BITUNG — Yuke Kamalaheng (37) bersama putrinya Vebriyanti Malitoi (17), berhenti sejenak sambil menepi dan menyeka keringat, setelah menuntaskan jalan setapak mendaki. Beberapa menit lalu, ibu dan anak ini baru turun dari perahu yang membawa mereka dari dermaga Ruko Pateten ke dermaga Binuang dengan tujuan kembali ke rumah mereka di Motto yang jaraknya masih sekitar 4 kilometer.
“Dalam beberapa minggu ini dua unit perahu yang selama ini melayani angkutan penumpang dari Motto ke Ruko Patetan tidak beroperasi, jadi kami harus naik perahu arah Binuang dan selanjutnya berjalan kaki atau naik ojek,” tutur Ibu Yuke sambil berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan ketika melewati tanjakan kedua.
Setelah berhenti beberapa menit, ibu dan anak ini baru akan kembali mengatur langkah, namun mendengar raungan sepeda motor yang semakin mendekat, keduanya lebih memilih untuk tetap menepi dan menunggu kendaraan tersebut lewat.
“Kami harus mengalah terhadap kendaraan roda dua saat menggunakan jalan, apalagi jika mengangkut penumpang atau bahan-bahan dan berada di jalan menanjak begini,” tutur Ibu Yuke sambil kembali menyeka keringat didahi dan lehernya.
Bigitulah kondisi jalan yang setiap hari harus dilalui warga kelurahan Motto
jika ingin berpergian. Jauh dari kesan layak untuk dilalui kendaraan bermotor, apalagi sampai berboncengan. Bahkan kondisi jalan yang hanya memiliki lebar satu meter ini hampir sama dengan jalan penghubung antar kelurahan di wilayah Lembeh Utara, bahkan wilayah Pulau Lembeh pada umumnya.
Kondisi ini semakin parah ketika musim hujan. Karena otomatis jalan yang
sebagian besar belum dibeton tersebut akan becek dan licin. Bahkan jika warga tetap memaksakan menggunakan kendaraan saat kondisi hujan, diperlukan kehati-hatian agar tidak mengalami hal yang tidak diinginkan mengingat sebagian jalan harus melewati bukit dengan ketinggian 10 meter hingga 15 meter.
“Biasanya jika cuaca hujan, kami lebih memilih untuk parkir di rumah. Kecuali ada hal yang mendesak seperti membawa warga yang sakit atau ada bahan yang harus diambil di Binuang,” kata Opo salah satu remaja tanggung yang memilih manjadi tukang ojek sebagai pekerjaan sampingan jika tak melaut bersama orang tuanya.
Menurut Opo, sudah tidak terhitung berapa kali tergelincir ketika melewati
satu-satunya jalan darat yang menghubungkan kelurahannya dengan kelurahan lain tersebut. Baik tergelincir ketika membawa penumpang, maupun bahan-bahan keperluan rumah tangga atupun ketika ia seorang diri.
“Beruntung sampai saat belum pernah mengalami kecelakan yang parah dan harus dirawat, paling parah hanya keseleo atau lecet,” katanya sambil menunjukkan beberapa bekas luka gores ditangan dan kakinya.
Jalan lingkar Lembeh sendiri yang dirintis TNI tahun 2010 tidak menjawab impian warga yang mengharapkan jalan yang memadai. Karena akses jalan tahap II yang ada di kelurahan Pancuran, kelurahan Gunung Woka, kelurahan Posokan dan kelurahan Motto tersebut tidak diikuti dengan pengerasan. Akibatnya kondisi jalan saat ini tak jauh beda dengan jalan setapak karena kembali ditutupi rumput liar dan mulai longsor, padahal ketika dirintis lebar jalan kurang lebih 4 meter.
Demikian pula akses jalan lingkar Lembeh tahap I yang menghubungkan kelurahan Pintu Kota, kelurahan Batu Riri, kelurahan Kareko, kelurahan Binuang, kelurahan Nusu dan kelurahan Motto, juga sangat memprihatinkan.
Akibatnya warga berinisiatif untuk membuka akses jalan sendiri kendati harus melewati wilayah perbukitan yang kini bisa menghubungkan kelurahan Binuang dan kelurahan Motto. Akses jalan setapak ini sendiri hanya beberapa titik yang dibeton, yakni hanya lokasi-lokasi tanjakan serta lokasi yang dianggap rawanlonsor. Namun jalan yang dibeton ini sendiri malah sangat berbahaya kala hujan karena licin, baik pengendara maupun pejalan kaki.
