Manado, BeritaManado.com — Kebijakan Otonomi Daerah (Otda) bermaksud mendorong aktor-aktor di daerah agar mampu dan mandiri mengelola wilayahnya.
Begitu penjelasan Ferry Daud Liando ketika memberikan materi pada Rakor Perangkat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang dilaksnakan Biro Pemerintahan dan Otda Provinsi Sulut, di Manado, Selasa (31/5/2022).
Menurut Dosen Ilmu Politik Fisip Unsrat ini, tak hanya kewenangan pemerintah pusat yang sebagian besar didelegasikan ke daerah, akan tetapi kebijakan Otda telah menempatkan posisi masyarakat yang awalnya sebagai objek berubah menjadi subjek pembangunan.
Ferry mengatakan, visi besar dari kebijakan ini adalah memperbaiki pelayanan publik agar menjadi lebih mudah, berkualitas dan adil.
Namun, kata dia, sejak diberlakukan pada 21 tahun lalu, hambatan dalam impelementasinya tidaklah mudah.
Visi besar yang harusnya sudah bisa dinikmati, tidak dirasakan publik.
“Baik undang-undang maupun pedoman teknis belum linier sebagai panduan mencapai tujuan. Aturan tidak diciptakan sebagai instrumen memandu pencapaian tujuan, tetapi kebanyakan dirancang untuk dimanfaatkan oleh kekuatan tertentu baik politik atau ekonomi,” terang Ferry.
Menurutnya, kebijakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, sesungguhnya merupakan salah satu instrumen agar cita-cita Otda dipenuhi.
Idealnya, lanjut Ferry, pemimpin adalah figur yang mengenal persis daerahnya dan dipilih oleh rakyat secara langsung.
Hal itu agar keeratan emosional antara rakyat dan pemimpinnya dapat dibangun.
“Oleh karena itu pilkada yang awalnya dilakukan DPRD namun berubah mekanisme pemilihannya secara langsung oleh masyarakat,” terangnya.
Namun demikian, apakah pilkada sebagai salah satu sarana pencapaian cita-cita Otda telah terwujud?
Kata Ferry, tingginya angka korupsi, buruknya kualitas pelayanan publik dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam menjadi indikator bahwa cita-cita itu masih mengawang-awang.
Dikatakan, kebijakan Otda baru dinikmati oleh segelintir politisi dan oknum pengusaha.
Proses kaderisasi politik yang buruk oleh partai politik menjadi surga bagi pemilik modal.
“Mereka berusaha memodali biaya pencalonan mulai dari beli tiket parpol (candidate buying) ataupun kampanye calon (vote buying) dengan kompensasi penguasaan SDA di suatu daerah jika terpilih,” bebernya.
Menjelang pillkada, sebagian calon kepala daerah mengobral perizinan usaha kepada pengusaha agar mendapat biaya tambahan kampanye.
Beberapa memang terciduk KPK, namun sebagian lolos karena permainannya licin dan licik.
“Itulah sebabnya ketika musim hujan besar tiba, banyak penduduk tewas terseret banjir dan longsor akibat rusaknya lingkungan sekitar,” ujarnya.
Ferry menuturkan, kepala daerah yang terpilih dengan proses instan akan berefek buruk pada kualitas pelayanan publik sebagaimana cita-cita Otda.
Sebagian pejabat yang diangkat diwajibkan harus dengan uang setoran.
Semakin ‘basah’ jabatan, maka setoran makin tinggi.
“Bisa saja tidak harus dengan setoran tetapi pejabat yang hendak dipromosi harus punya jasa saat kampanye pilkada,” urainya.
Ferry menerangkan, meski aparaturnya profesional, punya pengalaman pemerintahan, kepangkatan dan sistim meritnya jelas, namun jika tidak punya kontribusi saat kampanye maka jangan berharap mendapatkan sesuatu.
“Ada juga pejabat titipan dari oknum DPRD sebagai kompensasi atas persetujuan perda yang disinyalir sebagai perda pesanan,” tutur Ferry.
Ia menjelaskan, model rekrutmen semacam ini menjadi benalu bagi proses pelayanan publik.
Pejabat tidak berlagak sebagai pelayan, namun selalu mencari untung dalam setiap kesempatan.
Mulai dari mark up dan mark down anggaran, laporan fiktif, manipulasi bansos maupun memperbanyak kegiatan lapangan untuk fasilitas SPPD.
“Pejabat yang diangkat karena uang setoran dan atau karena jasanya saat kampanye tentu bukanlah provider profesional,” terangnya.
Ferry menambahkan, mitra sejajar Pemda yakni DPRD, sebagian besar masih menunjukkan keadaan serupa.
Para anggotanya belum banyak dihuni oleh wakil rakyat mumpuni.
“Ada yang terpilih karena mengandalkan kekuatan uang juga karena pengaruh hubungan kekerabatan dengan penguasa di daerah,” tandasnya.
Rakor ini dibuka oleh Drs Denny Mewengkang selaku Staf Ahli Gubernur mewakili Sekdaprov Sulut.
Sementara pembicara lainnya adalah anggota DPRD Sulut Fabian Kaloh, dan dihadiri sejumlah pejabat pemprov.
(Alfrits Semen)