Manado — Salah satu hambatan kemajuan berdemokrasi di Indonesia adalah karena partai politik belum menjalankan fungsi utamanya yakni pendidikan politik dan pembentukan kepemimpinan kepada kadernya.
Hal ini diungkap Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara, Ferry Daud Liando, dalam web seminar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Manado, Kamis (29/7/2021).
Pembicara lain dalam kegiatan ini adalah Masykurudin Hafidz dari Bawaslu RI; Dr Radian Syam, ahli hukum tata negara; dan Dr Taufiq Pasiak.
Pemandu acaranya adalah Taufik Bilfaqih, anggota Bawaslu Manado.
Sedangkan pesertanya adalah pengurus partai politik se-Kota Manado.
“Peran partai politik yang belum maksimal itu menyebabkan calon yang diusung dalam pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah sering diragukan kapasitasnya,” tambah Ferry.
Menurut Ferry, semua partai politik seharusnya memiliki visi besar bahwa memilih calon anggota legislatif adalah dalam rangka kontribusi mereka menjaga dan membenahi negara.
Tetapi, kata Ferry, kelemahan dan ancaman terbesar terhadap negara ini adalah tidak cakapnya penyelengara dalam mengelola negara ini.
Sebagian dari mereka, ujar Ferry, hanya memanfaatkan kuasa dan daya yang mereka miliki untuk memperkaya diri.
Hal ini, kata Ferry, tentu menjadi tanggung jawab partai politik, karena dari mereka lah sesungguhnya pemimpin politik itu berasal.
Penyakit menyimpang dari partai politik selama ini, kata Ferry, adalah mereka lebih banyak mengusung calon yang memiliki kerabat dengan elite serta calon yang hanya mampu sebatas aspek finansial, namun terkendala dari aspek kepemimpinan.
Mereka yang memiliki kapasitas, tambah Ferry, sering diabaikan atau hanya sekadar pelengkap.
Instrumen pemilihan umum demokratis, kata Ferry, sangat di tentukan pula oleh penyelenggaranya.
Selain partai politik, kata Ferry, kendala lainnya adalah berkaitan dengan kesadaran pemilih.
Meski undang-undang belum menjadi alat penuntun ideal dan kaderisasi partai politik belum sepenuhnya terarah serta profesional, ujar Ferry, sesungguhnya masih ada satu harapan terakhir, yakni pemilih.
Namun tantangannya, kata Ferry, sebagian pemilih masih menganggap demokrasi sebagai pesta bukan lagi pesta demokrasi.
“Pesta selalu diidentikkan dengan pemberian bingkisan dan hura-hura, sehinga pemilu dan Pilkada, tidak sempurna manakalah tidak ada cara-cara seperti itu,” ujar Ferry.
Jika mengharapkan pemilih sebagai benteng terakhir demokrasi, kata Ferry, maka lima bulan sebelum ke tempat pemungutan suara bukanlah sesuatu yang terlambat.
Fungsi pendidikan politik yang harusnya menjadi tugas utama partai politik, ujar Ferry, telah gagal sehingga harus diambil alih oleh kelompok masyarkat independen.
“Perlu kampanye reguler untuk melatih nalar poltik masyarakat. Harus ada cara-cara sedikit memaksa agar pemilih keluar dari zona irasional,” katanya tegas.
Pemilih, kata Ferry, harus tahu bahwa dari mereka lah negara ini akan menjadi lebih baik.
Dari mereka pula, ujar Ferry, sehingga tidak akan ada lagi anggota DPR yang hanya memikirkan diri mereka sendiri.
“Tidak ada lagi anggota DPR yang selalu bolak-balik keluar daerah atau keluar negeri dengan alasan studi banding tanpa melahirkan output kebijakan.”
Juga, kata Ferry, tidak ada lagi anggota DPR yang berurusan dengan penegak hukum karena korupsi atau amoral. Dan, tidak ada lagi yang hanya sekadar mengisi daftar hadir lalu menghilang.
(rds)