Manado – Pelopor Angkatan Muda Indonesia (PAMI) mengatakan melarang peredaran captikus, mengejar dan menghukum para penjual captikus merupakan penyerangan keji terhadap budaya dan kekayaan intelektual masyarakat Sulut.
“Melukai dan mencederai nurani para pengrajin captikus. Karena itu perda ini lebih pantas dicabut”, ujar Ketua Umum PAMI, Noldy Pratasis kepada beritamanado.
Dilanjutkannya, peraturan daerah (Perda) ini sebetulnya baik. Perda ini bukan untuk melarang tetapi melindungi dan mengendalikan peredaran minuman keras seluruhnya. Hanya saja,pemerintah daerah lalai mengaturnya selanjutnya melalui Peraturan Bupati tentang bagaimana seharusnya pengendalian dan perlindungan itu dilakukan.
“langkah polisi sebagai tindakan yang tidak adil dan diskriminatif. Operasi minuman keras hanya menertibkan para penjual captikus di desa, dan membiarkan kekacauan demi kekacauan yang terjadi di kota. Bahkan mempersalahkan para penjual captikus sebagai penyebab kekacauan,” tuturnya.
“Dalam riset cepat yang kami lakukan di sejumlah desa kami mendapatkan cerita ini. Para penjual captikus sangat kecewa karena polisi hanya mengejar penjual dan mengabaikan para pemabuk yang mengacau di kota. Kami jual captikus kepada manusia bukan kepada binatang. Karena manusia yang beli, maka dia harus tahu batas-batas kemampuan dirinya mengkonsumsi captikus Jika dia rakus dan minum berlebih sehingga mabuk lalu mengacau, harusnya polisi mengurus orang mabuk itu,” sambungnya.
Harusnya Perda ini mengatur dan menertibkan perilaku orang mabuk ini. Jangan-jangan polisi juga mabuk,anggota DPRD juga mabuk sehingga sengaja tidak mengatur hal ini dalam Perda ini.saya minta perda untuk orang mabuk harus segera dipituskan,jangan korbankan budaya dan kekayaan alam kita dengan slogan “stop bagate”sama halnya memusnahkan kekayaan alam dan budaya orang sulut tetapi “stop mabuk “itu lebih mencerdaskan dan menyadarkan. (Risat)
Manado – Pelopor Angkatan Muda Indonesia (PAMI) mengatakan melarang peredaran captikus, mengejar dan menghukum para penjual captikus merupakan penyerangan keji terhadap budaya dan kekayaan intelektual masyarakat Sulut.
“Melukai dan mencederai nurani para pengrajin captikus. Karena itu perda ini lebih pantas dicabut”, ujar Ketua Umum PAMI, Noldy Pratasis kepada beritamanado.
Dilanjutkannya, peraturan daerah (Perda) ini sebetulnya baik. Perda ini bukan untuk melarang tetapi melindungi dan mengendalikan peredaran minuman keras seluruhnya. Hanya saja,pemerintah daerah lalai mengaturnya selanjutnya melalui Peraturan Bupati tentang bagaimana seharusnya pengendalian dan perlindungan itu dilakukan.
“langkah polisi sebagai tindakan yang tidak adil dan diskriminatif. Operasi minuman keras hanya menertibkan para penjual captikus di desa, dan membiarkan kekacauan demi kekacauan yang terjadi di kota. Bahkan mempersalahkan para penjual captikus sebagai penyebab kekacauan,” tuturnya.
“Dalam riset cepat yang kami lakukan di sejumlah desa kami mendapatkan cerita ini. Para penjual captikus sangat kecewa karena polisi hanya mengejar penjual dan mengabaikan para pemabuk yang mengacau di kota. Kami jual captikus kepada manusia bukan kepada binatang. Karena manusia yang beli, maka dia harus tahu batas-batas kemampuan dirinya mengkonsumsi captikus Jika dia rakus dan minum berlebih sehingga mabuk lalu mengacau, harusnya polisi mengurus orang mabuk itu,” sambungnya.
Harusnya Perda ini mengatur dan menertibkan perilaku orang mabuk ini. Jangan-jangan polisi juga mabuk,anggota DPRD juga mabuk sehingga sengaja tidak mengatur hal ini dalam Perda ini.saya minta perda untuk orang mabuk harus segera dipituskan,jangan korbankan budaya dan kekayaan alam kita dengan slogan “stop bagate”sama halnya memusnahkan kekayaan alam dan budaya orang sulut tetapi “stop mabuk “itu lebih mencerdaskan dan menyadarkan. (Risat)