Manado, BeritaManado.com – Sulawesi Utara merupakan peringkat 2 tingkat nasional provinsi paling rawan isu netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) tertinggi untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Peringkat pertama diduduki Provinsi Maluku Utara.
Keterlibatan aparatur sipil negara pada proses pemenangan calon tertentu akan menjadi salah satu penyakit akut pada pemilu nanti.
Padahal ASN memiliki asas netralitas yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 5/2014 tentang ASN.
Dalam aturan tersebut termaktub bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Hal itu dikatakan Dosen Kepemiluan FISIPOL Unsrat Ferry Daud Liando ketika menjadi narasumber pada Kegiatan Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024: Isu Strategis Netralitas ASN yang digelar Bawaslu RI, Kamis (21/9/2023).
Pada agenda yang turut dihadir anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty, Ferry Liando menjelaskan penyebab utama ASN terlibat dalam pemenangan calon tertentu didasari oleh kepentingan karier dalam jabatan struktural pemerintahan.
“Bagi ASN non job, keterlibatan dalam pemenangan calon bermotif untuk mendapatkan jabatan struktural dalam pemerintahan. Bagi ASN yang sedang memiliki jabatan bermaksud agar dipromosi dalam jabatan yang lebih tinggi dan atau agar jabatannya dipertahankan,” ujar Ferry Liando.
Lanjut Ferry, terdapat beberapa modus keberpihakan ASN pada pemenangan calon tertentu yakni:
- Penempatan lokasi program/proyek pada wilayah pemilihan calon yang didukung
- Distribusi bantuan sosial pada lokasi-lokasi tertentu yang menurut hasil survey, tingkat elektabilitas calon yang didukung masih rendah
- Pemberian fasiltitas proyek kepada tim sukses
- Pemberian jatah tenaga honorer bagi kerabat-kerabat tim sukses
- Pengadaan dan memasang sendiri baliho calon
- Menawarkan diri menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan ormas atau keagamaan
- Membantu menyediakan konsumsi dan uang transport untuk tim sukses/tim pemenangan
- Merebut jabatan-jabatan keagamaan agar mudah memobilisasi anggota
- Menyediakan bunga-bunga ucapan pada perkawinan atau peristiwa kematian atas nama calon
Ferry Liando kuatir, jika ketidaknetralan ASN tidak dicegah maka beberapa konsekuensi yang bisa terjadi yakni intervensi bahkan intimidasi ASN yang memiliki power berpotensi.
Pertama, dapat menghilangkan kedaulatan rakyat. Padahal esensi utama pemilu adalah jaminan atas kedaulatan rakat.
“Intervensi akan mengurangi kebebasan warga negara untuk memilih,” ujarnya.
Kedua, pengangkatan pejabat berpotensi tidak professional karena dasar pengangkatan tidak lagi memperhatikan kompetensi tetapi karena kompensasi atau balas jasa dalam memberikan dukungan.
“Ketika pejabat pemerintahan yang diangkat atas hasil kompensasi, pemilu berpotensi korupsi karena berusaha mengembalikan uang yang digunakannya ketika mendukung calon tertentu,” jelasnya lagi.
Keempat, berpotensi akan terjadi diskriminasi pelayanan publik, dimana masyarakat yang tidak mendukung calon yang didukung pejabat saat pemilu atau pilkada berpotensi akan mendapat perlakukan diskriminasi dalam pelayanan atau fasilitas pemerintah.
Untuk menghindari potensi konflik tersebut, Ferry Liando memberikan beberapa cara untuk mencegah para ASN yang tidak netral yakni:
Pertama, perlu sanksi bagi pejabat yang tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu yang menyatakan bahwa ASN tersebut terbukti tidak netral.
“Selama ini banyak kepala daerah yang tidak menindaklanjuti ASN yang dinyatakan oleh Bawaslu tidak netral. Rekomendasi Bawaslu harusnya dijadikan syarat kenaikan pangkat atau syarat promise jabatan,” kata Liabdo.
Kedua, jika terdapat rekomendasi dari Bawaslu atas adanya ketidaknetralan harusnya ASN tidak bisa dinaikan pangkat atau dipromosi pada jabatan yang lebih tinggi.
Ketiga, perlu revisi terhadap UU pemilu tahun 2017 terutama terkait dengan kewenagan DKPP yang hanya menyasar penyelenggara Pemilu.
“Harusnya DKPP diberikan kewenagan terhadap dugaan etika penyelenggaraan pemilu. Artinya subjek kode etik bukan hanya penyelenggara akan tetapi bisa menyasar ke caleg, ASN atau aparat desa yang terbukti melanggar norma uu tentang netralitas. Dalam UU Pemilu juga hanya membatasi subjek politik uang. Hanya dibatasi pada pelaksana, tim kampanye dan tim kampanye. Padahal pelakunya banyak dari ASN,” pungkas Liando.
(***/Finda Muhtar)