
Jakarta, BeritaManado.com – Pemilih Kritis ternyata masih memilih PDI Perjuangan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti.
Hal ini sesuai Survei Saiful Mujani Research and Consulting, bertajuk ”Tren Elektabilitas Partai Politik di Kelompok Pemilih Kritis”.
Dalam presentasinya, Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, melalui kanal YouTube SMRC TV, Selasa 25 April 2023 menyebut, PDI Perjuangan masih unggul, diikuti Partai Gerindra, dan Partai Golkar.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan masih kokoh di puncak keterpilihan dengan elektabilitas mencapai 16,1 persen.
Sementara Partai Gerindra mengikuti dengan elektabilitas 11,7 persen, serta Partai Golkar dengan 8,7 persen.
Setelahnya ada PKB 6,1 persen, Demokrat 5,1 persen, Nasdem 4,9 persen, dan PKS 4,4 persen, sedangkan partai-partai lain di bawah 4 persen.
“Masih ada 31,2 persen warga belum menentukan pilihan,” ungkap Deni Irvani.
Walau demikian menurutnya, jika dibedah lebih jauh maka dalam kurun tiga tahun terakhir (April 2020-April 2023), dukungan pemilih kritis pada PDIP menurun dari 23,1 persen menjadi 16,1 persen.
Sementara pada Golkar cenderung menguat dari 5,1 persen menjadi 8,7 persen pada periode yang sama.
Partai-partai lain tidak banyak mengalami perubahan signifikan (perubahan di bawah 3 persen).
Cerminan politik kekinian pun dengan demikian masih mencerminkan tingkat keterpilihan pada Pemilu 2019.
“Proporsi dukungan pada partai tidak banyak berubah dibanding hasil Pemilu 2019,” katanya.
Dalam survei ini, menurut Deni, partai-partai politik masih punya peluang untuk meningkatkan suara karena masih ada 31,2 persen pemilih kritis yang belum menentukan pilihan.
Deni menggarisbawahi bahwa pemilih kritis adalah kelompok pemilih yang penting.
Menurutnya, pemilih kritis pada umumnya tidak mudah goyah dan dipengaruhi, sebaliknya malah potensial memengaruhi kelompok pemilih lain.
Pemilih yang memiliki telepon/cellphone merupakan indikasi kelompok pemilih kritis.
Sebab cenderung punya kesempatan lebih besar mendapat informasi sosial-politik, dibanding yang tidak punya telepon/cellphone sehingga disebut kritis dalam menilai berbagai persoalan.
“Jumlah pemilih kritis sekitar 80 persen dari total populasi pemilih, dan cenderung berada di lapisan lebih atas,” jelas Deni.
(***/jenly)