Jakarta, BeritaManado.com — Senator DR. Maya Rumantir yang tergabung dalam Komite III DPD RI memberikan perhatian khusus mengenai kebujakan Jaring Pengaman Sosial melalui Rapat Kerja secara virtual bersama Menteri Sosial Juliari Peter Batubara MBA beberapa waktu lalu.
Pada Raker tersebut fokus perhatian yaitu pada pengawasan pelaksanaan kebijakan tersebut dalam penanganan COVID-19, dimana Maya Rumantir turut membawa aspirasi masyarakat bahwa sampai pada 10 Mei 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Sulawesi Tara mengumumkan telah mencapai 71 kasus terskonfirmasi positif.
“Saya mendapatkan banyak masukan, termasuk soal bantuan pemerintah yang terindikasi belum tepat sasaran. Ada beberapa paket bantuan untuk membantu masyarakat baik sumber dananya dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten Kota. Penyaluran bantuan harus diperhatikan dengan baik agar bisa tepat sasaran,” kata Maya Rumantir, Kamis (21/5/2020).
Di sisi lain, pendataan dan pengawasan juga perlu dilakukan sehingga bantuan dapat diprioritaskan bagi mereka yang paling terdampak dan benar-benar perlu untuk mendapatkan bantuan.
Khusus terkait kebijakan Jaring Pengaman Sosial, ada beberapa hal yang perlu dikritisi seperti Program Keluarga Harapan (PKH), pelatihan Program Pra Kerja dan Progam Listrik Gratis.
“Merujuk pada Rancangan Pembangunan Nasional atau RPJMN 2019-2024, Kemensos
memang sudah menaikkan anggaran untuk komponen ibu hamil dan anak usia dini dari Rp. 2,5
juta menjadi Rp. 3 juta yang juga disesuaikan dengan peningkatan. Bukan hanya soal kenaikan
nilai komponen, jumlah penerima manfaat juga sudah dinaikkan menjadi 10 juta sesuai dengan
Perpres Nomor 61 Tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020. Melihat hal ini
tentu menjadi pertanyaan masyarakat dan kita semua, dimana sisi urgensi dari PKH untuk
dimasukkan dalam salah satu poin Jaringan Pengaman Sosial,” ucap Senator yang merupakan
pendiri Institut Pengembangan SDM Maya Gita.
Dia juga menyoroti program pelatihan pra kerja, karena baginya program tersebut sudah baik
kebijakannya, akan tetapi pelatihan daring atau online di masa Pandemi COVID-19 ini sepertinya sulit untuk diukur fisibilitasnya, mengingat Indonesia merupakan nengara kepulauan yang bahkan belum semua bisa tercover dengan jaringan internet.
“Belum bisa dijamin juga bahwa warga masyarakat memiliki fasiltias smartphone atau laptop. Kondisi ini menjadi sebuah dilemma, sebab hasil riset dari London Business School mencatat, akses internet yang terbatas akan membuat kelas bawah semakin rentan ditengah Pandemi COVID-19. Terkait program gratis listrik, ini juga masih belum menjawab kebutuhan jika melihat realitas kehidupan masyarakat saat ini,” ujarnya.
Dicontohlannya, di Sulut ada pegnemudi ojek online yang merpakan pelanggan listrik 1.300 VA sementara dalam kondisi seperti saat ini penghasilannya menurun drastis.
Demikian juga jika ada pedagang yang menggunakan listrik 1.300 VA untuk aktivitas usaha kecilnya yang harus tutup sementara, sementara kebijakan subsidi hanya diperuntukkan bagi pengguna maksimal 900 VA.
“Pada prinsipnya, saya mendukung semua kebijakan pemerintah pusat selama itu benar-benar medatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Akan tetapi, baginya hal itu perlu untuk terus dilakukan evaluasi demi efektivitas dan pemerintah harus bersedia menerima berbai masukan sehingga pada akhirnya paket kebijakan akan bisa diimplementasikan dengan baik dan benar–benar tepat sasaran,” harapnya.
(Frangki Wullur)