Kelurahan Motto sendiri merupakan 10 kelurahan di kecamatan Lembeh Utara yang menghadap langsung dengan lautan lepas, yakni laut Maluku. Dengan jumlah penduduk 735 jiwa dan 232 kepala keluarga yang pada umumnya berprofesi sebagai nelayan sekitar 75 persen dan sisanya sebagai petani. Jika dibandingkan dengan kelurahan lain, Motto boleh dikatakan sangat mengenaskan, karena sekian puluh tahun seluruh warganya belum merasakan listrik, signal telepon tidak ada, akses jalan yang memprihatinkan serta tenaga guru dan kesehatan yang minim.
Sejarah terbentukanya kelurahan Motto ini sendiri diawali tahun 1973 dengan nama desa Motto. Tapi sekitar tahun 1943 sudah ada beberapa kepala keluarga yang tinggal di Motto yakni keluarga Silinau. Tahun 1981 menjadi kelurahan yang didiami sekitar 70-an kepala keluarga dan terus berkembang hingga kini.
Pemilihan nama Motto sendiri menurut sejumlah warga, berasal dari bahasa Sangihe yakni Mamatto yang artinya Bapotong atau Pemotong. Karena konon wilayah tersebut dulunya selalu dijadikan ajang pertempuran antara suku Laloda dari Maluku yang mendiami kampung Lirang dengan Sangihe yang mendiami kampung Binuang saat itu.
Dipilihnya lokasi ini sebagai ajang pertempuran, karena satu-satunya wilayah
antara Lirang dan Binuang yang memiliki medan rata jika dibandingkan lokasi lain yang berbukit. Jadi dianggap lokasi tersebut sangat pas untuk mengadu kekuatan lewat perang karena rata dan luas. Kemudian seiring dengan perkembangan, wilayah Binuang yang kondisi wilayahnya berada di tebing sudah tidak mungkin lagi menambah lahan pemukiman. Sehingga sebagian warga mencari lokasi baru untuk dijadikan pemukiman, maka dipilihlah
Motto yang dulunya dijadikan ajang pertempuran karena memang sangat cocok untuk pemukiman sebab bentuk tanah yang landai. (en) (bersambung)
BITUNG — Yuke Kamalaheng (37) bersama putrinya Vebriyanti Malitoi (17), berhenti sejenak sambil menepi dan menyeka keringat, setelah menuntaskan jalan setapak mendaki. Beberapa menit lalu, ibu dan anak ini baru turun dari perahu yang membawa mereka dari dermaga Ruko Pateten ke dermaga Binuang dengan tujuan kembali ke rumah mereka di Motto yang jaraknya masih sekitar 4 kilometer.
“Dalam beberapa minggu ini dua unit perahu yang selama ini melayani angkutan penumpang dari Motto ke Ruko Patetan tidak beroperasi, jadi kami harus naik perahu arah Binuang dan selanjutnya berjalan kaki atau naik ojek,” tutur Ibu Yuke sambil berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan ketika melewati tanjakan kedua.
Setelah berhenti beberapa menit, ibu dan anak ini baru akan kembali mengatur langkah, namun mendengar raungan sepeda motor yang semakin mendekat, keduanya lebih memilih untuk tetap menepi dan menunggu kendaraan tersebut lewat.
“Kami harus mengalah terhadap kendaraan roda dua saat menggunakan jalan, apalagi jika mengangkut penumpang atau bahan-bahan dan berada di jalan menanjak begini,” tutur Ibu Yuke sambil kembali menyeka keringat didahi dan lehernya.
Bigitulah kondisi jalan yang setiap hari harus dilalui warga kelurahan Motto
jika ingin berpergian. Jauh dari kesan layak untuk dilalui kendaraan bermotor, apalagi sampai berboncengan. Bahkan kondisi jalan yang hanya memiliki lebar satu meter ini hampir sama dengan jalan penghubung antar kelurahan di wilayah Lembeh Utara, bahkan wilayah Pulau Lembeh pada umumnya.
Kondisi ini semakin parah ketika musim hujan. Karena otomatis jalan yang
sebagian besar belum dibeton tersebut akan becek dan licin. Bahkan jika warga tetap memaksakan menggunakan kendaraan saat kondisi hujan, diperlukan kehati-hatian agar tidak mengalami hal yang tidak diinginkan mengingat sebagian jalan harus melewati bukit dengan ketinggian 10 meter hingga 15 meter.
