Manado, BeritaManado.com – Sebanyak 337 Keluarga atau kuranglebih sebanyak 208 rumah korban penggusuran di Kampung Bobo, sampai saat ini terus menunggu keadilan. Sebagian korban 99KK atau 90 rumah, akhirnya siap mendaftarkan gugatan hukumnya ke Pengadilan.
Kepala Bidang Litigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, Frank Kahiking mengatakan bahwa setelah berjuang bertahun-tahun pasca penggusuran jilid I Tahun 2004 dan jilid II Tahun 2015, akhirnya dengan susah payah warga kampung bobo berusaha mengumpulkan uang lewat penghasilan pas-pasan yakni berjualan di pasar, memulung dan nelayan.
“Mahalnya biaya gugatan di pengadilan Negeri Manado membuat mereka terpaksa harus menunggu dan bersabar hingga cukup uang untuk bisa mengakses pengadilan. Lebih dari 10 juta, uang pendaftaran gugatan yang harus mereka kumpulkan,” kata Frank Kahiking.
Didampingi LBH Manado sejak tahun 2015, lebih dari 100 keluarga mengajukan gugatan class action ke Pengadilan, namun hasilnya gugatan tidak diterima dengan alasan tidak ada dasar hukum penggunaan gugatan class action dalam kasus penggusuran. Tahun 2016 LBH Manado mewakili masyarakat ini masuk sebagai intervensi dalam gugatan sebagian korban lainnya, namun intervensi tidak diterima dengan alasan sudah melewati proses pembuktian tanpa mempertimbangkan substansi guatan. Karena itu pulalah warga hendak mengajukan gugatan baru, namun kemiskinan membuat mereka harus bertahan hidup menumpang di rumah-rumah warga, sebagian kos di rumah-rumah sederhana sambil bergotong royong menungumpulkan biaya gugatan. Sampai saat ini tidak ada bantuan dari pemerintah daerah, sekedar turun ke lapangan mendengar penderitaan masyarakatpun tidak ada.
Kampung Bobo dahulunya adalah rawa-rawa. Nama Bobo diambil dari pohon bobo yang banyak tumbuh di daerah ini, sejenis pohon Aren yang tumbuh di daerah-daerah rawa, daunnya bisa digunakan untuk atap rumah. Sejak tahun 1960-an beberapa warga mulai menimbun rawa dan tingal di kampung Bobo. Tahun 1980an warga yang datang membuka lahan menempati semakin ramai, rawa-rawa ditimbun dan menjelma menjadi Kampung Bobo dengan luas lahan kurang lebih 6 Ha (hektar).
Dijelaskan Kepala Operasional LBH Manado, Jekson Wenas, bahwa pada tahun 2002 warga kampung Bobo dikagetkan dengan Surat Somasi pertama dari HW. HW salah warga yang tinggal disekitar lahan yang mengklaim tanah tersebut miliknya dan meminta warga untuk keluar dari lahan. Pihak HW menganggap bahwa tanah tersebut adalah miliknya karena Orang Tuanya sejak jaman Belanda sudah menguasai objek sengketa dengan cara diperintahkan oleh rezim Belanda untuk menjaga tanah objek sengketa yang adalah kepunyaan Belanda saat itu. Sekitar tahun 2003 warga kembali menerima somasi kedua dari HW.
“Pada 05 Agustus 2004 sekitar pukul 10.00 pagi, terjadi pengusuran pertama di kampung bobo. Warga didatanggi oleh HW yang dikawal aparat Kepolisian Polres Manado dan Satpol PP Kota Manado. Ratusan aparat gabungan Sat Pol PP dan Polisi menduduki Kampung bobo. Sekitar pukul 10.30 dengan dikawal aparat bersenjata laras panjang, gas air mata, dan stik pemukul, alat berat mulai masuk ke halaman rumah warga. Pihak HW dan Aparat mengancam warga untuk mengosongkan tanah dan rumah,” jelas Jekson Wenas.
