Manado, BeritaManado.com — Pemilu di Sulawesi Utara (Sulut) 14 Februari 2024 secara umum terpantau aman dan lancar.
Warga di 15 kabupaten/kota begitu antusias datang ke TPS dan memberikan pilihannya untuk pemimpin bangsa dan wakil rakyat di parlemen.
Hingga kini, proses rekapitulasi perhitungan suara berjenjang masih dilakukan pelaksana pemilu.
Meski demikian, berbagai hasil hitung cepat sudah dipublikasi di berbagai media.
Walau bukan hasil resmi, hitung cepat dianggap sejumlah kalangan sudah merepresentasikan hasil akhir dan biasanya tidak akan jauh berbeda dengan versi KPU.
Di Sulut, Pilpres untuk sementara dimenangkan mutlak pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Hasil itu juga terpantau dalam real count KPU melalui website https://pemilu2024.kpu.go.id/pilpres/hitung-suara.
Sesuai data terkini, Prabowo-Gibran tak terbendung dengan perolehan 74,55 persen.
Ganjar Pranowo dan Mahfud MD mengikuti dengan 17,72 persen dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 7,73 persen.
Hingga Senin (19/3/2024) Pukul 17.05 WITA, data yang dirangkum website KPU RI itu mencapai 85,57 persen.
Hasil ini tentu menarik disimak.
Sebab, Sulut yang notabene dikuasai PDIP malah gagal memberikan kemenangan bagi capres dan cawapres yang diusungnya.
Bahkan jika dibandingkan dengan hasil pilpres dalam lingkup nasional, kemenangan kompetitor PDIP di bumi nyiur melambai paling tertinggi di banding provinsi lain.
Meski di pilpres banteng keok di kandang sendiri, namun tidak untuk pemilihan legislatif (Pileg).
PDIP masih menjadi raja di semua lini.
Bahkan hasil kekinian, ‘si merah’ hampir dipastikan menguasai semua parlemen Sulut.
Di level DPR-RI, PDIP perkasa dengan perolehan 33,28 persen.
Hasil ini juga merata untuk Pileg di level DPRD Sulut.
Real count KPU juga mencatat PDIP berjaya di enam dapil.
Lantas, apa yang membuat perolehan suara Pileg PDIP tidak linear dengan hasil Pilpres?
Menurut Dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi Manado, Ferry Daud Liando, partai politik (parpol) kini bukan lagi alat pendulang suara.
Ferry menjelaskan, parpol hanya berfungsi sebagai institusi bagi yang mencalonkan.
Selama ini, kata Ferry, dukungan publik pada seseorang sangat dipengaruhi oleh figur atau latar belakang kandidat.
Ferry menilai, kemenangan Prabowo-Gibran sangat dipengaruhi sosok Jokowi.
Apalagi, ujar Ferry, sebelum pencoblosan, tingkat kepuasan publik atas kinerja Jokowi di atas 75 persen.
Dikatakan, selain figur Jokowi, banyak sosok lain yang namanya sangat terkenal dan dikagumi.
Dan itu berada di lingkaran pendukung Prabowo.
Kata Ferry, para figur besar itu ada yang berjuang sebatas pada media sosial, adapula membentuk tim relawan yang kelembagaannya menyebar ke berbagai komunitas
“Bahkan sejumlah artis dengan follower besar ikut mendukung Prabowo,” tegas Ferry.
Selain itu, lanjut dia, sejumlah politisi seperti Ridwan Kamil (tokoh Sunda), Maruarar Sirait (tokoh Kristen) dan Budiman Sudjatmiko dari unsur aktifis turut memberikan andil kemenangan Prabowo-Gibran.
Kondisi ini, jelas Ferry, membuat perolehan suara Prabowo dan Gerindra menjadi anomali.
Dan di Sulut, suara PDIP cukup tinggi meski capresnya kalah.
Menurut Ferry, penyebabnya adalah caleg-caleg yang dicalonkan PDIP adalah figur besar dan memiliki ikatan komunitas menyebar.
Ia mencontohkan Yasti Mokoagow yang dapat merepresentasikan Muslim dan Etnik Bolaang Mongondow.
Berikut, Vanda Sarundajang dari KGPM dan melekat nama besar Sinyo Harry Sarundajang.
Selanjutnya, Wenny Lumentut mewakili Katolik, dan Rio Dondokambey dari milenial dan gen z.
“Rio juga merupakan anak gubernur, yang juga ketua PDIP Sulut dan pak James Sumendap praktis didukung Panji Yosua GMIM,” jelas Ferry.
Di sisi lain, Ferry menilai belum menonjolnya perolehan suara Gerindra di Sulut bisa jadi karena line up dalam komposisi caleg belum memiliki nama besar seperti PDIP.
Ferry pun menyarankan, ke depan perlu dilakukan semacam konvensi di internal parpol untuk menentukan capres yang diusung.
Konvensi adalah mekanisme penentuan bakal calon presiden oleh parpol.
Ferry menerangkan, hasil konvensi dapat menjadi dasar bagi parpol.
Menurut Ferry, perihal keputusan penetapan bakal capres yang menjadi hak preogratif Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, bisa saja merupakan pemicu kekalahan Ganjar Pranowo.
Sebab, tegas Ferry, bukan tidak mungkin di internal elit-elit besar PDIP, ada yang tidak menghendaki Ganjar menjadi capres.
Ia menambahkan, tidak adanya konvensi di internal PDIP dengan melibatkan anggota, kader dan simpatisan, dapat membuat pemilih akar rumput berbeda pilihan.
“Bisa juga karena ada faktor ketersinggungan sebagian kader atau elit PDIP tentang sosok pak Mahfud MD yang dipilih cawapres, karena bukan kader PDIP,” tandasnya.
(Alfrits Semen)