi perilaku manusia dan bagaimana fungsi sistem saraf. Penting untuk dicatat bahwa neurosains yang kini dikembangkan Taufiq mencakup sejumlah besar disiplin ilmu; perilaku pemasaran, politik, pengelola bisnis hingga institusi pemerintah.
Ilmu Neurosains yang dikembangkan Taufiq, telah digagas sejak puluhan tahun Silam. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Buku Neurosains yang berjudul “Otak Rasional, Otak Intuitif”. Buku ini merupakan terobosan baru dalam perkembangna ilmu neurosains, karena pada tahun 2000an ilmu neurosains hanya terbatas pada bidang anatomi yang hanya diakses oleh orang dengan latar belakang medis. Tetapi di tangan Taufiq, Neurosains dikembangkan sehingga menjadi suatu ilmu dalam memahami perilaku manusia dari segala aspek.
Taufiq melakukan banyak penelitian yang bertujuan untuk memahami prinsip-prinsip dasar struktur dan fungsi otak. Beliau juga menyelidiki beragam proses otak termasuk pengambilan keputusan, plastisitas, rasa sakit, penglihatan, ucapan, dan perhatian. Dia juga menyelidiki apa yang terjadi pada sistem saraf ketika orang memiliki gangguan neurologis, kejiwaan, dan perkembangan saraf. Proses Panjang tersebut kemudian dituangkan dalam satu karya utuh mengenai neurosains, “Revolusi IQ/EQ/SQ”, yang diterbitkan oleh Mizan pada 2002. Karya ini menjadi salah satu rujukan otoritatif yang ada pada saat itu.
Pada tahun-tahun awal 2000an, Taufiq mengisi pengajian pagi di RCTI selama 1 tahun penuh, bersama-sama dengan cendekiawan muslim lain; Prof. Quraish Shihab (Ahli Tafsir), Komaruddin Hidayat (Guru Besar FIlsafat Islam) hingga Komaruddin Hidayat (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Kemampuan mumpuni Taufiq di bidang Otak dan Perilaku manusia, membawa tafsiran terhadap ajaran Islam menjadi lebih berwawasan dan berbobot dengan sentuhan sains-ilmiah.
Basic-neurosains tersebut kemudian dikembangkan menjadi neurosains terapan antara 2005-2015. Pada periode ini, neurosains yang pada dasarnya merupkan bidang keilmuan klinis, diarahkan pada penerapan yang sifatnya non-klinis; ini mencakup perilaku manusia hingga proses pengambilan keputusan individu. ini pula yang mendorong Taufiq kemudian melakukan “Invasi” bidang keilmuan pendidikan dan kedokteran hingga mencapai gelar Master pada 2 universitas yang berbeda; UIN Alauddin Makasar untuk bidang pendidikan Islam dan Bidang Kedokteran dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Keterikatan Taufiq dengan Yogyakarta, bukan hanya karena pernah menempuh Pendidikan S2 dan S3 di kota tersebut dan tinggal bertahun-tahun disana. Taufiq sendiri merupakan keturunan dari Kyai Melangi, yang berasal dari Kampung Melangi di Yogyakarta. Dari garis keturunan ibunya, Taufiq memiliki darah Minang, Sumatera Barat.
Karir Intelektual Taufiq juga dikukuhkan dengan terbitnya Karya “Tuhan dalam Otak Manusia” yang diterbitkan tahun 2010 oleh Mizan, merupakan karya spesifik Applied Neuroscience khususnya ke bidang perilaku Spiritual. Perkembangan ilmu otak yang dikembangkan Taufiq mencapai puncaknya pada saat penerbitan buku “Otak dan Kota” pada tahun 2020. Kita bisa menyebut ini sebagai Development Neuroscience. Karya ini merupakan perluasan dari karya sebelumnya di bidang ilmu otak.
Karir intelektual dan aktivis Taufiq telah menempatkan beliau sebagai cendekiawan-aktivis, yang mampu memaukan keilmuan Islam dan sains kedokteran, sebuah capaian yang jarang ditemui. Sebagai seorang Ilmuwan, Taufiq bukan hanya menghabiskan waktu dalam laboratorium penelitian atau kampus, tetapi banyak melakukan aktivitas sosial dan kegiatan kemasyarakatan. Kemampuan Taufiq dalam beberapa bidang ilmu karena beliau dididik di Universitas sekuler di bidang ilmu kedokteran dan sekaligus belajar dari Universitas Islam dan mempelajari ilmu-ilmu keislaman.
