Pilar Demokrasi, Hasil Kerjasama Beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Dari sekian banyak undang-undang yang berlaku di Indonesia ternyata banyak yang bertentangan dengan konstitusi. Dari data Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sembilan tahun terakhir, MK telah mengabulkan 138 permohonan gugatan uji materi undang-undang. Jumlah itu hampir sepertiga dari seluruh permohonan uji materi yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satu yang bisa disebut adalah UU Migas, karena secara prinsip dinilai bertentangan dengan UUD 1945, maka keseluruhannya dibatalkan. Dari 138 UU yang gugatannya diterima MK, sebenarnya bukanlah dibatalkan secara utuh, tetapi hanya beberapa pasal yang bertentangan dengan konstitusi. UU Migas memang kasus khusus. Wacana legislasi yang tidak aspiratif, yang kemudian digugat publik, menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H. Diskusi kali ini mengundang tiga narasumber, masing-masing Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, Wakil Badan Legislasi DPR Anna Muawanah, dan peneliti senior Lembaga Pemantau Parlemen Formappi I Made Leo Wiratma
Anna bisa memahami adanya gugatan terhadap UU, karena ini bagian dari demokrasi. Anna mengakui, memang UU disahkan DPR, tapi disana ada peran pemerintah dalam penyusunannya, sehingga wajar kalau kemudian ada yang tidak sesuai. “Melahirkan UU butuh biaya besar, belum lagi sulitnya mencari kata sepakat dan mengakomodir semua kepentingan. Sehingga timbul kesan DPR tidak cepat membahas, dan terkesan tidak pro rakyat,” tambah Anna.
Sementara menurut Made, banyak UU yang akhirnya digugat karena memang tidak mewakili kepentingan rakyat, padahalkepentingan rakyat sudah dilindungi konstitusi. UU yang pro rakyat harus memenuhi tiga kategori: kesejahteraan,keamanan, dan keadilan. “Kalau rakyatnya sudah dijamin kesejahteraannya maka tak akan banyak protes. Maka bikinlah UU yang mempertimbangkan tiga kriteria tersebut,” ujar Made.
Anna menjelaskan, dalam menyusun RUU, anggota DPR tidak harus selalu dibelakang meja, bila ada reses akan turun lapangan, kemudian memanggil akademisi, kalangan LSM, dan praktisi, untuk minta masukan. “Ketika DPR sedangmembahas RUU, kemudian ada yang merasa terancam, bisa saja diadakan uji materi. Anggota DPR justru senang bila ada kritikan dari publik, kami sangat butuh masukan,” imbuh Anna.
Made memberi catatan khusus terhadap anggota DPR, yang umumnya tidak mau menemui pengunjuk rasa, jika ada demonstrasi di depan gedung parlemen. Padahal, menurut Made, suara rakyat itu harus didengar, kemudian malah polisiyang dihadapkan pada pengunjuk rasa. Karenanya Made memberi apresiasi pada figur Jokowi, yang mau menemui pengunjuk rasa. “Eksekutif juga tidak mau menemui pengunjuk rasa. Tapi untuk sekarang ada harapan dengan gayaJokowi,” tandas Made.
Sodiki memberi catatan, semua produk UU semestinya ada dasar filosofisnya, bahwa semua UU itu harus menguntungkan semua pihak. Seperti UU yang mengatur modal asing, tujuan akhirnya adalah pemodal untung, dan di sisi lain rakyatnya juga harus untung. Sodiki mengakui banyak UU mengundang konflik kepentingan, seperti soalkepentingan partai besar dan gurem, yang oleh MK kemudian dibatalkan. “Kalau terjadi konflik kepentingan, maka filosofinya UU harus memihak mereka yang kurang diuntungkan. Karena kalau memihak yang kuat, maka jurang ketimpangan akan semakin besar,” tegas Sodiki. (*)
Pilar Demokrasi, Hasil Kerjasama Beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Dari sekian banyak undang-undang yang berlaku di Indonesia ternyata banyak yang bertentangan dengan konstitusi. Dari data Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sembilan tahun terakhir, MK telah mengabulkan 138 permohonan gugatan uji materi undang-undang. Jumlah itu hampir sepertiga dari seluruh permohonan uji materi yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satu yang bisa disebut adalah UU Migas, karena secara prinsip dinilai bertentangan dengan UUD 1945, maka keseluruhannya dibatalkan. Dari 138 UU yang gugatannya diterima MK, sebenarnya bukanlah dibatalkan secara utuh, tetapi hanya beberapa pasal yang bertentangan dengan konstitusi. UU Migas memang kasus khusus. Wacana legislasi yang tidak aspiratif, yang kemudian digugat publik, menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H. Diskusi kali ini mengundang tiga narasumber, masing-masing Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, Wakil Badan Legislasi DPR Anna Muawanah, dan peneliti senior Lembaga Pemantau Parlemen Formappi I Made Leo Wiratma
Anna bisa memahami adanya gugatan terhadap UU, karena ini bagian dari demokrasi. Anna mengakui, memang UU disahkan DPR, tapi disana ada peran pemerintah dalam penyusunannya, sehingga wajar kalau kemudian ada yang tidak sesuai. “Melahirkan UU butuh biaya besar, belum lagi sulitnya mencari kata sepakat dan mengakomodir semua kepentingan. Sehingga timbul kesan DPR tidak cepat membahas, dan terkesan tidak pro rakyat,” tambah Anna.
Sementara menurut Made, banyak UU yang akhirnya digugat karena memang tidak mewakili kepentingan rakyat, padahalkepentingan rakyat sudah dilindungi konstitusi. UU yang pro rakyat harus memenuhi tiga kategori: kesejahteraan,keamanan, dan keadilan. “Kalau rakyatnya sudah dijamin kesejahteraannya maka tak akan banyak protes. Maka bikinlah UU yang mempertimbangkan tiga kriteria tersebut,” ujar Made.
Anna menjelaskan, dalam menyusun RUU, anggota DPR tidak harus selalu dibelakang meja, bila ada reses akan turun lapangan, kemudian memanggil akademisi, kalangan LSM, dan praktisi, untuk minta masukan. “Ketika DPR sedangmembahas RUU, kemudian ada yang merasa terancam, bisa saja diadakan uji materi. Anggota DPR justru senang bila ada kritikan dari publik, kami sangat butuh masukan,” imbuh Anna.
Made memberi catatan khusus terhadap anggota DPR, yang umumnya tidak mau menemui pengunjuk rasa, jika ada demonstrasi di depan gedung parlemen. Padahal, menurut Made, suara rakyat itu harus didengar, kemudian malah polisiyang dihadapkan pada pengunjuk rasa. Karenanya Made memberi apresiasi pada figur Jokowi, yang mau menemui pengunjuk rasa. “Eksekutif juga tidak mau menemui pengunjuk rasa. Tapi untuk sekarang ada harapan dengan gayaJokowi,” tandas Made.
Sodiki memberi catatan, semua produk UU semestinya ada dasar filosofisnya, bahwa semua UU itu harus menguntungkan semua pihak. Seperti UU yang mengatur modal asing, tujuan akhirnya adalah pemodal untung, dan di sisi lain rakyatnya juga harus untung. Sodiki mengakui banyak UU mengundang konflik kepentingan, seperti soalkepentingan partai besar dan gurem, yang oleh MK kemudian dibatalkan. “Kalau terjadi konflik kepentingan, maka filosofinya UU harus memihak mereka yang kurang diuntungkan. Karena kalau memihak yang kuat, maka jurang ketimpangan akan semakin besar,” tegas Sodiki. (*)