Oleh: Jamal Rahman Iroth
KAMI mungkin hanya segelintir yang dicekam keraguan untuk kembali bergeliat di luar rumah, meski sebagian sudah mulai putus asa dan pasrah.
Sebagian mulai saling memotivasi untuk ‘menentang’ anjuran Stay At Home, Work From Home, Pray From Home, dan lain sebagainya.
Kami mungkin hanya segelintir yang belum memiliki jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut; anda yakin tidak akan terinfeksi, jika pergi ke tengah keramaian apa lagi dengan maksud berbelanja ‘baju hari raya’, atau untuk sekadar menikmati keramaian itu sendiri.
Anda yakin jika terinfeksi, anda tidak akan sakit parah dan sekarat bahkan meninggal.
Anda yakin jika anda terinfeksi dan tidak sakit anda tidak akan membuat keluarga anda terinfeksi virus menakutkan itu.
Anda yakin anda dan keluarga akan baik-baik saja.
Kami mungkin segelintir yang tidak ingin berdebat tentang cara masing-masing kita bersikap menghadapi pandemi ini.
Tentang argumentasi untung rugi.
Tentang lebih penting kehidupan sosial ekonomi atau kesehatan dan keselamatan setiap individu.
Tentu kami juga ingin mengunjungi orang tua di Minahasa Utara yang jarak tempuhnya hanya 3 jam dari Bolaang Mongondow Timur, tempat saya bermukim bersama isteri dan anak saat ini.
Apa lagi sejak beberapa tahun terakhir bapak yang berusia 77 tahun dalam kondisi terbaring sakit.
Sementara ibu yang jarak usia tidak jauh dari bapak, juga selalu tersenyum bahagia saat Arung cucu kecilnya bisa mengunjungi seperti yang rutin kami lakukan sebulan sekali atau dua kali.
Kami juga ingin sholat berjamaah di masjid, yang hanya 20 meter dari rumah. Apa lagi saat ini, kami harus menjadi imam sholat tarwih bagi keluarga, dengan hafalan surat-surat Al-Qur’an serta doa-doa lazim dalam bahasa Arab yang terbatas.
Alasan mengunjungi orang tua, dan keinginan sholat berjamaah di masjid, tentu masih jauh lebih kuat dari keinginan untuk berbelanja di kota, seperti kebiasaan menjelang lebaran di tahun-tahun lampau.
Namun kami tetap memilih diam di rumah.
Jadi begini, saya juga membaca berbagai perspektif kritis yang menyoal bahwa COVID-19 bukanlah semata virus kiriman dari langit dimaksudkan sebagai ujian bagi umat manusia.
Namun ada sinyalemen bahwa pandemi ini by design dari sebuah agen gerakan konspirasi ingin menguasai ekonomi dunia, dengan cara menciptakan ketakutan serta kepanikan di seluruh dunia kemudian menawarkan solusi, dan tentu solusi tersebut harus dibayar.
Bahkan ada konten-konten di media sosial yang berisi kecurigaan wabah ini sengaja disebar oleh sebuah negara dengan tujuan agar dunia membeli peralatan tes, pencegahan, bahkan obat-obatan dari negara tersebut.
Saya juga sempat menonton sebuah akun YouTube (sudah dihapus) yang menyimpulkan bahwa vaksin Anti COVID-19 tidak akan pernah bisa ditemukan jika virusnya tidak dimurnikan, sebab hasil penelitian dari pakar-pakar dunia pasti akan meleset jika objek yang diteliti selalu berubah-ubah.
Bahwa tindakan medis terhadap pasien positif COVID-19 akan selalu keliru karena bukan menyembuhkan, tetapi justru membunuh Exosome yang ada di dalam tubuh pasien.
Tentu saya menyimak dengan sepenuh pemahaman, bahwa argumen yang mendasari konten-konten kritis tersebut juga bernas dan tidak mudah dibantah.
Kemudian saya mengkomparasi dengan apa yang menjadi pegangan saya dan sebagian besar kita, sesuai pesan dan anjuran pemerintahan dunia (PBB) dan Pemerintahan Nasional Indonesia.
Bahwa pandemi ini mengancam seluruh negara, melanda hingga ke sudut dunia. Dan sudah dirumuskan cara sederhana untuk mencegahnya; diam di rumah, keluar rumah untuk hal yang sangat penting, pakai masker, jaga jarak, cuci tangan pakai sabun, mengkonsumsi vitamin, serta selalu memelihara perilaku bersih dan pola hidup sehat.
Namun sekali lagi kami tetap memilih di rumah sebagai gerakan ikhtiar mencegah pandemi, memutus rantai penyebaran COVID-19 yang entah kapan akan berakhir. Dalam keraguan kami untuk keluar rumah, ada sebuah keyakinan, bahwa jika mahluk kecil nan menakutkan ini takkan pernah musnah, dan vaksinnya tak kunjung ditemukan hingga kiamat tiba, maka kehidupan dan peradaban manusia pasti akan menjumpai wujudnya yang baru.
Perilaku kita secara sukarela atau terpaksa, akhirnya akan menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Akan lahir kesepakatan global dalam bentuk regulasi atau konvensi yang harus ditaati bersama.
Opini ini tidak ditujukan untuk siapa pun. Hanya sebuah hasil renungan pribadi.
Dan tidak untuk menahan mereka yang harus bekerja di jalanan, di kebun, atau di luar rumah.
Kondisi serba sulit ini memang harus di hadapi dengan bijak.
Wallahu alam.
Tentu secara moril saya mendukung sahabat saudara yang memang harus bekerja di luar rumah. Terutama Tenaga medis, Polisi, TINI, Aparat Negara yang tergabung dalam Gugus Tugas pencegahan pandemi.
Saya juga masih harus keluar rumah untuk beli bahan makanan, meninjau tempat kerja, dan mengerjakan yang harus dikerjakan.
Namun tentu dengan semangat solidaritas; mencegah dan menjaga agar tidak tertular dan menularkan, adalah bagian dari tanggungjawab kita yang memang harus berada di luar rumah.
(***/Penulis merupakan seniman, kini bertugas sebagai Ketua KPU Bolaang Mongondouw Timur)