“Biasanya jika cuaca hujan, kami lebih memilih untuk parkir di rumah. Kecuali ada hal yang mendesak seperti membawa warga yang sakit atau ada bahan yang harus diambil di Binuang,” kata Opo salah satu remaja tanggung yang memilih manjadi tukang ojek sebagai pekerjaan sampingan jika tak melaut bersama orang tuanya.
Menurut Opo, sudah tidak terhitung berapa kali tergelincir ketika melewati
satu-satunya jalan darat yang menghubungkan kelurahannya dengan kelurahan lain tersebut. Baik tergelincir ketika membawa penumpang, maupun bahan-bahan keperluan rumah tangga atupun ketika ia seorang diri.
“Beruntung sampai saat belum pernah mengalami kecelakan yang parah dan harus dirawat, paling parah hanya keseleo atau lecet,” katanya sambil menunjukkan beberapa bekas luka gores ditangan dan kakinya.
Jalan lingkar Lembeh sendiri yang dirintis TNI tahun 2010 tidak menjawab impian warga yang mengharapkan jalan yang memadai. Karena akses jalan tahap II yang ada di kelurahan Pancuran, kelurahan Gunung Woka, kelurahan Posokan dan kelurahan Motto tersebut tidak diikuti dengan pengerasan. Akibatnya kondisi jalan saat ini tak jauh beda dengan jalan setapak karena kembali ditutupi rumput liar dan mulai longsor, padahal ketika dirintis lebar jalan kurang lebih 4 meter.
Demikian pula akses jalan lingkar Lembeh tahap I yang menghubungkan kelurahan Pintu Kota, kelurahan Batu Riri, kelurahan Kareko, kelurahan Binuang, kelurahan Nusu dan kelurahan Motto, juga sangat memprihatinkan.
Akibatnya warga berinisiatif untuk membuka akses jalan sendiri kendati harus melewati wilayah perbukitan yang kini bisa menghubungkan kelurahan Binuang dan kelurahan Motto. Akses jalan setapak ini sendiri hanya beberapa titik yang dibeton, yakni hanya lokasi-lokasi tanjakan serta lokasi yang dianggap rawanlonsor. Namun jalan yang dibeton ini sendiri malah sangat berbahaya kala hujan karena licin, baik pengendara maupun pejalan kaki.
Kelurahan Motto sendiri merupakan 10 kelurahan di kecamatan Lembeh Utara yang menghadap langsung dengan lautan lepas, yakni laut Maluku. Dengan jumlah penduduk 735 jiwa dan 232 kepala keluarga yang pada umumnya berprofesi sebagai nelayan sekitar 75 persen dan sisanya sebagai petani. Jika dibandingkan dengan kelurahan lain, Motto boleh dikatakan sangat mengenaskan, karena sekian puluh tahun seluruh warganya belum merasakan listrik, signal telepon tidak ada, akses jalan yang memprihatinkan serta tenaga guru dan kesehatan yang minim.
Sejarah terbentukanya kelurahan Motto ini sendiri diawali tahun 1973 dengan nama desa Motto. Tapi sekitar tahun 1943 sudah ada beberapa kepala keluarga yang tinggal di Motto yakni keluarga Silinau. Tahun 1981 menjadi kelurahan yang didiami sekitar 70-an kepala keluarga dan terus berkembang hingga kini.
Pemilihan nama Motto sendiri menurut sejumlah warga, berasal dari bahasa Sangihe yakni Mamatto yang artinya Bapotong atau Pemotong. Karena konon wilayah tersebut dulunya selalu dijadikan ajang pertempuran antara suku Laloda dari Maluku yang mendiami kampung Lirang dengan Sangihe yang mendiami kampung Binuang saat itu.
Dipilihnya lokasi ini sebagai ajang pertempuran, karena satu-satunya wilayah
antara Lirang dan Binuang yang memiliki medan rata jika dibandingkan lokasi lain yang berbukit. Jadi dianggap lokasi tersebut sangat pas untuk mengadu kekuatan lewat perang karena rata dan luas. Kemudian seiring dengan perkembangan, wilayah Binuang yang kondisi wilayahnya berada di tebing sudah tidak mungkin lagi menambah lahan pemukiman. Sehingga sebagian warga mencari lokasi baru untuk dijadikan pemukiman, maka dipilihlah
Motto yang dulunya dijadikan ajang pertempuran karena memang sangat cocok untuk pemukiman sebab bentuk tanah yang landai. (en) (bersambung)