Lebih lanjut, dijelaskannya bahwa pada pukul 11.00 pihak HW dan aparat kepolisian dan Satpol PP tetap memaksa warga untuk meningalkan rumah. Aparat Kepolisian mulai mengerakkan personil yang lebih banyak untuk mengepung rumah warga. Kemudian salah satu pihak kepolisian memerintahkan anggotanya dan beberapa orang berbaju sipil, salah satunya menggunakan penutup muka, untuk menyerang rumah Warga. Mereka mendobrak pintu rumah dengan tendangan, linggis, dan palu. Seketika, pintu dan jendela rumah hancur. Tidak berhenti di situ. Mereka juga mengobrak-abrik halaman rumah dan merobohkan pepohonan, merusak pintu rumah, mencopot jendela, memutuskan aliran listrik. Mereka tidak mau berhenti, aktivitas merusak terus dilakukan sampai rumah warga rata dengan tanah.
“Akibat pengusuran tersebut 1 orang bayi berumur 9 bulan tertimbun reruntuhan rumah, 3 orang luka berat dan langsung dilarikan ke RS. Siti Mariam, 7 orang warga luka ringan, 3 orang ditangkap dan diamankan ke Polresta Manado selama 3 hari. Warga Kampung Bobo mengungsi dibeberapa sekolah, kantor Lurah dan tetangga mereka disekitar wilayah yang tergusur,” ungkapnya.
Sekitar 6 bulan kemudian warga Kampung Bobo hearing di DPRD Kota Manado dan mendapat rekomendasi sehingga warga bisa kembali tinggal di Kampung Bobo. Awal Tahun 2012, 8 orang di antara mereka dilaporkan oleh HW atas tuduhan penyerobotan lahan. Alhasil mereka ditetapkan tersangka dengan akhirnya diputus 4 bulan pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Manado.
Sepanjang tahun 2014 akhir sampai awal tahun 2015, HW terus mengirim Surat Somasi ke warga Kampung Bobo dan pada bulan Agustus 2015 terjadi pengusuran ke dua yang menggusur 3 lingkungan III, Kelurahan Karangria, Lingkungan III, Kelurahan Maasing dan Lingkungan IV, Kelurahan Maasing. Total korban terdiri dari 337 KK (208 rumah) sekitar seribu jiwa, korban mengalami luka-luka dan trauma psikologis akibat kekerasan yang dilakukan oleh personil Polresta Manado. Penggusuran ini dilakukan tanpa adanya Putusan Pengadilan.
“LBH Manado baru menerima pengaduan Kampung Bobo awal tahun 2014 lewat pengaduan beberapa orang warga. Namun pada saat itu sebagian besar warga sudah memiliki pengacara sehingga untuk menghormati rekan seprofesi LBH Manado tidak dapat mendampingi kasus ini. LBH Manado kembali menerima pengaduan warga kampung Bobo pada 1 November 2015. Saat itulalah LBH Manado mendampingi sebagaian besar korban,” kata Jekson Wenas.
Tindakan Pihak aparat kepolisian yang melakukan pembekingan terhadap upaya penggusuran oleh sipil tanpa ada perintah pegadilan jelas perbuatan sewenang-wenang, melanggar hukum dan hak asasi manusia. Jika HW merasa berhak atas tanah maka seharusnya ia menggugat warga kampung Bobo, tidak bisa menggusur paksa warga. Tanpa ada perintah pengadilan maka tidak ada dasar hukum bagi aparat kepolisian melakukan pembekingan penggusuran warga.
“Atas kejadian ini masyarakat kampung Bobo telah pula mengadu kepada KOMNAS HAM dan Ombudsman tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, pertama LBH Manado meminta KOMNAS HAM untuk melakukan penelitian terhadap kampung Bobo atas dugaan pelanggaran HAM di Kampung Bobo; kedua meminta Ombudsman menelusuri dugaan Maladministrasi dalam keterlibata aparat kepolisian terhadap peristiwa penggusuran kampung bobo; ketiga kami meminta Kementrian Sosial dan jajarannya, Pemerintah Daerah serta seluruh instansi terkait merespon dugaan pelanggaran HAM dalam kasus Penggusuran kampung Bobo, menyediakan temporary housing (rumah sementara) serta bantuan logistik (jadup/jatah hidup)warga korban penggusuran,” tutup Jekson Wenas.
