Yang Ku-kehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan (Matius 12:7b)
Gereja Birokrasi tidak terlepaskan dari gereja sebagai institusi.
Menurut KBBI birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.
Sementara itu, Wikipedia membagi kata Birokrasi dari dua kata Inggris, bureau dan cracy yang memiliki rantai komando seperti Piramida dimana lebih banyak orang di tingkat bawah daripada di tingkat atas.
Sedangkan gereja disini dimaksudkan sebagai institusi organisasi. Secara sederhana Gereja Birokrasi berarti gereja yang dianalogikan sebagai sistem pemerintahan yang menjalan administrasi organisasi yang hierarkis.
Fenomena Gereja Birokrasi pada masa kini sering terlihat didalam bentuk gereja yang berbentuk sinode (tidak menutup kemungkinan terdapat juga dalam bentuk gereja yang lain).
Dalam pemerintahannya hierarki menjadi salah satu alasan kenapa gereja ini disebut gereja birokrasi.
Saya tidak akan membahas kompleksitas hierarki ini didalam struktur organisasinya atau bahkan mengkritisi UU/tata gerejanya.
Namun fokus saya sebenarnya pada fenomena sehari-hari (praktis) yang dijumpai di jemaat.
Saya melihat tugas dan tanggungjawab (pelayanan) seorang pendeta seperti seorang birokrat (apalagi pendeta yang menjadi ketua jemaat).
Pendeta ketua jemaat berbeda dengan pendeta yang tidak memiliki jabatan organisasi, sehingga dikenal dengan “pendeta pelayanan”.
Seperti seorang birokrat dimaksudkan karena pendeta/pelayan khusus seringkali fokus pada kerja-kerja program organisasi.
Saya tidak anti organisasi dan malah mengapresiasi kerja program organisasi lainnya yang bersifat diakonia.
Tapi itu hanya kulit luarnya saja dan tidak masuk lebih dalam pada persoalan-persoalan spiritual maupun sosial jemaat.
Gereja sibuk mengurusi dapur organisasinya, berapa besar khas yang tersisa? Apakah sentralisasi berjalan sesuai target atau tidak, apakah ada jemaat yang berpindah gereja/denominasi? Apa masalahnya? Jangan sampai ada jemaat yang keluar lagi dan seterusnya.
Gereja mementingkan institusinya sendiri dan lupa gereja sebagai personal-personal (orang-orangnya), terus melakukan pembangunan material dan lupa pembangunan spiritualnya.
Ukuran keberhasilan pelayan dilihat dari seberapa pintar ia berkhotbah di mimbar, seberapa kuat ia menanamkan doktrin-doktrin gereja, namun lupa pada tugas pastoralnya. Gereja tidak mengenal domba-dombanya. Gereja hanya mengenal domba-domba yang menguntungkan organisasinya.
Lalu apa sesungguhnya Gereja itu?
Gereja sebagai organisasi memang tidak begitu buruk namun sebagai fakta sosial, ia memang rentan terhadap kepentingan-kepentingan politis maupun ekonomis.
Gereja sebagai organisasi yang merepresentasikan Yesus di dunia masih sangat relevan sampai hari ini.
Oleh karena itu “gereja” harus terus berbenah dan meninggalkan sifat-sifat hierarkis.
Karena sifat-sifat ini seringkali terjebak pada institusi dan otoritas yang berlebihan.
Gereja dari atas telah banyak ditinggalkan, yang dibutuhkan sekarang adalah gereja dari bawah, yang peka terhadap isu-isu sosial dan ekologis, yang tertindas, yang tidak diperhitungkan, miskin, anak-anak, lanjut usia, duda, janda, anak yatim dan disabilitas.
Matius 12:7b ini sangat menekankan pada cahaya kasih Gereja yang nyata, terutama orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan.
Lebih dari semuanya Yesus hanya ingin agar Gereja sejatinya menjadi pelopor yang memiliki hati peka dan belas kasih yang tinggi terhadap persoalan jemaat maupun masyarakat.
Jangan sampai orientasi Gereja terjebak pada hal-hal semerional yang justru hanya memperindah “organisasi” dan lupa gereja sebagai “orang-orang”.
Mengejar kemapanan duniawi sehingga lupa gereja sebagai “yang tidak kelihatan”.
Gereja yang melampaui organisai, tidak lagi mementingkan jabatan, kemapanan dan “laba” yang tinggi, melainkan melayani dengan tulus dalam solidaritas dan kesetaraan yang tinggi.
Penulis: Halomoan Londok