BITUNG—Sejumlah program ditelorkan pemerintah untuk mengajak masyarakat agar ikut berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Bahkan boleh dikatakan, hampir setiap tahun ada saja program baru yang dicanangkan demi kelestarian lingkunga, namun sayang program-program tersebut kerapa kali hanya seremonial semata.
Padahal jika ditengok, tujuan program-program tersebut sangat positif dan tentu akan sangat bermanfaat untuk mencegah kerusakan lingkungan kita. Namun sayangnya, tidak tepat sasaran karena tidak melibatkan masyarakat secara menyeluruh. Akibatanya, pembabatan hutan hingga perburaun satwa yang jelas-jelas dilindungi undang-undang tetap saja terjadi hingga saat ini.
Salah satu contoh kasus adalah keberadaan hutan dan satwa di wilayah Kota Bitung, dalam hal ini wilayah Cagar Alam Tangkoko yang boleh dikatakan masih terancam. Entah itu perambahan hutan, maupun perburuan terhadap satwa khas Sulawesi yang ada di hutan tersebut.
“Cagar Alam Tangkoko adalah rumah bagi satwa Sulawesi yang merupakan salah satu yang paling unik di Indonesia, terutama di antara binatang menyusui, tujuh satwa endemik spesies macaca yang bertempat tinggal di pulau ini termasuk monyet hitam Sulawesi atau macaca nigra yang hidup di bagian Utara Sulawesi,” kata Koordinator Pendidikan Konservasi Tangkoko, Victor Wodi dan Mathilde Chanvin.
Menurut Wodi dan Chanvin, mereka terpanggil untuk memberikan pemahaman dan menanamkan kecintaan terhadap masyarakat, dalam hal ini siswa sekolah lewat pendidikan konservasi. Dimana menurut keduanya, pendidikan konservasi Tangkoko bertujuan untuk memperkenalkan kepada masyarakat di desa?desa sekitar kawasan cagar Alam Tangkoko?Duasudara?Batuangus terutama remaja dan anak?anak untuk melindungi satwa dan tumbuhan khas melalui kegiatan pendidikan dan berbagai alat informasi.
“Salah satu spesies endemik di hutan, yaitu Monyet hitam Sulawesi atau macaca nigra, menurut data dari IUCN terdaftar sebagai spesies yang teracam kritis hampir punah. Untuk spesies ini dan banyak lagi, dalam keseimbangan ekologi di Tangkoko membutuhkan kelangsungan hidup mereka yakni perlindungan satwa dan tumbuhan sangat di butuhkan,” kata Wodi.
Untuk itu menurut Wodi, pihaknya melakukan kolaborasi dengan masyarakat dan organisasi konservasi, melalui pendidikan untuk SD, SMP, dan SMK. Dalam hal masalah lingkungan dan konservasi yang sudah di laksanakan sejak Januari sampai dengan Juni 2011 dan akan di kembangkan ke desa?desa sekitar kawasan cagar alam atau Desa Batu Putih Bawah dan Atas, serta Pinangunian Kota Bitung dari November 2011 sampai Juni 2012.
“Kami juga melibatkan sejumlah organisasi yang selama ini fokus soal konservasi untuk ikut memberikan pendidikan kepada masyarakat dan sisaw sekolah,” katanya.
Sementara itu, Chanvin yang merupakan warga negara Perancis menyebutkan sejumlah organisasi yang terlibat dalam program pendidikan konservasi Tangkoko ini. “Ada Pacific Institute Manado, Sulawesi yang organisasisinya sealam ini melakukan pendidikan konservasi dengan program melestarikan spesies asli Sulawesi Utara dan habitat alaminya dan Macaca Nigra Project, Cagar Alam Tangkoko, Batu Putih, Sulawesi yang tak lain adalah pusat penelitian yang mempelajari tentang biologi monyet hitam Sulawesi serta Organisasi “Regards d’Ailleurs”, Compiegne, Perancis yakni organisasi yang melakukan pendidikan lingkungan di Perancis dan Indonesia,” jelas Chanvin.(en)