Jakarta – Mengawal penghitungan suara Pilpres kemungkinan kecurangan dapat diantisipasi dengan mendorong peran pengawasan masyarakat dalam mengawal suara, salah satunya Kawal Pilpres 2019 – yang mengajak pemilih melaporkan hasil penghitungan dengan memfoto Formulir C1 Plano Pilpres di TPS pada 17 April 2019.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampouw, menyebutkan sejumlah indikator beberapa daerah rawan terjadinya kecurangan Pemilu serentak 2019.
Pertama, faktor geografis, yakni daerah-daerah yang secara geografis sulit dijangkau dari akses publik, transportasi, media informasi, dan komunikasi.
Kedua, faktor historis, yakni daerah-daerah yang sejak dulu dan hampir setiap Pemilu kerap bermasalah, seperti Papua,
Madura, Nias, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan lainnya.
Ketiga, faktor penguasa, yakni daerah-daerah yang secara ekonomi miskin dan masyarakatnya belum begitu terdidik sehingga mudah dimobilisasi dan rawan praktik politik uang.
Keempat, faktor penyelenggara, yakni daerah-daerah di mana dalam Pemilu sebelumnya, penyelenggara sering melakukan manipulasi suara namun tidak pernah dihukum dan mereka masih menjadi penyelenggara hingga saat ini.
“Ada banyak modus kecurangan suara di Pemilu Pemilu sebelumnya, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada,” ujar Jeirry Sumampow melalui rilis kepada BeritaManado.com, Senin (15/4/2019) malam.
Modus kecurangan Pemilu, diurai Jeirry antara lain, jumlah suara yang dihitung tidak sesuai dengan jumlah yang ada di Formulir C-1, penambahan suara dengan
mengganti angka hasil rekapitulasi, penambahan suara pada pasangan calon tertentu dengan memanfaatkan kolom suara yang tidak terpakai.
“Kolom perolehan suara pasangan calon dalam Formulir C-1 tidak diisi, kolom-kolom dalam Formulir C-1 tidak diberi tanda silang (X) sehingga berpotensi diisi dengan angka baru untuk pasangan calon tertentu. Pemilih mencoblos lebih dari satu kali, pemilih yang tidak memenuhi syarat diberi kesempatan memilih, dan masih banyak lagi,” jelas Jeirry.
Jerry menambahkan, bahwa ada sembilan tantangan di Pemilu serentak 2019, diantaranya pelaksanaan yang berbarengan menjadikan beban penyelenggaraan menjadi double. Pergantian penyelenggara Pemilu.
Selanjutnya, peran media sosial semakin massif berpengaruh terhadap opini dan wacana Pemilu. Politik SARA yang makin menjadi trend digunakan untuk memenangkan Pemilu. Relasi penyelenggara, khususnya KPU dan Bawaslu/Panwas. Tensi persaingan paslon yang sangat tinggi;
Lainnya, politik uang yang makin tak terkendali dan makin terang-terangan. Rakyat yang makin apatis dan pragmatis, serta kurangnya surat suara di TPS.
Jeirry menawarkan empat solusi yang dapat dipertimbangkan untuk meminimalir tantangan-tantangan tersebut, yakni mendorong peran pengawasan masyarakat dalam mengawal suara rakyat. Banyak modus
kecurangan (terutama kecurangan suara) ditemukan oleh masyarakat.
Transparansi proses rekapitulasi sangat menolong peran masyarakat mengawal proses rekapitulasi. Posisi dan peran Bawaslu/Panwas sangat penting untuk memperbaiki kecurangan akibat kesalahan atau manipulasi. Peran media massa sangat penting untuk mengungkap ke publik kecurangan yang terjadi.
“Khusus poin pengawasan masyarakat, saya mengapresiasi upaya sejumlah elemen masyarakat dalam melakukan pengawasan independen, salah satunya Kawal Pilpres 2019 yang bertujuan mengawal hasil penghitungan suara khusus Pilpres di TPS pada 17 April 2019,” tulis Jeirry.
Menurut Jerry, Kawal Pilpres 2019 mengusung prinsip Netral, Berintegritas, Terbuka. Kawal Pilpres 2019 adalah aplikasi mikro dalam aplikasi PeSankita Indonesia – platform, aplikasi dengan sistem keamanan tingkat tinggi, yang tercipta sejak 2015.
“Aaplikasi PeSankita merupakan produk Indonesia yang dapat diunduh secara gratis di Playstore untuk Android dan Appstore untuk iOS. Hingga saat ini terus dilakukan perekrutan Relawan Kawal Pilpres 2019 melalui dukungan sekitar 27 lembaga/komunitas, pembukaan booth di Car Free Day Jakarta, dan referensi dari pribadi ke pribadi,” pungkas Jeirry.
(***/JerryPalohoon)