(***/PaulMoningka)
Manado, BeritaManado.com – Sebanyak 337 Keluarga atau kuranglebih sebanyak 208 rumah korban penggusuran di Kampung Bobo, sampai saat ini terus menunggu keadilan. Sebagian korban 99KK atau 90 rumah, akhirnya siap mendaftarkan gugatan hukumnya ke Pengadilan.
Kepala Bidang Litigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, Frank Kahiking mengatakan bahwa setelah berjuang bertahun-tahun pasca penggusuran jilid I Tahun 2004 dan jilid II Tahun 2015, akhirnya dengan susah payah warga kampung bobo berusaha mengumpulkan uang lewat penghasilan pas-pasan yakni berjualan di pasar, memulung dan nelayan.
“Mahalnya biaya gugatan di pengadilan Negeri Manado membuat mereka terpaksa harus menunggu dan bersabar hingga cukup uang untuk bisa mengakses pengadilan. Lebih dari 10 juta, uang pendaftaran gugatan yang harus mereka kumpulkan,” kata Frank Kahiking.
Didampingi LBH Manado sejak tahun 2015, lebih dari 100 keluarga mengajukan gugatan class action ke Pengadilan, namun hasilnya gugatan tidak diterima dengan alasan tidak ada dasar hukum penggunaan gugatan class action dalam kasus penggusuran. Tahun 2016 LBH Manado mewakili masyarakat ini masuk sebagai intervensi dalam gugatan sebagian korban lainnya, namun intervensi tidak diterima dengan alasan sudah melewati proses pembuktian tanpa mempertimbangkan substansi guatan. Karena itu pulalah warga hendak mengajukan gugatan baru, namun kemiskinan membuat mereka harus bertahan hidup menumpang di rumah-rumah warga, sebagian kos di rumah-rumah sederhana sambil bergotong royong menungumpulkan biaya gugatan. Sampai saat ini tidak ada bantuan dari pemerintah daerah, sekedar turun ke lapangan mendengar penderitaan masyarakatpun tidak ada.
Kampung Bobo dahulunya adalah rawa-rawa. Nama Bobo diambil dari pohon bobo yang banyak tumbuh di daerah ini, sejenis pohon Aren yang tumbuh di daerah-daerah rawa, daunnya bisa digunakan untuk atap rumah. Sejak tahun 1960-an beberapa warga mulai menimbun rawa dan tingal di kampung Bobo. Tahun 1980an warga yang datang membuka lahan menempati semakin ramai, rawa-rawa ditimbun dan menjelma menjadi Kampung Bobo dengan luas lahan kurang lebih 6 Ha (hektar).
Dijelaskan Kepala Operasional LBH Manado, Jekson Wenas, bahwa pada tahun 2002 warga kampung Bobo dikagetkan dengan Surat Somasi pertama dari HW. HW salah warga yang tinggal disekitar lahan yang mengklaim tanah tersebut miliknya dan meminta warga untuk keluar dari lahan. Pihak HW menganggap bahwa tanah tersebut adalah miliknya karena Orang Tuanya sejak jaman Belanda sudah menguasai objek sengketa dengan cara diperintahkan oleh rezim Belanda untuk menjaga tanah objek sengketa yang adalah kepunyaan Belanda saat itu. Sekitar tahun 2003 warga kembali menerima somasi kedua dari HW.
“Pada 05 Agustus 2004 sekitar pukul 10.00 pagi, terjadi pengusuran pertama di kampung bobo. Warga didatanggi oleh HW yang dikawal aparat Kepolisian Polres Manado dan Satpol PP Kota Manado. Ratusan aparat gabungan Sat Pol PP dan Polisi menduduki Kampung bobo. Sekitar pukul 10.30 dengan dikawal aparat bersenjata laras panjang, gas air mata, dan stik pemukul, alat berat mulai masuk ke halaman rumah warga. Pihak HW dan Aparat mengancam warga untuk mengosongkan tanah dan rumah,” jelas Jekson Wenas.
