Dalam konteks penegakan hukum di Tanah Air, khususnya dalam hal pengawasan hakim, kita boleh berharap pada Komisi Yudisial, sehubungan dengan terbitnya UU No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. UU itu merupakan revisi dari UU 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Berdasar UU No 18 Tahun 2011 ini, Komisi Yudisial (KY) memperoleh tambahan kewenangan dan penguatan, sebagai lembaga pengawas hakim. Ini tampak dalam sejumlah pasal, Pasal 22 A misalnya, menyebutkan KY bisa memanggil saksi yang tak hanya panitera, namun juga jaksa, polisi dan terdakwa. Bahkan hakim yang berstatus saksi bisa juga dipanggil paksa.
Hal lain yang dimuat UU ini adalah adanya kewenangan KY untuk minta bantuan penyadapan terhadap hakim yang diindikasikan melakukan pelanggaran kode etik. Namun ada kekhawatiran UU initelah memberi kewenangan terlalu jauh pada KY. Soal tambahan wewenang bagi KY inilah, yang menjadi tema program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini merupakan kerja sama dengan Komisi Yudisial, dengan mengundang narasumber Dr. Jaja Ahmad Jayus (Komisioner Komisi Yudisial, Ketua Bidang SDM, Penelitian dan Pengembangan).
Menurut Jaja Ahmad Jayus, yang penting dicatat dari UU hasil revisi tersebut, adalah soal kewenangan KY dalam menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim. Termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan, memanggil saksi, dalam rangka menjaga,menegakkan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Kalau kita lihat UU sekarang,kewenangan menjatuhkan sanksi tetap pada Mahkamah Agung (MA). Sementara KY sebagai lembaga pengawas, memeriksa apakah hakim yang melakukan pelanggaran kode etik, betul atau tidak melakukan pelanggaran. Apabila terbukti, maka KY mengusulkan kepada MA, kemudian MA memberikan sanksinya kepada hakim yang bersangkutan.
Terkait wewenang penyadapan Jaja Ahmad melanjutkan, hal itu dilakukan apabila ada hakim diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. TentunyaKY akan melakukan kordinasi dengan lembaga yang bisa melakukan penyadapan, semisal KPK,kepolisian, atau kejaksaan, tergantung perbuatan yang dilakukan hakim bersangkutan. Jika menyangkut suap, gratifikasi, maka bisa meminta bantuan KPK. Apabila murni menyangkut perilaku, bisa minta bantuan polisi untuk melakukan penyadapan.
Kemudian soal kewenangan pemanggilan paksa, menurut Jaja Ahmad, itu juga berlaku untuk kepentingan pemeriksaan dalam rangka, apakah hakim yang dilaporkan melakukan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kode etik dan perilaku hakim. Kemudian saksi itu merupakan saksi yang betul-betul mengetahui, maka kita bisa minta bantuan untuk dipanggil paksa. Kemudian pada UU yang baru ini, ditandaskan juga kalau ada orang perorangan, sekelompok orang atau badan hukum yang dengan maksud tertentu merendahkan martabat, kehormatan hakim, maka KY berkewajiban untuk melaporkan pihak yang bersangkutan kepada pihak yang berwenang.
Jaja juga memberi catatan khusus, bahwa menurut UU yang baru ini, KY memiliki kewajiban mendorong peningkatan kapasitas hakim dan mendorong tingkat kesejahteraan hakim. KY berkepentingan, karena kualitas kesejahteraan memiliki korelasi terhadap kapasitas hakim.“Katakanlah bila ada kewajiban hakim untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, maka ada keharusan dia untuk membeli literatur, nah untuk membeli literatur tentunya memerlukan dana,” tambah Jaja. (*/is)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Dalam konteks penegakan hukum di Tanah Air, khususnya dalam hal pengawasan hakim, kita boleh berharap pada Komisi Yudisial, sehubungan dengan terbitnya UU No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. UU itu merupakan revisi dari UU 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Berdasar UU No 18 Tahun 2011 ini, Komisi Yudisial (KY) memperoleh tambahan kewenangan dan penguatan, sebagai lembaga pengawas hakim. Ini tampak dalam sejumlah pasal, Pasal 22 A misalnya, menyebutkan KY bisa memanggil saksi yang tak hanya panitera, namun juga jaksa, polisi dan terdakwa. Bahkan hakim yang berstatus saksi bisa juga dipanggil paksa.
Hal lain yang dimuat UU ini adalah adanya kewenangan KY untuk minta bantuan penyadapan terhadap hakim yang diindikasikan melakukan pelanggaran kode etik. Namun ada kekhawatiran UU initelah memberi kewenangan terlalu jauh pada KY. Soal tambahan wewenang bagi KY inilah, yang menjadi tema program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini merupakan kerja sama dengan Komisi Yudisial, dengan mengundang narasumber Dr. Jaja Ahmad Jayus (Komisioner Komisi Yudisial, Ketua Bidang SDM, Penelitian dan Pengembangan).
Menurut Jaja Ahmad Jayus, yang penting dicatat dari UU hasil revisi tersebut, adalah soal kewenangan KY dalam menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim. Termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan, memanggil saksi, dalam rangka menjaga,menegakkan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Kalau kita lihat UU sekarang,kewenangan menjatuhkan sanksi tetap pada Mahkamah Agung (MA). Sementara KY sebagai lembaga pengawas, memeriksa apakah hakim yang melakukan pelanggaran kode etik, betul atau tidak melakukan pelanggaran. Apabila terbukti, maka KY mengusulkan kepada MA, kemudian MA memberikan sanksinya kepada hakim yang bersangkutan.
Terkait wewenang penyadapan Jaja Ahmad melanjutkan, hal itu dilakukan apabila ada hakim diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. TentunyaKY akan melakukan kordinasi dengan lembaga yang bisa melakukan penyadapan, semisal KPK,kepolisian, atau kejaksaan, tergantung perbuatan yang dilakukan hakim bersangkutan. Jika menyangkut suap, gratifikasi, maka bisa meminta bantuan KPK. Apabila murni menyangkut perilaku, bisa minta bantuan polisi untuk melakukan penyadapan.
Kemudian soal kewenangan pemanggilan paksa, menurut Jaja Ahmad, itu juga berlaku untuk kepentingan pemeriksaan dalam rangka, apakah hakim yang dilaporkan melakukan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kode etik dan perilaku hakim. Kemudian saksi itu merupakan saksi yang betul-betul mengetahui, maka kita bisa minta bantuan untuk dipanggil paksa. Kemudian pada UU yang baru ini, ditandaskan juga kalau ada orang perorangan, sekelompok orang atau badan hukum yang dengan maksud tertentu merendahkan martabat, kehormatan hakim, maka KY berkewajiban untuk melaporkan pihak yang bersangkutan kepada pihak yang berwenang.
Jaja juga memberi catatan khusus, bahwa menurut UU yang baru ini, KY memiliki kewajiban mendorong peningkatan kapasitas hakim dan mendorong tingkat kesejahteraan hakim. KY berkepentingan, karena kualitas kesejahteraan memiliki korelasi terhadap kapasitas hakim.“Katakanlah bila ada kewajiban hakim untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, maka ada keharusan dia untuk membeli literatur, nah untuk membeli literatur tentunya memerlukan dana,” tambah Jaja. (*/is)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”