Karir keilmuan dan kepakaran beliau juga yang telah mengantarkan Taufiq menduduki jabatan-jabatan publik birokrat. Setidaknya beliau pernah Menjabat Direktur CNET UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Wakil Kepala LPPP Unsrat, Sekretaris Medical Education Unit FK Unsrat, Wakil Ketua Komite Medik RSUP Prof. Kandou dan pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Anatomi-Histologi.
Taufiq juga memiliki pemahaman dan pengalaman politik yang akhirnya melibatkan dia menjadi Tenaga Ahli Gubernur Sulawesi Utara tahun, Tenaga Fraksi DPRD Provinsi Sulut, Panwaslu Kota Manado, Tim Seleksi Anggota KPUD Sulawesi Utara, Timsel Jabatan Sekretaris KPUD Sulawesi Utara, Panitia Seleksi Jabatan di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara. Selain itu, Taufiq juga sering menjadi pembicara dalam berbagai forum ilmiah nasional, baik di bidang Medis kedokteran, Sosial Keagamaan hingga memberikan pelatihan pada Lembaga negara Seperti Komisisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meskipun berkaris sampai ke pusat hingga hari ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta, Taufiq tidak pernah lupa dengan jati dirinya sebagai cendekiawan-aktivis. Di kampung halamannya di Manado, rumah tempat tinggal Taufiq “dihibahkan” untuk menjadi tempat perkaderan HMI. Semuan anak beliau yang kuliah, bahkan disuruh ikut perkaderan di HMI. Beliau menyediakan tempat khusus di rumahnya untuk digunakan sebagai lokasi pelatihan Kader, memberikan bantuan logistik hingga menanggung keperluan selama perkaderan. Bagi kader-kader yang datang dari luar kota Manado, sosok Taufiq sangat berkesan. Hal ini karena, Taufiq selalu mejadi “pertahanan terakhir” para kader HMI yang “kehilangan” arah dan mengharap bantuan dari para senior. Taufiq selalu menjadi tujuan terakhir para kader mengharapkan bantuan dana untuk Kembali ke tempat asal masing-masing.
Nah, ada satu hal atau kebiasaan yang menurut saya hanya ada pada sosok cendekiawan seperti Taufiq yang menurut saya sulit ditemukan pada orang lain. Sebagai seorang ilmuwan di bidang kedokteran, Taufiq sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai seminar nasional. Dalam 1 tahun, beliau bisa puluhan kali melakukan perjalanan luar kota. Bahkan beberapa kota dalam waktu kurang dari 1 minggu. Dalam setiap perjalanan ke luar kota, yang sudah dilakoni selama puluhan tahun, beliau selalu membawa putra atau putrinya sebagai pendamping perjalanan. Sewaktu saya bertanya, “apakah dokter pernah melakukan perjalanan tanpa membawa serta anak?”. Kata beliau, “selalu saya bawa anak saya. Gantian. Agar mereka belajar banyak dari perjalanan”. Bahkan untuk bertemu dengan tokoh nasional di Istana presiden, beliau membawa putra beliau masuk ke dalam. Hal ini mungkin sederhana, tapi bagi saya justru sangat berkesan. Di antara kesibukan sebagai ilmuwan, sosok Taufiq memberikan perhatian lebih bagi anak-anaknya, yang 3 diantaranya telah menempuh Pendidikan dokter dan sudah menjadi dokter.
Puluhan tahun saya mengenal Taufiq, saya melihat marwah kecendekiawan HMI pada diri Taufiq. Kapasitas intelektual yang memadai, kepedulian sosial yang tinggi serta komitmen terhadap HMI yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Di zaman Ketika kader-kader HMI banyak yang berkecimpung di dunia politik praktis, Taufiq bisa menjadi penyeimbang yang masih konsisten dengan kecendekiawanan HMI.
Oleh: Muhammad Iqbal Suma, S.HI., MH.
(Peneliti, penulis, penerjemah dan aktivis)