Lebih lanjut, dijelaskannya bahwa pada pukul 11.00 pihak HW dan aparat kepolisian dan Satpol PP tetap memaksa warga untuk meningalkan rumah. Aparat Kepolisian mulai mengerakkan personil yang lebih banyak untuk mengepung rumah warga. Kemudian salah satu pihak kepolisian memerintahkan anggotanya dan beberapa orang berbaju sipil, salah satunya menggunakan penutup muka, untuk menyerang rumah Warga. Mereka mendobrak pintu rumah dengan tendangan, linggis, dan palu. Seketika, pintu dan jendela rumah hancur. Tidak berhenti di situ. Mereka juga mengobrak-abrik halaman rumah dan merobohkan pepohonan, merusak pintu rumah, mencopot jendela, memutuskan aliran listrik. Mereka tidak mau berhenti, aktivitas merusak terus dilakukan sampai rumah warga rata dengan tanah.
“Akibat pengusuran tersebut 1 orang bayi berumur 9 bulan tertimbun reruntuhan rumah, 3 orang luka berat dan langsung dilarikan ke RS. Siti Mariam, 7 orang warga luka ringan, 3 orang ditangkap dan diamankan ke Polresta Manado selama 3 hari. Warga Kampung Bobo mengungsi dibeberapa sekolah, kantor Lurah dan tetangga mereka disekitar wilayah yang tergusur,” ungkapnya.
Sekitar 6 bulan kemudian warga Kampung Bobo hearing di DPRD Kota Manado dan mendapat rekomendasi sehingga warga bisa kembali tinggal di Kampung Bobo. Awal Tahun 2012, 8 orang di antara mereka dilaporkan oleh HW atas tuduhan penyerobotan lahan. Alhasil mereka ditetapkan tersangka dengan akhirnya diputus 4 bulan pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Manado.
Sepanjang tahun 2014 akhir sampai awal tahun 2015, HW terus mengirim Surat Somasi ke warga Kampung Bobo dan pada bulan Agustus 2015 terjadi pengusuran ke dua yang menggusur 3 lingkungan III, Kelurahan Karangria, Lingkungan III, Kelurahan Maasing dan Lingkungan IV, Kelurahan Maasing. Total korban terdiri dari 337 KK (208 rumah) sekitar seribu jiwa, korban mengalami luka-luka dan trauma psikologis akibat kekerasan yang dilakukan oleh personil Polresta Manado. Penggusuran ini dilakukan tanpa adanya Putusan Pengadilan.
“LBH Manado baru menerima pengaduan Kampung Bobo awal tahun 2014 lewat pengaduan beberapa orang warga. Namun pada saat itu sebagian besar warga sudah memiliki pengacara sehingga untuk menghormati rekan seprofesi LBH Manado tidak dapat mendampingi kasus ini. LBH Manado kembali menerima pengaduan warga kampung Bobo pada 1 November 2015. Saat itulalah LBH Manado mendampingi sebagaian besar korban,” kata Jekson Wenas.
Tindakan Pihak aparat kepolisian yang melakukan pembekingan terhadap upaya penggusuran oleh sipil tanpa ada perintah pegadilan jelas perbuatan sewenang-wenang, melanggar hukum dan hak asasi manusia. Jika HW merasa berhak atas tanah maka seharusnya ia menggugat warga kampung Bobo, tidak bisa menggusur paksa warga. Tanpa ada perintah pengadilan maka tidak ada dasar hukum bagi aparat kepolisian melakukan pembekingan penggusuran warga.
“Atas kejadian ini masyarakat kampung Bobo telah pula mengadu kepada KOMNAS HAM dan Ombudsman tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, pertama LBH Manado meminta KOMNAS HAM untuk melakukan penelitian terhadap kampung Bobo atas dugaan pelanggaran HAM di Kampung Bobo; kedua meminta Ombudsman menelusuri dugaan Maladministrasi dalam keterlibata aparat kepolisian terhadap peristiwa penggusuran kampung bobo; ketiga kami meminta Kementrian Sosial dan jajarannya, Pemerintah Daerah serta seluruh instansi terkait merespon dugaan pelanggaran HAM dalam kasus Penggusuran kampung Bobo, menyediakan temporary housing (rumah sementara) serta bantuan logistik (jadup/jatah hidup)warga korban penggusuran,” tutup Jekson Wenas.
(***/PaulMoningka)