Manado, BeritaManado.com — Dosen Kepemiluan Unsrat Manado, Ferry Liando,
memaklumi jika amarah sebagian elit politik diarakan ke Presiden Jokowi.
Apalagi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan pejabat terpilih lewat pemilu dan pilkada menjadi syarat dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.
Menurut Ferry Liando, kemarahan itu diduga karena mereka menuduh presiden mengintervensi putusan MK dan adanya potensi terjadi politik dinasti.
Terlebih, kata Ferry, putusan itu membuka jalan anaknya Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres.
“Ini memerlukan objektifitas bagi semua warga negara dalam menyikapi. Jika Jokowi ternyata benar mendukung anaknya menjadi cawapres, harusnya pihak-pihak yang menentang sikap itu tidak harus bereaksi berlebihan apalagi memprovokasi pendukung masing-masing,” kata Ferry Liando, Selasa (17/10/2023).
Dikatakan, bisa saja pihak yang menolak sikap politik Jokowi bukan karena memiliki sikap politik yang paling benar, tapi khawatir tidak kebagian jabatan dalam kekuasaan.
Karena, lanjut Ferry, praktik politik dinasti sudah dilakukan oleh semua presiden yang pernah berkuasa di Indonesia.
Tapi reaksinya tidak sedahsyat saat ini.
Ia menjelaskan, politik dinasti berbeda dengan dinasti politik.
Politik dinasti adalah tindakan para penguasa memberikan jabatan pemerintahan pada keluarganya.
“Pak Soeharto pernah mengangkat anaknya menjadi menteri diakhir kekuasaannya. Gus Dur juga pernah mengangkat putrinya sebagai orang penting di seputar istana. Ibu Mega pernah menunjuk suaminya menjadi Ketua MPR. Pak SBY calonkan anaknya di DPR dan sempat memegang jabatan strategis di DPR.
Presiden pertama RI Soekarno tidak terlacak apakah pernah mempraktikan politik dinasti saat berkuasa,” jelasnya.
Ferry menuturkan, kalaupun tidak pernah, itu terjadi karena dua kemungkinan.
Pertama, kata dia, saat sedang berkuasa anak-anaknya belum cukup umur mengelola pemerintahan.
Kedua, kemungkinan kerabat Soekarno tidak tertarik dengan kekuasaan, karena kekuasaan pada waktu itu benar-benar khusus di dedikasikan untuk perjuangan kemerdekaan dan konsolidasi persatuan bangsa.
Ferry menambahkan, kondisi berbeda dengan kepentingan kekuasaan setelah itu, terutama ketika memasuki reformasi yang motif berkuasanya untuk kenikmatan belaka.
Alhasil kerabat di sekitar presiden berusaha ikut juga berkuasa agar menikmati fasilitas kekuasaan.
“Di berbagai daerah, praktik-praktik memperpanjang kekuasaan melalui kerabat sangat marak terjadi,” tandasnya.
(Alfrits Semen)